Senin, 07 Juni 2010

Grow with Character! (92/100) Series by Hermawan Kartajaya - Marketing 3.0: Dari Buku Wiley and Sons di Amerika Sampai ke Museum Puri Lukisan di Ubud

Marketing 3.0: Dari Buku Wiley and Sons di Amerika Sampai ke Museum Puri Lukisan di Ubud

PROSES berpikir untuk mengembangkan konsep marketing yang sejalan dengan zaman bagi saya tidak pernah berhenti. Hal itu tidak bisa terlepas dari perkembangan MarkPlus.

Marketing 3.0 buat saya punya arti tersendiri. Terutama, ketika saya memasuki usia 60 tahun pada 18 November 2007. Mulai saat itu, saya sadar bahwa saya sudah memasuki suatu life stage berikutnya. Bisa-bisa the last life stage. Karena itu, saya mulai menetapkan tema untuk diri sendiri tiap tahun. Khusus tahun ke-60 tersebut, saya menetapkan tema In Search of Meaning. Artinya, Mencari Makna Hidup. Kira-kira seperti itu.

Saya melihat hidup saya pada 30 tahun pertama sebagai HK 1.0 yang berjuang secara rasional. Melakukan segala macam hal untuk bisa survive. Sebab, waktu kecil di kampung, saya sangat miskin. Karena itu, saya hanya memikirkan cara agar dapat hidup layak dan berani bekerja keras supaya bisa menerobos ke atas.

Orang tua saya selalu bilang bahwa saya harus pintar karena keluarga kami miskin. “Jangan ambil risiko karena kita bukan pengusaha.” Papa saya selalu mengarahkan saya untuk jadi seorang profesional yang dibutuhkan oleh orang banyak supaya hidup saya safe. Nilai-nilai rasional seperti yang saya warisi dari orang tua itulah yang mewarnai era 1.0 saya.

Pada 30 tahun kedua, saya melihat hidup saya sebagai HK 2.0, yang mulai membentuk kepribadian saya. Terus terang, saya banyak terpengaruh buku Daniel Coleman yang mengupas pentingnya emotional intelligence atau kecerdasan emosional.

“Sukses tidaknya seseorang lebih ditentukan oleh EQ ketimbang IQ.” Hal itu dibuktikan oleh Coleman lewat berbagai penelitian. MarkPlus lahir pada 1 Mei 1990, ketika saya hampir berusia 43 tahun. Artinya, saya kira-kira berada di tengah era HK 2.0. Di era itu saya pengin menjadi diri sendiri, di samping selalu sering merasa bersalah kepada kedua orang tua saya.

Mengapa saya kurang hormat dan kurang menunjukkan kasih sayang ketika mereka masih hidup? Kenapa saya tidak pernah lulus dari ITS? Padahal, papa saya akan sangat bangga kalau saya bisa jadi insinyur. Kenapa saya tidak pernah mengajak mama saya jalan-jalan ke luar negeri selama beliau masih ada? Padahal, dia bekerja keras untuk menutup kekurangan pendapatan dari gaji papa saya sebagai pegawai negeri yang “tidak pintar” mencari penghasilan tambahan.

Di era 2.0, saya semakin sadar bahwa mengelola persahabatan, perusahaan, bahkan keluarga tidak bisa hanya menggunakan IQ. Justru harus memanfaatkan EQ! Ketika saya sampai pada titik usia 60 tahun dan flashback, saya merasa bahwa era 2.0 itulah yang penuh dengan pembelajaran.

Terus terang, pada era HK 1.0, EQ saya tidak terlatih sama sekali. Karena itu, cost cukup tinggi ketika saya terus mengembangkan kehidupan pribadi, keluarga, dan MarkPlus. Akhirnya, saya menyadari, tidak ada gunanya suatu pencapaian kalau saya harus kehilangan jati diri.

Mendirikan dan membesarkan MarkPlus akan gagal kalau hanya menggunakan IQ karena kita perlu dukungan banyak orang, sebagaimana yang saya tulis berkali-kali. Strategi berdasar pemikiran rasional saja tidak akan berjalan tanpa kepiawaian mengelola emosi diri dan orang lain.

Begitu juga ketika membangun pribadi dan keluarga. Saya tidak tahu, tiga puluh tahun ketiga saya yang dimulai pada 2007 sebagai era HK 3.0 akan berlangsung berapa lama.

Salah seorang yang sangat memengaruhi saya adalah Danah Zohar, penulis buku Spiritual Capital. Saya tidak tahu apa agamanya. Tapi, ketika saya seharian menjadi moderatornya, saya kagum kepada perempuan tersebut. Zohar juga pernah mampir ke MarkPlus Jakarta untuk rekaman radio bersama saya. Kata-kata Dahlan Iskan sesudah operasi cangkok liver di Tiongkok pun sangat mengesankan saya. “Hidup ini tidak ada artinya kalau kita tidak berguna untuk orang lain.”

Setelah itu, saya baru sadar bahwa IQ dan EQ saja ternyata memang tidak cukup. Spiritual capital-lah yang menentukan kematangan manusia. Tidak peduli agamanya apa, kalau tidak punya kematangan, orang tidak akan berarti. Bisa-bisa sosok itu menjadi fanatik buta yang berbahaya.

Karena itu pula, ketika buku Marketing in Venus yang berdasar EQ sukses di Indonesia dan diterjemahkan ke bahasa Vietnam, bahkan di-localized di Tiongkok, saya malah jadi khawatir. Jangan-jangan, saya ngajarin orang untuk menjalankan playboy marketing! Bukankah IQ, apalagi EQ, seorang playboy biasanya sangat tinggi? Tapi, bagimana moralitas dan etikanya?

Jawabannya ya marketing 3.0, yang pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa sustainability sebuah perusahaan tidak hanya ditentukan oleh inovasi produk (1.0), bahkan kepuasan pelanggan (2.0), tapi juga spirit untuk berbuat kemanusiaan (3.0) dari perusahaan itu sendiri. Tanpa yang satu itu, sehebat-hebatnya inovasi produk dan kepuasan pelanggantidak akan bisa membuat sebuah perusahaan berkelanjutan.

Untuk pribadi saya, era HK 3.0 juga harus begitu. Bukan hanya inovasi konsep pemasaran dalam rangka memuaskan orang lain, semuanya juga harus dilakukan dengan spirit kemanusiaan yang tinggi. In Search of Meaning itu sejalan dengan The Meaning of Marketing dan Marketing of The Meaning yang saya tulis di Marketing 3.0.

Nah, itulah yang akhirnya membawa saya melakukan pendalaman di Ubud, Bali, tentang kenapa Ubud bisa begitu mahal? Selama beberapa tahun ini, bergaul dan mendengarkan ceramah tiga Tjokorda dari Puri Ubud membuat saya sadar bahwa Ubud adalah sebuah kasus marketing 3.0 yang sangat menarik! Bayangkan, bapak tiga Tjokorda sekarang, yang merupakan the last king of Ubud zaman dulu, dengan penuh ketulusan mengundang banyak orang asing untuk tinggal di Ubud. Akhirnya, orang-orang asing itulah yang jadi marketer dari Ubud. Antonio Blanco bahkan berkeluarga di Ubud dan museumnya dikunjungi semua presiden RI dan berbagai tamu asing kelas atas.

Ubud yang humble itu akhirnya malah jadi The Best City in Asia pilihan pembaca Conde Naste Traveller pada 2009. Karena itu pula, dibantu Bembi Dwi Indrio M., saya menerbitkan buku Ubud: The Spirit of Bali. Buku tersebut merupakan live case book dari Marketing 3.0 dan akan saya bawa ke mana-mana untuk dipromosikan. Sehubungan dengan itu juga, sekalian dipersiapkan Museum Marketing 3.0, yang tanah dan gedungnya disponsori Keluarga Puri Ubud di kompleks Museum Puri Lukisan.

Peresmiannya dilakukan pada 27 Mei 2011 oleh Philip Kotler, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-80-nya! Saya pengin menggabungkan konsep kelas dunia dengan kearifan lokal Indonesia! (*)



1 komentar:

  1. Artikel yang bermanfaat dan membangun, terima kasih!

    BalasHapus