Rabu, 14 April 2010

Grow with Character! (86/100) Series by Hermawan Kartajaya - MALAYSIA Boleh! INDONESIA Bisa!

MALAYSIA Boleh! INDONESIA Bisa!

Saya sering berpikir, kenapa ya Indonesia kok dijajah Belanda. Kok bukan Inggris? Kalau diajah Inggris kayak Singapura dan Malaysia, paling enggak kita semua bisa lancar berbahasa Inggris. Kalau sudah begitu, kita tidak perlu "minder" dalam pergaulan internasional.

Selain itu, bahasa Inggris juga merupakan "pintu gerbang" untuk berbagai ilmu dunia. Sampai sekarang pun, bahasa Inggris juga jadi bahasa global di internet. Selain itu, negara-negara eks koloni Inggris paling tidak punya sitem pemerintahan yang rapi. Bukan itu saja, semua negara tersebut juga masih "dikumpulkan" di Commonwealth. Di situ mereka bisa saling ber-networking.

Sebaliknya, antarnegara sesama koloni Belanda hampir semua gak keruan. Ngomong Belanda juga enggak, networking juga gak ada. Belanda seolah-olah hanya "ngeruk" kekayaan Indonesia dan pergi begitu saja.

Belakangan saya baru tahu bahwa Bengkulu dulu bernama Benculen, jajahan Inggris. Lantas ditukar dengan Singapura yang koloni Belanda. Karena itu, gubernur terakhir Bengkulu yang juga gubernur pertama Singapura Rafles dihormati di dua tempat itu. Kalau gak terjadi tukar-menukar itu, mungkin Bengkulu sekarang jadi negara merdeka anggota Commonwealth dan jadi suatu pelabuhan transit yang maju. Sedangkan Singapura jadi salah satu Provinsi Indonesia! Sayang, hal itu tidak terjadi. Maka, Singapura yang pada mulanya jadi satu negara dengan Malaysia setelah berpisah langsung melesat. Malaysia yang merasa tertinggal lantas "mengejar" Singapura, terutama di bawah PM Mahathir Muhammad.

Apa pun yang dibikin di Singapura dicoba untuk dibikin Malaysia. Dengan slogan "Malaysia Boleh" yang artinya Malaysia Bisa, Mahathir mengajak rakyatnya bangkit masuk ke jajaran dunia. Saya termasuk pengagum Dr M karena itu cerita dia tidak memedulikan IMF di masa krisis Asia masuk buku Repositioning Asia!

Malaysia punya arti penting bagi pengembangan MarkPlus di ASEAN. Pasarnya 26 juta, cukup banyak.

Budayanya lebih mirip Indonesia ketimbang Singapura. Karena itu, kalau Singapura adalah showroom, maka KL (Kuala Lumpur) adalah regional head-quarter untuk ASEAN bagi saya. Karena itu, MarkPlus harus sangat kuat di Malaysia. Tapi, strateginya beda lagi. Kalau di Singapura lewat kampus, di Malaysia kombinasi. Kampus, pemerintah, dan asosiasi.

Untuk kampus, saya pernah jadi adjunct lecturer dari UTAR. Universiti Tunku Abdul Rahman ini merupakan Universitas "Tionghoa" pertama di sana. Maklum, tidak seperti Indonesia yang tidak boleh membedakan suku dan etnik. Di Malaysia, "by law" orang Melayu yang mayoritas 58 persen itu memang diistimewakan terhadap etnik Tionghoa dan India. Dalam hal ini, saya melihat "keunggulan" Indonesia yang sekarang malah punya Undang-Undang Kewarganegaraan juga Undang-Undang Nondiskriminasi.

Menjadi pengajar UTAR di Malaysia adalah suatu gengsi tersendiri. Sebab, walaupun baru, UTAR sebenarnya merupakan "kelanjutan" dari College non-degree yang sangat terkenal mutunya di sana. Saya tidak meneken kontrak baru di UTAR, ketika diangkat jadi adjunct professor di GSM-UPM (Graduate School of Management - Universiti Putra Malaysia) yang merupakan top business school di Malaysia.

Di UPM, saya bahkan diangkat sebagai salah satu international advisor yang bersidang setahun sekali. Di situ saya juga punya kebebasan untuk mengajar kapan pun dengan semua pesawat kelas bisnis dan hotel bintang lima yang dibayarin mereka. Belakangan saya juga diangkat sebagai adjunct profesor dari Asia-E-University atau AeU. Bahkan belakangan juga diminta membimbing seorang calon doctor.

Aneh kan? Saya sendiri bukan doktor, tapi diminta jadi supervisor seorang mahasiswa S-3 yang tesisnya membahas MLM! Di Malaysia pula! Walaupun saya suah berusaha menolak, si mahasiswa yang bekas mahasiswa saya di program S-2 Nanyang Fellows di Singapore tetap "ngotot". Dia enggak jadi ambil tema itu kalau saya gak mau jadi supervisornya. Akhirnya, rektor AeU pun setuju!

Di sektor pemerintah, sudah lama saya membantu berbagai instansi di sana. Pemerintah Malaysia punya anggaran besar untuk mengembangkan industri strategis maupun menengah kecil. Karena itu, saya jadi langganan untuk jadi keynote speaker dari berbagai konferensi bergengsi di KL.

ASLI atau Asia Strategy and Leadership Institute juga punya hu­bungan "sangat dekat" dengan pemerintah. Setiap konferensinya selalu berbobot dan jadi benchmark di sana. Saya selalu diundang Michael Yeoh yang direktur eksekutif di ASLI untuk jadi keynote speaker.

MIGHT atau Malaysia Industry and Government Alliance for Highi-Tech juga sering melakukan hal yang serupa. Saya juga mendapat undangan dua kali untuk mengikuti LID atau Lengkawi International Dialogue yang digagas Mahathir dan selalu diselenggarakan di Pulau Lengkawi. Keaktifan di pemerintah dan lembaga-lembaganya ini sangat penting untuk "meningkatkan" status di Malaysia.

Ketiga adalah asosiasi. IMM atau Institute Marketing of Malaysia saya bantuin mati-matian supaya "survive". Dr Zakaria, yang sahabat dekat Prof Hooi Den Huan, saya "bujuk" supaya mau duduk di kepengurusan IMM. Ketika Philip Kotler datang pada 2007, saya minta mereka jadi penyelenggara. Mereka untung besar ketika itu! Di IMM, saya diangkat sebagai Fellow bersama dengan chairman Telkom Malaysia.

Saya juga sering membantu CIMA atau Chartered Institute of Management Accounting, Malaysia. Alex Mulya dari MarkPlus Jakarta bahkan pernah saya minta bersama Prof Hooi untuk me-review strategi mereka. Kalau tiga komponen itu disinergikan, hasilnya dahsyat!

Selama beberapa tahun di KL, MarkPlus sudah banyak punya proyek consulting dan research. Beberapa proyek yang membanggakan adalah Sunway, HeiTech, dan 1901!

Sunway adalah perusahaan properti besar di Malaysia. Juga memiliki theme-park Sunway Lagoon, Sunway Academy, Sunway Hospital, dan sebagainya. Tim konsultasi kita waktu itu Suryo Soekarno, Alex Mulya, Waizly Darwin, dan Bayu Asmara cukup memuaskan mereka pada proyek rebranding! Mereka "buy in" ide kita untuk pakai model "monolithic branding" saja. Artinya memperkuat nama Sunway sendiri, supaya customer tidak bingung.

HeiTech Padu yang eks BUMN juga puas dengan proyek rebranding bersama tim MarkPlus yang sama. Ide tim MarkPlus untuk menggunakan "Truly Transformational" masih sangat disukai sampai sekarang.

Saya mengatakan kepada mereka bahwa dengan kata Truly sudah ada persepsi otomatis dengan Malaysia ketika mereka keluar negeri. Dan "Transformational" cocok dengan situasi pada saat itu, ketika mereka memang melakukan transformasi ke dalam. Tapi, istilah ini juga sangat cocok dengan servis mereka sebagai konsultan IT yang menjanjikan hal tersebut pada klien.

Sedang "1901" adalah brand lokal Hot Dog yang punya retail di mana-mana. Tim kami mengusulkan green food yang disukai anak-anak muda di Malaysia dan dunia. Anak muda-lah yang justru lebih dulu meng-adopt ide tersebut. Selain itu ada banyak sekali proyek riset dan training telah berjalan di Malaysia.

Sekarang, Agustinus Kusmaryanto yang asal dari Surabaya jadi kepala cabang MarkPlus Inc. di KL. Tiap bulan pun ada Saturday Gathering di ruang kelas di kantor kita yang terletak di gedung Selangor Dredging di KLCC.

Saya juga pernah berbicara di KBRI untuk memberikan semangat pada orang-orang Indonesia yang bekerja atau tinggal di KL. Saya selalu bilang jangan sampai orang Indonesia hanya dianggap "illegal worker" di KL. Tunjukkan bahwa orang Indonesia juga bisa!

Kalau ada "Malaysia Boleh!", juga harus ada "Indonesia Bisa!". Itulah juga slogan yang dipopulerkan Presiden SBY pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang ke seratus. (*)

Grow with Character! (85/100) Series by Hermawan Kartajaya - Membangun Brand di ASEAN lewat Singapura

Membangun Brand di ASEAN lewat Singapura

KALAU Anda mau menang di ASEAN, Anda mesti bisa ''diterima'' di Singapura. Mau tidak mau, suka atau enggak suka, itulah kenyataannya. Bagi orang Indonesia, jarak Singapura dari Jakarta hanya 75 menit penerbangan. Dari Batam malah hanya sejam dengan feri.

Tapi, jarak kualitasnya sangat jauh. Kualitas orang mulai pendidikan sampai disiplin, kualitas pemerintah mulai kejelasan peraturan sampai bebas korupsi, juga kualitas infrastruktur mulai pelabuhan sampai ICT.

Karena itu, tidak banyak orang Indonesia yang berhasil di Singapura. Apalagi, bagi orang Singapura, kita orang Indonesia dianggap kurang qualified. Jadi, diam-diam mereka sudah look down dan underestimate terhadap orang Indonesia.

Orang Indonesia sering dianggap sebagai snob customer yang kalau dilayani dengan baik akan ngawur pengeluarannya. Padahal, kalau di negara sendiri, seringkali pelit!

Orang Indonesia, kalau ke Singapura, kali pertama pasti pergi ke Orchard Road. Dulu pasti ke Lucky Plaza, lantas pindah ke Robinson, sekarang ke Takashimaya. Di situ, orang kita, terutama ibu-ibu, sangat senang di-raja-kan, walaupun harus bayar mahal.

Berobat pun harus ke Mount Elizabeth, walaupun seringkali cuma sakit mata timbilen! Saya pun dulu ikut arus membeli sebuah apartemen di Singapura. Walaupun mahal, setelah sepuluh tahun, lunas juga akhirnya cicilan.

Rasanya naik kelas kalau sudah punya apartemen di sana. Padahal, mahalnya bukan main! Waktu harga properti jatuh di Singapura, saya menyesal kenapa saya mesti beli apartemen di situ. Tapi, apa boleh buat, sudah kadung kan? Malah saya pakai sebagai modal untuk menaikkan ''status'' di sana. Itu perlu, persis kayak saya masuk ke Jakarta dulu. Tapi, kali ini caranya beda.

Saya tidak bisa menggunakan media sebagai pintu masuk ke Singapura. Jumlah medianya sedikit dan semua dikontrol ketat oleh pemerintah. Karena itu, saya menggunakan kampus sebagai entry gate. Kebetulan, hubungan dekat saya dengan Nanyang Business School memang sangat bermanfaat.

Selain mengajar di kelas MBA dan Nanyang Fellows di sana, saya sering membantu mereka untuk hubungan dengan Indonesia. Di antaranya, saya juga yang jadi media penandatanganan MOU antara NTU dan UI serta UGM di Jakarta. Karena itulah, sampai sekarang pun, saya jadi dekat dengan Prof Su Guan Ning yang masih presiden atau rektor NTU.

Saya juga memelihara hubungan dengan tiga co-author Philip Kotler dari NUS. Profesor Tan Chin Tiong, Liong Siu Ming, dan Ang Swee Hoon. Mereka adalah top professor marketing di Singapura. Tan Chin Tiong juga merupakan pelopor program Certified Professional Marketer (CPM) Asia Pacific ketika jadi ketua MIS. Dia juga pernah diminta memulai Singapore Management University (SMU) yang terkenal kreatif itu. Karena itu pula, saya pernah jadi dosen tamu di SMU.

Saya juga cukup dekat dengan Chicago University yang punya kampus Asia di Singapura. Selama dua tahun, saya menggunakan hall kampus tersebut untuk menyelenggarakan dinner seminar bulanan. Hal itu penting dilakukan. Sebab, walaupun pasar Singapura relatif kecil dan kompetitif, saya perlu menjadikannya sebagai show room. Dengan melakukan pertemuan rutin di situ, ''status'' MarkPlus akan terangkat.

Apalagi, ketika itu saya punya apartemen sendiri dan punya kantor di tempat yang bergengsi. Saya juga sering berbicara di konferensi marketing paling bergengsi di Singapura. Dalam waktu dua tahun itu, MarkPlus jadi dikenal di ASEAN lewat Singapura. Apalagi setelah Case Center Nanyang Business School menulis kisah perjalanan MarkPlus sejak didirikan pada 1 Mei 1990 sampai masuk ke ASEAN lewat Singapura.

Kasus tersebut dibahas di berbagai program di Nanyang, baik di Singapura maupun Tiongkok. Dari Singapura, saya lebih mudah mendapatkan partner-partner di KL, Bangkok, maupun Vietnam. Karena Singapura juga merupakan regional head quarter dari berbagai MNC, saya sering memperoleh kesempatan dapat assignment di situ. Di antaranya, Fujitsu yang memborong buku Think ASEAN! dan dibagi-bagikan ke semua main partner-nya dari seluruh ASEAN.

Chairman Fujitsu dari Jepang juga hadir ke Singapura untuk mendengarkan saya bicara tentang buku itu, bersama semua main partner-nya. MarkPlus juga pernah mendapatkan proyek pelatihan untuk GE di seluruh Asia lewat kantor regionalnya di Singapura. Yang paling mengesankan adalah ketika MarkPlus diundang Singapore Tourism Board (STB) untuk me-review strategi pariwisata mereka di Asia. Juga, diminta menjadi advisor STB Indonesia selama setahun.

Uniknya, mereka bertanya kepada saya, mana yang lebih baik, antara The New Asia dan Uniquely Singapore. Untuk itu, saya diminta mempelajari semua data survei yang ada dan berdiskusi dengan perwakilan STB di seluruh Asia.

Walaupun sudah tahu jawabannya, saya tidak langsung menjawab. Saya ajarin dulu mereka dengan 4C dan PDB! Baru setelah itu, saya minta mereka memberikan pendapat berdasar konsep tersebut. Hampir semua sependapat dengan saya bahwa The New Asia lebih jelas.

Diferensiasi Singapore sebagai negara Asia yang new itu memang benar adanya. Masih Asia, tapi disiplin, bersih, dan world class! Mungkin mereka ''terpancing'' oleh Malaysia yang menggunakan The Truly Asia yang sebenarnya kontroversial.

Orang Jepang dan Korea sudah tidak suka slogan itu. Masak seluruh Asia ada di Malaysia? Sebaliknya, orang Indonesia sangat suka slogan itu, apalagi iklannya. Sampai pada suatu ketika, semua yang dari Indonesia diklaim Malaysia!

Jadi, The Truly Asia sebenarnya lemah dari segi PDB-nya. Beautiful positioning, but no solid differentiation! Sedangkan The New Asia sangat kuat! Dengan diubah jadi Uniquely Singapore, terus slogan ini jadi generic. Ya memang mesti unik! Tapi, di mana keunikannya?

Semua makanan dan budaya di sana berasal dari negara lain. Begitu juga dengan teknologinya. Hampir tidak ada yang berasal dari sana. Tapi, karena ditunjang iklan dengan bujet besar, ya terlihat lumayan jadinya!

Sekarang, saya tidak punya apartemen lagi di Singapura. Setelah ada proyek en bloc, di mana seluruh gedung dibeli dengan harga bagus, semua harus pergi.

Saya pun sudah tidak perlu punya properti di sana. Kantor pun sekarang hanya jadi hub office karena MarkPlus sudah punya kantor cabang yang lengkap dengan kelas dan ruang FGD di KL serta partner di Bangkok dan HCMC.

Membangun brand Indonesia di ASEAN jelas tidak gampang memang, tapi selalu ada jalannya. Terutama bagi MarkPlus yang jalur bisnisnya berdasar knowledge. Saya sangat percaya bahwa ASEAN akan berperan semakin kuat di Asia dan dunia. Terutama setelah ASEAN Charter diteken, sehingga semua negara ASEAN punya perwakilan setingkat ''duta besar'' di Jakarta. (*)



Grow with Character! (84/100) Series by Hermawan Kartajaya - Si Cantik Mio yang Menginspirasi Yamaha untuk "Semakin di Depan"

Si Cantik Mio yang Menginspirasi Yamaha untuk "Semakin di Depan"

BUKU Think ASEAN! terbitan McGraw-Hill cukup sukses karena pas dengan timing-nya. Buku tersebut diterjemahkan ke bahasa Jepang, Korea, dan Tionghoa. Gara-gara buku ini juga, saya sempat diundang bicara oleh ASEAN Center di Michigan, satu-satunya pusat penelitian ASEAN di benua Amerika. Profesor pendirinya, sekarang sudah emeritus, memang cinta pada Asia Tenggara. Dia bahkan pernah naik motor menelusuri Kalimantan.



Istrinya, Prof Linda Lim, yang orang Singapura menggantikannya sebagai direktur kedua dari Pusat ASEAN tersebut. Mereka punya satu anak cewek yang diberi nama Mya. Diambil dari kata Myanmar. Mya pernah tinggal di Jogja untuk mempelajari budaya Jawa, termasuk tarian dan "nabuh gamelan". Maklum, Michigan adalah kampus Amerika pertama yang punya gamelan sejak dulu. Untuk menulis buku Think Asean! ini saya mendapat banyak masukan dari Linda, sehingga mengerti cara pandang orang Amerika terhadap ASEAN.

Saya mempromosikan buku ini ke semua negara besar ASEAN. Ini bisa gampang terjadi karena "jaringan" APMF yang saya punyai. Prof Hooi Den Huan yang lahirnya sudah jadi kayak saudara juga sangat helpfull. Bagaimanapun, diperlukan "lobi Singapura" yang punya nama besar.

Indonesia dan Singapura sering saya sebut The Rich and The Famous. Indonesia kaya raya, tapi Singapura terkenal! Indonesia negara terbesar dalam total GDP, tapi Singapura yang paling tinggi GDP per kapitanya. Jakarta adalah tempat sekretariat ASEAN secara de jure. Tapi, Singapura secara de facto adalah hub of ASEAN.

PDB Singapura sangat kuat di situ, bahkan juga sering menyebut diri sebagai suatu "jembatan di Asia antara Timur dan Barat, juga antara Utara dan Selatan". Airport dan seaport-nya kelas dunia sehingga diperlukan sebagai tempat transit.

Duet saya bersama Hooi Den Huan sangat sinergetik. Untuk dia yang profesor, menulis buku bersama Philip Kotler via saya adalah penting untuk kredit point. Bagi saya, bermitra dengan profesor Singapura dari sekolah terbaik di Singapura, bahkan ASEAN, memberikan academic credibility tersendiri.

Buku Think ASEAN! juga sempat di-launch di Singapura. Saya melakukannya di KBRI dengan dihadiri Sekjen ASEAN Ong Keng Yong yang khusus terbang dari Jakarta waktu itu. Dubes RI Pak Wardana bangganya bukan main, bisa menunjukkan pada dunia bahwa orang Indonesia bisa punya "kelas dunia" di marketing.

Untuk mem-backup konsep glorecalisation atau "global, regional and localisation" yang saya pakai di Think ASEAN!, saya menggunakan kasus pembukaan Mio. Mio berarti "cantik" dalam bahasa Italia, adalah sepeda motor otomatik yang dirancang untuk perempuan oleh Yamaha.

Kasus ini sangat saya hayati, karena MarkPlus terlibat langsung dalam peluncurannya pada 2003. Ketika itu Yamaha berada pada posisi nomor tiga di Indonesia setelah Honda dan Suzuki.

Motor otomatik yang pertama Yamaha, Nouvo, yang sudah ada di pasar kurang berhasil. Nah ketika akan meluncurkan Mio itulah, saya diajak Pak Dyonisius Beti yang waktu itu orang kedua di Yamaha Motor Kencana Indonesia atau YMKI, untuk memberikan second opinion pada rencana peluncurannya yang "sudah matang". Semua riset sudah selesai dan begitu meyakinkan bahwa Mio pasti sukses. Apalagi, pada 2003 itu, presiden Indonesia juga Megawati Sukarnoputri yang "mio" atau cantik. Iklan pun sudah siap!

Pak Dyon adalah anggota pertama MarkPlus Forum di Jakarta, sekarang sudah jadi life time member. Kayak Pak Tanadi Santoso dan Pak Bob Moniaga di Surabaya. Waktu itu dia khawatir kalau Mio yang sangat diandalkan kurang berhasil. Nah, ketika me-review semua persiapan itulah, saya melihat ada yang "nggak enak". Karena itu, saya minta MarkPlus melakukan survei tambahan. Customer Insight!

Untuk itu, saya menugasi beberapa business analyst MarkPlus untuk "masuk" ke anak-anak kampus perempuan dan mengikuti mereka selama dua puluh empat jam. Maksudnya, supaya bisa mendalami perilaku mereka yang sesungguhnya. Ternyata, banyak yang ditemukan dan tidak ada di riset kuantitatif.

Pengendara motor perempuan waktu itu memang kebanyakan "tomboi" yang nggak peduli penampilan dan "berani". Yang membawa ke bengkel kebanyakan bukan mereka, tapi kakak laki-lakinya. Selain itu, yang agak mengagetkan, sebagian dari mereka masih khawatir "kehilangan keperawanan" kalau naik motor.

Karena itulah, saya kemudian mengusulkan sesuatu yang "sulit", yaitu menunda peluncuran! Wah, ini tidak gampang tentunya bagi pihak YMKI untuk mempertanggungjawabkannya ke Tokyo. Akan merusak anggaran kan? Tapi, akhirnya Pak Dyon setuju juga asal dibantu secara serius!

Dalam waktu penundaan itulah, dilakukan modifikasi produk supaya lebih pas untuk cewek. Misalnya, tempat sisir harus ada. Kalau mau masuk ke yang "nontomboi", ya harus begitu. Juga disiapkan brosur penjelasan bahwa bersepeda motor untuk perempuan aman adanya.

Selain itu, saya bekerja keras untuk meyakinkan seluruh main dealer supaya mau men-support produk baru ini. Tanpa dukungan mereka percuma saja! Showroom pun melakukan persiapan untuk "menyambut" Mio, termasuk para teknisi.

Setelah empat bulan, Mio diluncurkan dan sudah naik cepat tiga bulan sesudahnya! Sampai sekarang Mio tetap market leader di segmen skutik yang makin membesar saja.

Berkat Mio inilah, berbarengan dengan pindahnya Valentino Rossi ke tim Yamaha di Grand Prix, Yamaha pun jadi "semakin di depan". Kesuksesan Mio memberikan semangat baru bagi para karyawan dan dealer Yamaha untuk bangkit dan bahkan sudah jadi strong runner-up pada 2009.

Itulah yang saya sebut local tactic. Harus sesuai dengan Indonesia, kalau enggak ya gagal. Tapi, strategi Mio sendiri dirancang secara regional ASEAN. Mio ada di Vietnam, Thailand, Malaysia, dan negara lain. Tidak ada di Jepang! Inilah yang disebut regional strategy. Mio dibuat khusus untuk ASEAN plus.

Bagaimana Yamaha values sendiri. Tetap harus sama di seluruh dunia. Touching the heart atau Kando! Yamaha selalu memegang komitmen ini, baik ketika membuat motor atau alat musik! So, "Glorecalization" really works! (*)



Grow with Character! (83/100) Series by Hermawan Kartajaya - ASEAN, Here I Come!

ASEAN, Here I Come!

BEGITU masuk daftar 50 guru dari CIM-UK, undangan untuk berbicara di luar negeri semakin sering. Terutama dari teman-teman di APMF. Bicara di Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Manila, Ho Chi Minh City, dan Brunei Darussalam menjadi biasa saja.

Dari Jakarta, kota-kota itu terasa "dekat". Bukan hanya secara geografis, tapi juga secara social culture. Orangnya hampir sama, sulit membedakan satu sama lain. Baru ketahuan kalau mulai berbicara. Makanan dan minuman juga kurang lebih sama. Saya juga menemukan hal yang sama ketika mengunjungi Kamboja, Myanmar, dan Laos.

Saya merasakan benar bahwa sepuluh negara ASEAN ini memang wajar bergabung. Saya semakin tertarik menjadi aseanist ketika melihat semangat teman-teman diplomat di Deplu. Ada Direktur Jenderal yang khusus mengurusi ASEAN. Bahkan, direktorat jenderal ini sangat penting dibanding yang mengurusi kawasan lain.

Mengapa? Ya, karena Indonesia bisa berperan besar di ASEAN. Di zaman Pak Harto dulu, Indonesia paling "ditakuti" di ASEAN. Apalagi, setelah Marcos "jatuh". Setiap ada ketegangan antara Singapura dan Malaysia, Indonesia-lah yang selalu menjadi penengah. Soeharto seolah jadi big brother dari Lee Kuan Yew dan Mahathir Mohamad. Sesudah krisis Asia, Soeharto jatuh, tapi mereka berdua masih sangat respek pada beliau. Karena itulah, Sekretariat ASEAN yang permanen ada di Jakarta! Jadi, walaupun situasi berubah, Jakarta tidak bisa di kutak-katik lagi.

Di APMF sendiri, lima Asosiasi Marketing dari ASEAN yang paling aktif. Selain IMA atau Indonesia Marketing Association, ada MIS (Marketing Institute of Singapore), IMM (Institute of Marketing Malaysia), MAT (Marketing Association of Thailand), dan PMA (Phillipines Marketing Association). Saya selalu memberikan semangat kepada mereka supaya kompak dan IMA ditunjuk menjadi "koordinator" bagi lima asosiasi nasional ini. Sekarang Vietnam Marketing Association atau VMA juga sudah bergabung di AMF atau Asia Marketing Federation, nama baru APMF.

Karena itulah, pada 2003 itu juga saya menyelenggarakan ASEAN Marketing Konferensi untuk kali pertama. Tempatnya pakai sekretariat ASEAN di Jakarta. Gedungnya keren, kayak "mini UN"!

Waktu itu saya mengundang Pak SBY yang menjabat Menko Polkam. Presiden RI waktu itu sudah Megawati yang menggantikan Gus Dur. Saya masih ingat, waktu itu, SBY "geram" akan bom Bali yang baru terjadi. Dalam keynote speech-nya, SBY mengatakan bahwa beliau sangat serius untuk mencari pelakunya. Selain itu, SBY menjamin keamanan seluruh peserta ASEAN Marketing Conference.

Saya juga mengundang Tony Fernandez yang baru saja mulai dengan Air Asia-nya. Saya kenal dia karena sempat bicara di panggung yang sama dari Stratgic Marketing Conference yang diselenggarakan ASLI atau Asia Srategic Leadership Institute di KL. Ketika itu Tony bahkan mengajak saya melihat kantornya yang relatif kecil di KLIA. Saya mengundang Tony untuk bicara juga, karena he is also an Aseanist. Orang Malaysia memang lebih berpikir regional, karena pasar domestik mereka hanya 26 juta orang. Hampir sepersepuluh Indonesia. Apalagi, Singapura yang penduduknya cuma 4 sampai 5 juta orang.

Mereka mau tidak mau harus berorientasi internasional, bukan hanya ASEAN. Goh Chok Tong, bekas prime minister sekarang senior minister bahkan pernah menganjurkan untuk menganggap seven hour flight from Singapore adalah pasar mereka!

Sedangkan Indonesia yang "kaya raya loh jinawi ijo royo royo" ini sering malas keluar negeri. Lha wong pasar domestik saja gak abis-abis, buat apa keluar? Ketika Tony Fernandez bicara, banyak orang terinspirasi dan sadar bahwa Asean is one and going to be number one. Dari Indonesia saya mengundang Martha Tilaar yang produk Sari Ayu dan spa-nya juga sudah ada di beberapa kota ASEAN. Ini penting supaya ada contoh lokal dan orang Indonesia tidak hanya puas dengan jadi "jago kandang"!

Acara penutupan konferensi yang sukses itu disponsori Sari Ayu dengan fashion show Indonesia. Sebagai tuan rumah, saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara terbesar secara ekonomi di ASEAN. Secara politik pun Indonesia merupakan negara demokratis terbesar. Secara budaya apalagi. Negara yang paling diversified di seluruh ASEAN. Saya memimpikan Indonesia harus "balik lagi" menjadi pemimpin de facto Asean seperti zaman Sohearto dulu! Karena itu, saya tidak berhenti sampai di konferensi.

Saya mengajak Philip Kotler lagi untuk menulis buku keempat tentang ASEAN. Pada mulanya dia ragu karena waktu itu ASEAN hampir tidak terdengar di Amerika. Tiongkok dan India sudah "menggeliat". Tapi, setelah saya yakinkan dengan data dan saya tunjukkan bahwa ASEAN akan semakin berperan sebagai "penengah" antara India dan Tiongkok, dia setuju!

Kali ini saya mengajak kembali Prof Hooi Den Huan dari Nanyang Business School. Judulnya saya usulkan Think Asean!", yang akhirnya diterima oleh McGraw-Hill Asia. Untuk membantu riset dan penulisan, saya melibatkan Waizly Darwin dan Iwan Setiawan. Mereka berdua waktu itu adalah business analyst muda yang brilian. Waizly sekarang sudah menyelesaikan Nanyang Fellows yang merupakan program master prestisius dari Nanyang Business School bekerja sama dengan Sloan MIT.

Sekarang Waizly adalah chief new wave officer dari MarkPlus Inc dengan tugas khusus. Menghorizontalkan MarkPlus! Sedangkan Iwan Setiawan masih di Kellogg School of Management, sekolah marketing nomor satu di dunia. Dia adalah co-author saya bersama Philip Kotler untuk buku kelima saya. Dia akan lulus pada 19 Juni 2010, empat hari sesudah buku Marketing 3.0 diluncurkan di Kellogg.

Balik ke Think Asean!, saya memperkenalkan konsep glorecalisation di situ. Global values, regional strategy, dan local tactic untuk MNC yang mau sukses di ASEAN. Artinya? Head office di Amerika, Eropa, atau Jepang memang harus menetapkan values yang harus "dipegang" di seluruh dunia. Tapi, strategi pemasaran termasuk proses order, servis, bahkan sering pengembangan produk baru, harus ada di regional office. Sedangkan soal taktik pemasaran serahkan saja sepenuhnya di kantor lokal tiap-tiap negara.

Lihat saja bagaimana Toyota mengembangkan Kijang Inova dan Avanza di Indonesia berbasiskan pasar ASEAN, bukan Jepang. Tapi, pemasaran lokal bisa disesuaikan dengan kondisi lokal masing-masing.

Sepeda motor Yamaha maupun Honda juga mengembangkan produk "bebek" dan belakangan "skutik" untuk ASEAN. Produk-produk itu tidak ada di Jepang!

ASEAN yang berpenduduk 570 juta orang cukup untuk memberikan scale of economies untuk MNC! Tapi, di buku itu, saya juga memberikan input untuk perusahaan-perusahaan "jago kandang". Kalau sudah jagoan di domestik, coba ASEAN dong. Dengan brand sendiri, jangan sekadar pintar "terima pesanan" untuk ekspor ke seluruh dunia. Kan ASEAN hampir sama social culture-nya, apalagi jaraknya dekat. Sudah seolah menyatu walaupun belum.

Apalagi, perusahaan Indonesia yang bisa "berlatih" di dalam negeri dengan 240 juta orang! Mestinya sudah punya scale of econmies untuk menyerang keluar. Buku ini di-launch pada 2005 oleh Sekjen Asean Ong Keng Yong bersamaan dengan pembentukan "Philip Kotler Center for ASEAN Marketing".

Prof Lim Cong Yah yang sangat senior di Singapura atas undangan Prof Hooi Den Huan hadir dan memberikan keynote-speech. Pak SBY ketika itu sudah menjadi presiden, baru saja menggantikan Megawati. MarkPlus sendiri? We are not only preaching! We are practising! Waktu itulah MarkPlus juga masuk Singapura dan Kuala Lumpur. Orang lain cuma bicara atau kasih motivasi. I talk the walk and walk the talk ! (*)

Grow with Character! (82/100) Series by Hermawan Kartajaya - Semoga Papa dan Mama Saya Melihat dari Surga!

Semoga Papa dan Mama Saya Melihat dari Surga!

TAHUN 2003, lima tahun setelah krisis ekonomi Asia, MarkPlus sudah ''balik'' lagi. Bahkan, lebih pesat jika dibandingkan dengan sebelum krisis.

Setelah punya kantor di lima kota besar Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan, saya mulai ''keliling'' ke berbagai negara tetangga. Dengan modal tiga buku internasional bersama Philip Kotler, saya pun makin ''pede'' bicara di mancanegara. Undangan untuk bicara pun mengalir dengan sendirinya.

Salah satu pengalaman yang mengesankan adalah mengajar di MBA di St. Gallen Business School (kini bernama University of St. Gallen), sekolah bisnis di Kota St. Gallen yang dinobatkan sebagai top business school di Eropa versi majalah mingguan bisnis dari Jerman, Wirtschaftswoche.

Di kota kecil tapi indah itu, saya diundang untuk mengajar marketing selama seminggu setiap tahun selama dua kali. Dalam seminggu, menghabiskan kuliah setahun.

Jadi, setiap tahun saya terbang ke Zurich dulu, kemudian naik kereta selama satu jam dari lapangan terbang Zurich menuju St. Gallen. Mahasiswanya datang dari berbagai negara Eropa dan dari berbagai disiplin S-1.

Di sana, saya baru tahu bahwa orang Swiss itu ''halus'' seperti orang Jawa. Semua mahasiswanya yang sudah profesional selalu hormat kepada dosen. Kalau bertanya, mereka sopan sekali.

Sangat berbeda dibandingkan ketika saya menjadi dosen tamu di University of Michigan, AS, atau University of Western Australia.

Karena sudah dikenalkan oleh administrasi sekolah, saya dapat banyak tawaran untuk ''makan malam'' saat mengajar. Mungkin mereka berpikir, saya bisa memberi nilai A! Padahal, saya tidak mau koreksi, cuma mau mengajar. Paling malas mengoreksi karena memakan terlalu banyak waktu.

Tapi, kalau mengajar, saya suka sekali. Sebab, saya selalu bisa ''belajar'' dari mereka. Bagi saya, ''mengajar tanpa belajar'' adalah rugi besar! Jika saya saja yang ''dikuras'', tetapi tidak mendapat apa-apa, rugi kan?

Saya belajar seperti itu dari Philip Kotler yang selalu membawa kertas kecil di kantongnya. Setiap bertemu orang, dia selalu bertanya dan mencatat. Memang beda perilaku ''the real mahaguru'' dengan ''pakar dadakan''.

Nah, di St. Gallen saya selalu mengajar pakai buku teks klasik Philip Kotler dulu, baru memperkenalkan model SME saya. Mereka protes.

Mereka bilang, mestinya lebih enak memakai model saya yang sederhana itu lebih dahulu supaya mereka dapat ''frame''-nya lebih dulu. Baru detailnya bisa dilihat di buku teks klasik Philip Kotler. Selain itu, saya menemukan bahwa mereka pada dasarnya juga ''tidak percaya pada marketing''. Lebih baik kasih diskon karena orang akan langsung beli, kata mereka!

Dulu, saya berpikir, hanya orang Indonesia atau Asia yang berpikir begitu. Tapi, ternyata di negara paling kaya sekalipun sama. Saya hanya ganti tanya kepada mereka apa restoran favorit mereka.

Apakah mereka ke sana karena harga?

Apa salon favorit mereka?

Apakah ke sana karena harga?

Apa pula bengkel mobil favorit mereka?

Apakah memilih bengkel itu karena termurah?

Ternyata, jawabannya enggak. Nah, aneh kan? Ketika menjadi customer, mereka tidak memilih yang paling murah. Tetapi, waktu jadi marketer, ketakutan kalau tidak memberikan harga murah!

Di Indonesia, saya juga memakai cara seperti itu untuk ''menangkal'' ketidakpercayaan orang atas pentingnya marketing. Supaya bisanya tidak hanya ''banting harga''. Percayalah bahwa nobody wins in the price war!

Pengalaman mengajar di Eropa dan menjadi dosen tamu di Asia, Amerika, dan Australia itu, bagi saya, merupakan kesenangan tersendiri. Dulu, saya tidak pernah menyangka bahwa dari Surabaya saya bisa mengajar kayak ''Confucius Modern'' ke mana-mana.

Kalau saja Papa saya masih hidup, pasti dia yang paling senang. Saya masih ingat betapa tekun dia menyiapkan saya selagi kami masih tinggal di Kampung Kapasari Gang 5 No 1 Surabaya.

Setap malam dia memeriksa kotak alat tulis saya dan meruncingkan potlot saya. Dia suka mengganti setip karet saya yang sudah tipis. Dia juga selalu mengisi pen saya dengan tinta tulis ketika bolpoin belum populer.

Ada lagi kalimat Papa saya yang tidak mungkin saya lupakan dan selalu membuat saya menangis setiap mengingatnya.

''Kita ini orang miskin, tinggal di kampung. Papa tidak bisa korupsi. Hanya bisa kerja keras dan menyekolahkan kamu sampai pintar. Kalau sudah pintar, jangan lupa mengajar kepada orang lain. Jadilah Guru kayak Confucius yang mengajar ke mana-mana.''

Ketika Papa saya masih hidup, saya memang sudah mengajar. Yakni, mengajar matematika dan fisika di SMP dan SMA Sasana Bhakti di Jalan Jagalan 132-136, Surabaya. Bahkan, juga pernah mengajar ''berhitung'' di SD, khusus untuk persiapan ujian nasional waktu itu.

Sayangnya, Papa saya tidak sempat melihat ketika anaknya sudah mengajar ke mana-mana, seperti pesannya sebelum meninggal. Dia juga tidak sempat melihat bagaimana saya pada 2003 juga mendapatkan dua hal yang dulu sulit terbayangkan.

Pertama, diangkat teman-teman di APMF (Asia Pacific Marketing Federation) untuk mewakili mereka menjadi President of World Marketing Association menggantikan AMA atau American Marketing Association.

Pesaing saya hanya wakil dari Thailand ketika itu. Tetapi, saya mendapatkan mandat tersebut secara aklamasi mengingat bagaimana saya ''menyelamatkan'' APMF di masa krisis dulu.

Pada 2003 itu, secara terkejut saya juga menerima kabar masuk ''50 Gurus who Have Shaped the Future of Marketing'' versi majalah resmi The Chartered Institute of Marketing, United Kingdom (CIM-UK). Itu adalah organisasi marketing terbesar di dunia dan terkenal ''sangat konservatif''.

Karena itu, saya hampir tidak percaya melihat majalah resmi tersebut. Selama dua tahun daftar nama 50 guru itu juga ada di web CIM-UK. Syukur, alhamdulillah. Saya dan Kehnichi Ohmae adalah dua orang Asia yang masuk daftar tersebut. Ada Philip Kotler, Michael Porter, dan sebagainya!

Saat saya terbang ke London, saya dijamu makan siang secara resmi oleh pengurus CIM-UK. Mereka hanya mengatakan: ''You deserve more than this!'' Sepertinya, mereka mengikuti perkembangan model marketing yang saya kembangkan dari versi pertama sampai ketiga. Mereka juga teliti memperhatikan tiga buku saya bersama Philip Kotler. Mereka tahu bahwa sayalah yang ada di belakang semua buku itu.

Ah, kalau Papa masih hidup, betapa bahagia dia!

Begitu juga Mama saya yang tidak terlalu mau ikut urusan sekolah saya, tetapi selalu membantu Papa saya yang gaji pegawai negerinya hanya cukup untuk hidup sepuluh hari. Kalau saja Mama masih ada, dia pasti tersenyum bahagia.

Mudah-mudahan mereka berdua melihat semua ini dari surga!

Semua ini akan saya ceritakan secara gamblang pada MarkPlus Festival di sesi Lecture of the Decade pada 1 Mei.

Grow with Character! (81/100) Series by Hermawan Kartajaya - Dari Kellogg Northwestern Chicago ke INSEAD Fountainblue

Grow with Character! (81/100) Series by Hermawan Kartajaya
Dari Kellogg Northwestern Chicago ke INSEAD Fountainblue

Setelah mengikuti berbagai executive education program di Amerika, saya mencoba yang di Eropa. Kebetulan waktu itu, saya lagi pengin tahu tentang EVA atau economic value added. Sudah beberapa kali saya coba kontak kantor mereka di Singapura dan New York untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut.

Karena itu, pada 2003 itu, saya mengikuti one week program di INSEAD. Kampusnya cantik sekali, terletak di Fountainblue, kira-kira satu jam dengan mobil dari Paris. Selama seminggu, saya menyimak Prof David Young yang juga menulis buku tentang EVA. Saking enaknya dia jelasin, saya sangat berminat untuk mendalami EVA lebih lanjut.

Saya makin yakin bahwa kalau sebuah perusahaan menjalankan marketing dengan baik dan benar, EVA-nya akan bagus. Padahal, EVA sering dianggap sebagai indikator nilai sebuah perusahaan. Makin tinggi nilai EVA-nya pada masa akan datang, nilai pasar sebuah perusahaan akan semakin besar “ratio” dibandingkan nilai buku.

Perhitungan economic profit menurut EVA itu memang agak beda dengan perhitungan menurut cara tradisional. Modal yang berasal dari equity pun punya “cost“-nya, di mana biasanya kan hanya debt yang punya beban bunga. Malah biasanya cost of equity lebih murah ketimbang cost of debt. Kenapa?

Ya, orang sebenarnya punya opportunity cost begitu dia taruh uangnya sebagai equity di sebuah bisnis. Selain itu, semua account receivable dan account payable yang tidak ada interest-nya harus di-net-kan sehingga balance sheet EVA biasanya jadi lebih “pendek” daripada BS normal.

Selain itu, EVA bisa dipakai untuk menilai kinerja karyawan. Supaya mereka “fokus” pada penciptaan “nilai ekonomi sesungguhnya”, karyawan diberi bonus sesuai dengan kontribusinya pada penciptaan EVA perusahaan. Jadi, pendekatannya cukup komprehensif, menyangkut tiga stakeholder utama. Karena itulah, saya sangat tertarik untuk “mengawinkan” marketing dengan finance lewat EVA ini.

Begitu selesai program seminggu, saya langsung mengajak David Young untuk menulis buku bareng.

Tentu saja dia kaget! “Memangnya lu siapa?” Begitu kira-kira dia mikirnya. Cuma, dia tidak ngomong begitu demi sopan santun. Tapi, memang agak aneh, saya satu-satunya peserta dari Asia untuk program dia. Karena dia agak ragu dalam menjawab, saya ajak dia ke toko buku INSEAD.

Di situ,saya tunjukkan buku Repositioning Asia bersama Philip Kotler! Dia kaget dan segera berubah sikap. Jadi jauh lebih ramah dan mulai bilang untuk berdiskusi keesokannya. Besok paginya, sambil makan pagi, dia bilang tertarik menulis bareng, asal juga bareng Philip Kotler. “Absolutely, I will let him know about it“. Saya berani memberikan jaminan kepada Prof David Young, walaupun saya belum bicara kepada Prof Philip Kotler.

Saya tahu bahwa proyek tersebut bakal menarik Kotler karena itu berarti marketing bisa “keluar dari khitahnya”. Tapi, sebaliknya, saya juga mengajukan satu syarat balik kepada David Young bahwa dia “harus” mau datang ke Jakarta. Maksudnya, supaya dia juga memahami model marketing saya yang akan jadi “bahan baku” buku tersebut. Dia setuju dan benar-benar datang ke Jakarta serta menghabiskan seharian di kantor MarkPlus Jakarta di Wisma Dharmala Sakti.

Ketika selesai mendengar SME yang jadi inti buku kedua saya bersama Philip Kotler, dia makin yakin bahwa marketing dan finance bisa dikawinkan. Saya bilang kepada David bahwa marketing bisa dipakai untuk “mencari opportunity” dan meng- create the real value. Sedangkan, finance bisa bertugas untuk mencari sumber daya keuangan yang efisien” supaya tercapai value creation secara ekonomis yang maksimal.

Marketing “percuma” saja kalau tidak bisa menghasilkan economic value added atau nilai tambah ekonomis yang riil. Bukan berdasar nilai buku yang bisa dibuat-buat berkat creative accounting. Marketing juga butuh EVA supaya seluruh karyawan mau mengarahkan karyanya ke value creation. Sedangkan, finance yang berdasar EVA perlu marketing untuk jadi powerfull engine dengan sensitif radarnya.

Setelah David Young yakin bahwa proyek buku “mengawinkan” marketing dan finance itu menarik, barulah saya yakinkan Philip Kotler.

Saya mengemukakan ada tiga hal menarik di sini. Pertama, ini adalah “kelanjutan” dari SME yang komprehensif. Ingin menunjukkan kepada “dunia” bahwa marketing itu tidak hanya bisa dipakai untuk external dan internal customers. Tapi, juga untuk investor customer sebagai the third customer.

Kedua, inilah kesempatan untuk mengawinkan dua marketing dan finance secara “sejajar”. Sebab, biasanya di perusahaan, finance dihargai “lebih tinggi” daripada marketing. Lihat saja, CFO atau chief financial officer pasti ada. Sedangkan, CMO atau chief marketing officer belum tentu ada, paling tinggi disebut marketing director! Apalagi proyek buku itu sebenarnya adalah buku marketing karena menggunakan model SME! Marketing Company or Business to Investor. Supaya mereka tertarik beli saham atau ikut inves.

Ketiga, buku ini unik karena ada tiga co-author dari tiga benua! Philip Kotler dari Amerika, David Young dari Eropa, dan saya mewakili Asia! Itulah cara saya menjelaskan PDB buku ketiga tersebut kepada Philip Kotler ketika saya diundang makan malam di rumahnya di Glencoe bersama Mike.

Langsung saja dia buy in! “This is a very unique project Hermawan, the first in the world,” katanya antusias.

Untuk proyek buku ketiga yang diterbitkan Pearson International tersebut, saya dibantu penuh oleh Alex Surya. Dia waktu itu adalah business analyst MarkPlus yang brilian lulusan Jurusan Akuntansi FE UI. Taufik yang banyak mengerti tentang capital market juga mendukung penuh. Judul finalnya, Attracting Investor, sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa.

Nah, waktu finalisasi proyek, mula-mula David Young “ngotot” jadi co-author kedua setelah Philip Kotler. Tentu saja, saya tidak menerima begitu saja. Saya bilang kepada dia, kan ini ide saya. Lagi pula, framework yang dipakai juga SME saya. Akhirnya, disepakati bersama Pearson bahwa nama Philip Kotler ditulis di atas. Nama saya di kiri bawah dan David Young di kanan bawah. Win-win-win ! Everybody are happy.

Itulah kolaborasi antara Kellogg Northwestern University, US, bersama MarkPlus Professional Service, Indonesia, dan INSEAD, France! Itulah cara saya untuk terus “mengangkat” derajat MarkPlus dan sekaligus Indonesia untuk masuk kelas dunia!

Berbarengan dengan penerbitan buku itu, saya juga mengajak majalah SWA untuk menghitung dan mengumumkan ranking perusahaan publik Indonesia berdasar EVA! Pada tahun kedua, kami juga mengajak Program Magister Akuntansi Universitas Indonesia untuk ikut “meng-endorse” proyek tersebut.

Setelah tiga tahun berjalan, Joel Stern yang bersama temannya G. Bennet Stewart III menciptakan EVA tertarik untuk bicara dengan MarkPlus dan SWA. Pada dasarnya, dia suka melihat EVA sudah populer di Indonesia. Joel Stern yang profesor di Columbia beberapa kali datang ke kantor MarkPlus Jakarta yang waktu itu sudah pindah ke gedung milik sendiri di Segitiga Emas Business Park. Dia juga sempat mengajar di kelas eksekutif di “kampus” MarkPlus lantai tiga.

Para peserta hampir tidak percaya bisa bertemu secara personal dengan Prof Joel Stern yang “menciptakan” EVA itu. Sekarang perusahaan Joel Stern sudah mempunyai partner sendiri di Jakarta dan Kuala Lumpur untuk membantu beberapa klien di Asia Tenggara, termasuk Temasek Group Singapore. Mereka bersama SWA juga terus melanjutkan tentang perhitungan dan ranking EVA dari perusahaan publik Indonesia. (*)



Grow with Character! (80/100) Series by Hermawan Kartajaya - Roket SME yang Spiritual, Seimbang, dan Komprehensif

Roket SME yang Spiritual, Seimbang, dan Komprehensif

MODEL SME atau sustainable market-ing enterprise banyak menarik perhatian orang. Philip Kotler sendiri menyukai model tersebut. Karena itu, dia mau jadi endorser-nya.

Di versi bahasa Indonesia, saya menggambarnya dalam sebuah ”rocket diagram”. Bentuknya saya bikin mirip roket yang sebenarnya sama dengan ”diagram pohon”.

SME bercabang tiga, yaitu S, M, dan E. Sustainabilty (S) bercabang tiga lagi. Yaitu, political, technical, dan cultural change. Sementara itu, market-ing (M) yang merupakan inti SME bercabang tiga. Yaitu, landscape, architecture, dan stakeholder.

Landscape bercabang tiga lagi, yaitu change, competitor/customer, dan company. Architecture bercabang jadi strategy, tactic, dan value yang beranting lagi jadi sembilan elemen. Stakeholder bercabang tiga, yaitu customer, capital, dan competency. Enterprise (E) bercabang jadi inspiration, culture, dan institution. Semua tetap mengikuti ”rule of three”.

Diagram roket itu, tampaknya, menarik perhatian seorang pastor, yaitu Romo Greg Soetomo SJ yang Pemred Majalah Hidup, majalah tertua di kalangan gereja Katolik. Dia menulis sebuah buku dinamai Marketing Hermawan Kartajaya on Church yang diterbitkan Penerbit Obor.

Di situ, Romo Greg Soetomo SJ mengubah semua istilah marketing itu dengan istilah gereja Katolik. Kata dia, lho marketing ini kan dasarnya mind share, market share, dan heart share. Di gereja Katolik dikenal Allah Tri Tunggal, yaitu Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Dia menganalogikan Bapa adalah mind share, Putera adalah market share, dan Roh Kudus adalah heart share.

Wow! walaupun kebetulan saya Katolik, saya tidak pernah berpikir berdasar itu ketika kali pertama menulis konsep marketing saya. Akhirnya, mau gak mau, saya jadi percaya bahwa kalau seseorang sangat ”menghayati” apa yang dikerjakan, hasilnya beda. Seolah-olah, ada spiritual calling di dalamnya.

Begitu juga ketika saya menulis buku dengan Aa Gym dulu, Berbisnis dengan Hati. Dia sangat suka model saya. Apa yang dilihatnya? Bahwa saya meletakkan heart share sebagai sesuatu yang paling mendasar dibanding mind share dan market share.

Kata-kata Aa Gym yang paling saya ingat adalah, ”Berbisnislah dengan hatimu, maka profit itu akan jadi bonus!” Memang benar lho.

Kalau Anda mengutamakan heart share, mind share dan market share akan lebih suistainable! Lihat saja cerita Nabi Muhammad yang marah kepada seorang penjual kayu. Nabi mengingatkan supaya orang tersebut dengan jujur menunjukkan kayu basah dan tidak menyembunyikannya. Karena itu, Nabi Muhammad digelari Al Amin!

Beliau seorang pengusaha, bahkan satu-satunya nabi yang marketer, tapi jujur bukan main. Sampai-sampai, orang Kristen pun menitipkan uang kepada Nabi karena saking percayanya. Nah, buat saya, Al Amin itu PDB-nya Nabi Muhammad. Jelas membedakan Nabi dari pedagang lain.

Saya juga sering diundang dan mendiskusikan model roket yang komprehensif ini dengan para pendeta Buddha. Para pendeta itu suka pada prinsip keseimbangan yang ada dalam model tersebut. Keseimbangan antara S, M, dan E itu sendiri. Harus ada ketiganya, tidak boleh separo-separo.

Keseimbangan antara strategy, tactic, dan value yang sudah saya ceritakan panjang lebar. Keseimbangan antara pencapaian short term dalam bentuk market share, middle term dalam bentuk mind share, dan long term dalam heart share dan sebagainya.

Begitu juga ketika saya mendiskusikannya dengan keluarga Puri Ubud yang Hindu Bali. Saking seringnya saya ke Bali, khususnya Ubud, saya jadi mengerti ”taksu”. Semacam energi yang timbul kalau ada keseimbangan antara Tuhan, manusia, dan alam.

Di Bali, tiga unsur itu disebut Tri Hita Karana. Mereka sangat percaya, kalau keseimbangan antara ketiganya sudah hilang, biasanya selalu ada malapetaka. Roh jahat akan menang!

Lihat aja Kuta yang pernah dibom sampai dua kali. Alamnya rusak, manusianya pun mulai ”lupa”, karena itu Tuhan agak terlupakan. Tapi, di Ubud, semua terasa seimbang!

Akhirnya, setelah melakukan riset selama lebih dari dua tahun, saya baru aja menerbitkan Ubud: The Spirit of Bali! Suatu upaya marketing yang penuh keseimbangan.

Bagaimana dengan Confucius? Seperti yang sudah saya ceritakan, papa saya kepingin saya jadi dia. Guru Agung yang sampai akhirnya dianggap Nabi oleh banyak orang.

Misi saya di dunia ini ya memang untuk mengajar seperti Confucius. Itulah misi papa saya yang sudah lama almarhum, tapi masih tetap saya kenang.

Visi saya? Melihat Indonesia pada 2020 nanti sudah jadi negara yang ”kompetitif” karena sudah banyak perusahaan yang menggunakan marketing yang baik dan benar. Semoga roket marketing yang spiritual, balanced, dan comprehensive ini bisa membawa Indonesia melesat! (*)



Grow with Character! (79/100) Series by Hermawan Kartajaya - Enterprise = Mind, Soul, and Body

Enterprise = Mind, Soul, and Body

BANYAK perusahaan yang punya misi, visi, dan values atau VMV yang indah. Tapi, itu baru permulaan karena harus ada institusi yang mendukungnya. Institution ini di konsep SME saya adalah komponen ketiga sesudah inspiration dan culture. Mengapa?

Ya, di sinilah semua inspirasi yang sudah dicanangkan dan budaya yang sudah solid itu diorganisasikan supaya bisa create value yang sesungguhnya. Kata Alfred Chandler dalam bukunya yang klasik, Structure Follows Strategy!

Artinya, Anda tidak boleh membuat struktur dulu baru membuat strategi. Tapi, harus sebaliknya. Struktur harus mengikuti strategi supaya bisa dilaksanakan dengan baik. Karena itu, kalau strategi berubah, struktur pun harus berubah.

Dalam menulis model enterprise di SME ini saya banyak tepengaruh oleh model 7 S-nya McKinsey. S yang di tengah adalah shared values dan dikelilingi keenam S yang lain. Strategy, structure, dan system adalah tiga S yang disebut hardware of organization. Sedangkan staff, skill, dan style bersama shared values disebut software of organization.

Di model SME saya, institution terdiri atas organizational structure dan balance scorecard! Di dalamnya juga ada pengukuran objektif dengan alat kontrolnya. Isi komponen ketiga ini memang sangat “padat”. Tapi, logika berpikirnya runtut. Culture sebagai komponen kedua dari institution tidak bisa bermakna tanpa ada itu semua. Kenapa?

Karena culture lebih bersifat software, sedangkan struktur beserta sistemnya adalah hardware. Sejalan dengan model 7 S, culture yang komponen utamanya shared values dan common behaviour kan memang merupakan sikap dan perilaku staf. Staf dengan skill yang spesifik dan dipimpin oleh suatu style of leadership yang khas akan merupakan software organisasi yang unik!

Di dalam dunia ICT, software memang otaknya, karena itu sangat penting. Tapi, itu semua tidak ada gunanya kalau tidak ada perangkat keras atau hardware-nya! Nah, begitulah kira-kira hubungan antara komponen kedua dan ketiga di model SME.

Suatu organisasi yang bagus berarti punya sistem manajemen yang bagus, termasuk “alat pengukur” pencapaian. Para akuntan mengambil inisiatif dengan memperkenalkan balanced score card. Artinya, yang diukur bukan hanya pencapaian finansial, tapi juga customer operation dan SDM-nya. Buat saya, ini penting, karena harus ada pengukuran yang komprehensif seperti itu supaya perusahaan bisa sustainable. Kalau hanya diukur pencapaian finansial, aspek-aspek lain akan terabaikan.

Walaupun orang sering memakai istilah UUD atau “Ujung-ujungnya Duit”, untuk menghasilkan duit secara berkelanjutan harus ada upaya komprehensif. Pencapaian sendiri bisa dibagi pada berbagai level organisasi menurut strukturnya.

KPI diatur supaya setiap orang tahu apa yang diharapkan dari dia. Orang yang “di bawah” harus menunjang pencapaian “atasan”-nya. Begitu juga, KPI diatur menurut jangka waktu. Kalau visi biasanya panjang dan lebih abstrak, goal lebih pendek dan konkret. Di komponen ketiga ini, saya “memasang” objektif sebagai terjemahan dari goal yang lebih jangka pendek lagi. Bisa tahunan, bulanan, mingguan, harian, bahkan real time.

Dengan adanya sistem ERP atau enterprise resource planning yang berbasis ICT, pengukuran real time ini bisa dilakukan secara praktis.Balanced score card pun bisa “diimplant” di ERP. Dengan demikian, tiap-tiap orang dalam organisasi bisa melihat dan mendapat warning akan pencapaiannya secara real time juga.

ERP berfungsi kayak “urat saraf”-nya perusahaan. Kalau satu bagian dari organisasi lagi “sakit”, bagian lain tahu sehingga bisa segera melakukan tindakan “proaktif”. Di dalam landscape yang serbacepat ini, ERP sangat dibutuhkan supaya organisasi perusahaan itu tidak “mati rasa”.

Manusia yang sudah “mati rasa” atau “kebal sebagian” pun akan dalam keadaan berbahaya. Tidak bisa cepat merespons perubahan. Begitu juga organisasi.

Hubungannya dengan marketing? Jelas sangat erat. Bagi saya, selain internal customer yang karyawan dan external customer, ada customer “ketiga” yang justru sangat penting. Siapa? Pemegang saham atau inventor untuk sebuah perusahaan publik. Harus ada KPI untuk mengakur indikator kepuasan third customer ini. Kalau tidak, perusahaan akan ditutup atau dibangkrutkan oleh mereka!

Karena dasar marketing itu memang untuk memuaskan semua pelanggan, karena itu model score card yang komprehensif saya “pasang” di komponen instutution ini. Nah, sekarang sudah jelas kan?

Enterprise terdiri atas inspiration, culture, dan enterprise! Kayak manusia yang harus punya mind, soul, dan body. Inspirasi timbul di mind, culture merupakan soul, dan institusi adalah body. Ini semua juga akan saya jelaskan secara gamblang di MarkPlus Festival 1 Mei mendatang. (*)



Grow with Character! (78/100) Series by Hermawan Kartajaya - Corporate Culture = Diferensiator di Tingkat Organisasi

Corporate Culture = Diferensiator di Tingkat Organisasi

APA yang membedakan sebuah perusahaan dari perusahaan lain? Tentu saja jawabannya misi dan visinya. Kalau mau ekstrem, apa bedanya antara organisasi mafia dan red cross? Wow jauh sekali kan?

Misi yang satu nggak peduli "kemanusiaan", sedangkan yang lain sangat peduli. Visinya juga pasti berbeda. Yang satu, mungkin ingin "menguasai" kota tertentu, sedangkan yang satunya lagi bagaimana "memanusiakan" kota tertentu.

Tapi, selain misi dan visi, ada satu lagi yang biasanya gampang "dikenali" orang luar. Misi dan visi suatu organisasi atau perusahaan biasanya hanya diketahui "orang dalam", itu pun belum tentu. Tapi, kalau values atau nilai-nilai suatu organisasi sering "terbedakan" dari corporate culture-nya.

Di dalam konsep SME, saya "memasang" culture sebagai komponen kedua dari enterprise sesudah inspiration. Kenapa? Karena sebuah inspirasi yang terdiri atas misi dan visi harus dijalankan dengan "prinsip-prinsip" tertentu. Bisa saja, dua organisasi atau perusahaan punya misi dan visi sama, tapi punya values berbeda.

Saya mendefinisikan culture sama dengan shared values plus common behaviour. Shared values adalah nilai-nilai yang ada "di dalam" pikiran sebagian besar karyawan. Sedangkan common behaviour adalah perilaku mereka yang "keluar" dan kelihatan.

Sebuah perusahaan yang karyawannya malas-malasan, sering membolos, atau telat masuk kantor itu adalah "tanda-tanda" yang "tertangkap" dari nilai-nilai yang ada di perusahaan atau organisasinya. Sedangkan sebuah perusahaan yang sebagian besar karyawannya gesit, kreatif, dan bekerja keras adalah sangat beda.

Values tidak hanya bisa ditulis, digantung, dan diseminarkan. Tapi, hal itu harus sekaligus tecermin dalam sikap dan perilaku yang mencerminkannya. Supaya tecermin, key performance indicator atau KPI karyawan harus diselaraskan juga.

Pemerintah Singapura dulu "mendidik" masyarakatnya yang jorok supaya punya budaya bersih dengan cara penalty. Lima ratus dolar satu kali ketahuan buang sampah sembarangan! Nggak perlu pakai seminar-seminaran tentang pentingnya kebersihan. Ketika masyarakat takut akan hukumannya, menjaga kebersihan jadi common behaviour.

Itu terasa sekali kan bagi turis yang ke sana. Akhirnya jadi values atau nilai-nilai untuk orang Singapura. Kalau nggak bersih nggak enak!

Sama saja di kantor yang "memaksa" orang datang ontime dengan memasang mesin pencatat waktu. Pertama, takut pada "hukuman"-nya, lama-lama jadi nilai-nilai yang dipatuhi. Jadi, kalau values yang mau di-share-kan hanya ditulis, didikusikan, dan diseminarkan, nggak ada gunanya.

Selain harus masuk KPI, para pemimpin harus memberikan contoh. Leader is a model! Semua orang akan melihat sikap dan perilakunya. Cocok atau tidak dengan budaya perusahaan atau corporate culture yang ditulis, bahkan dijadikan suatu nyanyian.

Kalau sang pemimpin konsekuen, anak buah akan "malu" kalau tidak mengikuti. Tapi, kalau ada "konflik" antara sikap dan perilaku pemimpin dan corporate culture, budaya perusahaan yang dikehendaki ya nggak akan jadi.

Di MarkPlus sendiri saya menuliskan passion for service sebagai salah satu values. Konsekuensinya, saya sendiri mesti memberikan contoh konkret. Saya tidak segan-segan menyambut dan mengantar tamu di pintu kantor Jakarta. Saya pun tidak segan-segan menuangkan air, teh, atau kopi, langsung di cangkir tamu. Termasuk, membukakan pintu mobil untuk tamu!

Karena itulah, para MarkPluser pun tidak malu-malu melakukan hal yang sama di acara acara publik. Saya bahkan pernah mengundang seorang trainer dari hotel untuk memberikan pelatihan tentang hal itu. Ketika saya diundang untuk mengunjungi showroom mobil Lexus di Taiwan, saya takjub.

Ke mana pun saya berjalan, termasuk ke bengkel, karyawannya berdiri dan menghormat. Luar biasa kan?

Kelihatan dengan jelas, mereka melakukan itu bukan karena "dipaksa" suatu SOP atau standard operating procedure. Begitu pulang ke Jakarta, saya pun langsung minta para MarkPluser melakukan hal yang sama. Pada mulanya susah. Tapi, sekarang sudah jadi culture!

Setiap tamu yang berkunjung ke kantor MarkPlus di Jakarta biasanya "kaget". Dari lantai satu sampai tujuh, tamu pasti disambut dengan "berdiri" dan "hormat".

Pada suatu hari Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Menaldi "surprise" ketika "dibegitukan". Langsung saja seratus lima puluh karyawan FKUI diminta meninjau kantor MarkPlus Jakarta untuk "belajar". Karyawan Auto 2000 juga pernah diminta menginjungi hotel bintang lima untuk "merasakan" culture-nya.

Karyawan Lexus biasanya "belajar" dari Ritz-Carlton. Benchmarking juga merupakan cara supaya "ketularan" culture perusahaan lain. Di dalam model SME, saya menggambarkan culture ini seperti yin dan yang! Harus balance antara shared values dan common behaviour. Tidak boleh either -or, tapi harus and.

Artinya? Sebuah perusahaan atau organisasi haruslah menulis, termasuk "membukukan" nilai-nilai yang mau dipakai membedakannya dari yang lain. Tapi, juga harus ada upaya menyelaraskannya dengan perilaku insan-insannya. Persoalannya, apakah culture perlu atau bisa berubah? Jawabannya "perlu dan harus bisa berubah".

Ketika GE berubah dari perusahaan Amerika menjadi perusahaan global, otomatis culture-nya berubah drastis. Orang-orang GE sekarang bisa direkrut dari mana pun supaya punya global culture yang inklusif! Dulu makin eksklusif makin bagus. Sekarang malah harus embrace diversity.

Kalau tidak ada perubahan culture, perubahan misi dan visi tidak akan bisa berjalan dengan baik! Lantas apa hubungannya dengan marketing? Jelas sangat berhubungan dengan PDB. Karena PDB Hotel Hard Rock dan Hotel Hyatt jauh berbeda, culture karyawannya ya mesti berbeda. Walaupun sama-sama hotel dan sama-sama memberikan service kepada tamu. Yang satu lebih "akrab" gaya buddy-buddy. Yang satu lagi harus dilakukan dengan "sopan santun" dan respek. Itu semua tidak bisa hanya dari SOP, tapi harus masuk ke nilai-nilai yang dipegang. Budaya perusahaan adalah memang diferensiator di level organisasi. (*)

Grow with Character! (77/100) Series by Hermawan Kartajaya - "Mencapai Bintang di Langit" Vs "Mendaratkan Manusia di Bulan"

"Mencapai Bintang di Langit" Vs "Mendaratkan Manusia di Bulan"

KETIKA buku kedua saya bersama Philip Kotler dipakai di beberapa sekolah bisnis di Asia, pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa marketing dan strategi kok bercampur aduk. Soalnya, di model SME atau sustainable marketing yang merupakan versi ketiga dari Marketing Plus 2000 itu, ada tambahan elemen enterprise. Mestinya marketing tidak perlu "mengurusi" strategi. Biasanya, buku teks untuk keduanya juga terpisah.

Michael Porter dianggap "superguru" strategi dan Philip Kotler dianggap "mahaguru" marketing. Pertanyaan terutama sering datang dari para pengajar yang menggunakan buku itu di kampus. Buat saya, marketing memang tidak bisa dipisahkan dari strategi. Bahkan, pada kedua ilmu "asli"-nya pun, sebenarnya dua hal ini "sangat dekat". Sebab, sejak versi pertama dulu, saya memang berusaha "meredefinisi" marketing, makanya dalam versi ketiga ini "konvergensi" antara keduanya jadi semakin nyata.

Buat saya, ada tiga komponen dari sebuah enterprise yang dinamis. Inspiration, culture, and institution! Sebuah perusahaan harus punya inspirasi ketika didirikan. Tanpa hal ini, sebuah perusahaan akan cepat habis, karena tidak punya alasan dan cita-cita. Karena itu, di komponen inspirasi ini saya "pasang" mission dan vision.

Banyak orang yang suka memakai kata-kata ini, tapi pengertiannya berbeda-beda. Demikian juga penggunaannya. Sering sama antara keduanya, tercampur atau malah terbalik! Di model SME, saya mendefinisikan mission sebagai bentuk abstraknya "what BUSINESS are we in". Tanpa mission, sebuah perusahaan tidak punya reason for being ketika kali pertama dilahirkan. Sedangkan vision adalah bentuk big picture-nya dari GOAL yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu.

Tanpa vision, sama saja perusahaan itu tidak punya the future dream. Kalau mission ditulis terlalu idealis, seperti "akan menjadi agent of change of the world" atau "akan membuat kehidupan manusia lebih baik", maka bentuknya masih "abstrak".

Karena itu, penulisan mission harus diteruskan jadi business yang akan dimasuki. Ini adalah sesuatu yang konkret sebagai pelaksanaan misi tersebut. Agent of chance of the world, misalnya, bisa diterjemahkan jadi bisnis perumahan. Tapi, bisa juga jadi lingkungan hidup! Lewat pembuatan dan penjualan rumah yang "sehat", misalnya, sebuah perusahaan properti bisa mengubah sebuah slum area menjadi permukiman yang baik. Begitu juga bisnis environment sebuah perusahaan bisa mengurangi kadar CO2 di suatu area.

Tapi, ada juga misi yang ditulis "lebih jelas". Misalnya, "memperbaiki kualitas hidup orang banyak di bidang kesehatan". Maka, uraian bisnisnya lebih sederhana, misalnya "produksi alat-alat kesehatan yang inovatif". Sedangkan vision adalah gambaran tentang pencapaian atau achievement dalam jangka tertentu.

Yang terkenal adalah bagaimana Presiden John Kennedy mencanangkan suatu tekad bahwa orang Amerika harus sudah mendarat di bulan sebelum pergantian dekade 60-an, dan kebetulan memang terlaksana pada 1969. Visi ini lantas diterjemahkan menjadi goal yang lebih konkret dalam bentuk yang lebih kuantitatif oleh NASA. Jadi, kalau hal ini diterapkan di perusahaan properti tadi. Misalnya, bisa jadi "menjadi market leader di bidang properti dalam waktu lima tahun".

Nah, ini mesti diterjemahkan lagi jadi goal yang harus lebih konkret. Misalnya, market leader sampai 30 persen di bidang rusunami di Jawa Timur pada 2015.

Biasanya goal ini lantas dirinci lagi menjadi lebih detail, tentang jenis rumah, lokasi, ukuran, dan kuantitas rusunami yang akan dibangun dan dijual. Banyak anggapan bahwa mission dan vision adalah sesuatu yang harus "indah", "idealis", dan "sakral". Bung Karno terkenal dengan salah satu ucapannya "Capailah bintang-bintang di langit!" Bagus sih kelihatannya dan enak kedengarannya, tapi sangat "tinggi". Bisa memberi inspirasi, tapi punya "ruang yang sangat besar" untuk penerjemahannya ke hal yang konkret.

Buat suatu perusahaan, apalagi yang belum terlalu gede, menurut saya, nggak perlu "segitunya". Misi John Kennedy supaya "Amerika tetap menjadi negara superpower di dunia, jangan sampai kalah dari Uni Soviet" dan visinya yang jelas lengkap dengan tahun targetnya jauh lebih realistis. Dan, menurut saya, misi dan visi tidak perlu sakral dan tidak bisa berubah! Karena itu, tidak perlu berjangka terlalu panjang. Apalagi, kalau industri nya sangat dinamis.

Kalau mau "lebih panjang", berarti "lebih abstrak dan big picture" dan makin nggak jelas. Akhirnya susah "dimengerti" stakeholder-nya. Bahkan, karyawan perusahaan pun banyak yang nggak mengerti misi dan visi itu. Cuma indah digantung di kantor!

Dalam kurun waktu hampir dua puluh tahun, MarkPlus beberapa kali "memperbaiki" misi dan visi berbagai perusahaan supaya lebih membumi. Ini harus in line dengan analisis 4 C-nya. Kalau ada perubahan landscape bisa saja, misi dan visi berubah. Dan, biasanya kita menganjurkan untuk mengambil tiga tahun atau paling panjang lima tahun untuk sebuah misi dan visi. Saya tidak setuju dengan yang terlalu panjang, karena kita semakin nggak tahu apa yang akan terjadi.

Wong tiga tahun saja sudah susah kok. Zaman sudah berubah. Perubahan berjalan begitu dinamis dan dahsyat, sehingga tiga sampai lima tahun sangat ideal. Besok dan lusa saya akan teruskan dengan bahasan tentang culture dan institution. (*)

Grow with Character! (76/100) Series by Hermawan Kartajaya - Everyones Are (Must Be) Customers!

Everyones Are (Must Be) Customers!

Kemarin saya bercerita tentang core elements of SME. Bukan small medium enterprise. Melainkan, sustainable marketing enterprise sebagai the real marketing company! Di situ everyones are marketers! Tidak peduli apa pun fungsinya.Semua seolah-olah sudah punya invisible contract dengan pelanggan.

Terus terang, saya terinspirasi perusahaan Jepang di masa jayanya. Semua perusahaan besar di Jepang waktu itu selalu memilih dengan hati-hati calon karyawan masing-masing. Mereka biasanya merekrut fresh graduate pada saat yang sama.

Semua perusahaan besar ingin merekrut lulusan universitas besar sebagai pegawai.

Karena itu, lulusan SMA di Jepang sangat stres. Mereka harus bersaing untuk mendapatkan tempat di University of Tokyo, University of Kyoto, atau yang sekelasnya. Begitu mereka diterima, seolah ada jaminan untuk diterima di perusahaan besar, seperti Matsushita, Sony, Toyota, atau Sogo-Shosha dan sekelasnya.

Tapi, begitu lulus sekolah, mereka harus bersaing lagi untuk dapat seat di perusahaan besar.

Bagi anak-anak muda Jepang waktu itu, perusahaan pertama tempat mereka bekerja sangat penting. Sebab, perusahaan tersebut juga akan jadi perusahaan terakhir mereka! Semacam Alpha-Omega Company! Kenapa begitu? Sebab, waktu itu orang yang pindah perusahaan berarti bad guy. Orang yang berani melakukan itu akan susah mencari pekerjaan di perusahaan besar lain karena pasti dicurigai atau masuk black list!

Sebaliknya, perusahaan besar tersebut juga punya kewajiban tidak tertulis untuk memelihara karyawannya. Judulnya lifetime employment, yang merupakan jalur untuk jadi karyawan seumur hidup! Perusahaan yang waktu itu tidak menjalankan manajemen SDM seperti itu akan “tidak laku” juga. Bahkan, kala itu beberapa perusahaan besar, salah satunya Toyota, sampai menyediakan kuburan untuk karyawan masing-masing. Karena itu, nggak usah ditanya bagaimana besar loyalitas para karyawan.

Kan karyawan sebenarnya adalah internal customer. Jadi, kalau perusahaan memperlakukan mereka dengan baik, kepuasan mereka akan naik.

Bagi saya, manajemen SDM dan marketing punya persamaan. Ada semacam mirroring effect antara karyawan sebagai internal customer dan external customer!

Nah, karena itu, pendiri Matsushita selalu mengatakan kepada karyawan barunya bahwa mereka sebenarnya punya kontrak otomatis dengan pelanggan. Itu selalu dia katakan di acara penerimaan karyawan baru, biasanya pada musim bunga sakura sekitar akhir Maret atau awal April tiap tahun.

Biasanya, orang tua karyawan baru juga diundang sebagai simbolisasi bahwa hari itu merupakan hari penyerahan anak tersebut dari keluarga kepada perusahaan. Mulai saat itu, perusahaan malah jadi rumah pertama, tempat para karyawan tinggal dan hidup bersama keluarga pertamanya. Karena itu, para karyawan Jepang, makin tinggi posisinya, makin malu kalau pulang ke rumah sore.

Tenggo atau teng dan go adalah suatu perilaku yang kurang elok. Para istri pun waktu itu mengerti, bahkan sangat mengerti, akan kewajiban sang suami untuk melayani pelanggan. Seolah ada kontrak tidak tertulis atau unwriten contract. Karena itu, banyak istri yang mengusir suami agar pergi lagi kalau balik ke rumah terlalu sore. Pulang tengah malam atau pukul satu pagi dengan banyak bekas lipstik di leher bisa diterima dan membanggakan bagi para istri. Berarti suaminya “orang penting” di perusahaan. Belum jadi bos pun, paling tidak sang suami diajak bos untuk makan malam, karaoke, dan minum-minum.

Karena itu, semua karyawan Jepang ya merasa orang marketing. Sebab, semua merasa bahwa ultimate customer mereka, nggak peduli apa posisinya, ya pelanggan di luar perusahaan tersebut. Tapi, setiap karyawan yang tidak punya pelanggan langsung melayani next process sebagai internal customer.

Dengan demikian, the the whole value chain lantas jadi sangat QCD-oriented!

Quality, cost, and delivery tersebut dimaksimalkan dengan sendirinya. Nah, ketika itu saya membayangkan perusahaan semacam itu sebagai sebuah SME! Lantas, apakah sekarang masih valid? Sekarang, dengan persaingan makin ketat, perusahaan Jepang sudah give up dengan model lifetime employment. Apalagi, dengan situasi horizontal yang tidak menentu seperti sekarang, perusahaan seperti itu lantas tidak bisa fleksibel. Cost mempertahankan karyawan seumur hidup jadi mahal.

Karyawan Jepang pun sudah tidak malu-malu untuk pindah perusahaan, bahkan kadang-kadang kepada pesaing. Model loyalty management, baik di karyawan dan pelanggan, memang sudah berubah total! Dari vertikal menjadi horizontal. Dari legacy jadi new wave!

Perusahaan yang ingin mempertahankan pelanggan dan karyawan harus menunjukkan inovasi terus-menerus. Kalau nggak, ya akan ditinggal! Yang tetap tinggal biasanya hanya karyawan atau pelanggan kelas dua dan tiga. Sedangkan the best employee dan the best customer pergi kepada pesaing!

Nah, kalau sudah begitu, mirroring effect-nya tetap. Artinya, perusahaan harus menjamin ada inovasi terus sehingga mereka akan tahan. Jadi, kontrak tak tertulisnya tetap ada! Nggak peduli fungsinya apa, seorang karyawan harus melakukan inovasi kepada pelanggan. Kalau nggak? Dia akan left out oleh rekan-rekan sekerja! Itulah cara memuaskan para pelanggan sekarang. Kalau perusahaan Anda mau jadi SME, basic challenge-nya sama. Memuaskan pelanggan!

Caranya saja yang beda!

Sekarang harus terus memacu karyawan untuk terus berinovasi. Dengan begitu, mereka merasa aman. Sebab, mereka merasa perushaannya akan sustainable dan tidak bangkrut! Tugas siapa? Wah, semua!

Karena itu, walaupun zaman berubah, konsep SME yang merupakan versi 3.0 dari konsep saya tetap kuat! Sebab, prinsip dasarnya justru harus selalu dinamis!

Hanya, saat ini model perusahaannya tidak boleh perusahaan Jepang yang tradisional itu. Nggak peduli Jepang, Eropa, atau Amerika, Indonesia sekalipun bisa jadi model.

Lihat saja bagaimana Samsung bisa begitu inovatif. Semua karyawannya juga marketer! Di Indonesia, Astra adalah contoh yang baik! Di situ setiap orang sudah tahu untuk melayani customer. Itu tercantum di catur darma Astra yang mengikat seluruh karyawan.Buat saya, Samsung dan Astra adalah SME atau sustainable marketing enterprise.

Berbagai krisis boleh saja datang, tapi mereka selalu bisa bertransformasi lebih cepat daripada pesaing mereka! Kenapa? Sebab, semua orang merasa dirinya adalah pemasar! (*)



Grow with Character! (75/100) Series by Hermawan Kartajaya - Marketing is A Noun, Market-ing is A Verb!

Marketing is A Noun, Market-ing is A Verb!

Buku kedua saya bersama Philip Kotler berjudul Sustainable Market-ing Enterprise in Asia. Di situ, saya menyempurnakan lagi Model Marketing Plus 2000, walaupun dasarnya sama. Itu merupakan versi ketiga karena versi keduanya ada di Repositioning Asia.

Dalam versi ketiga tersebut, saya sudah bicara tentang sebuah marketing company. Jadi, marketing benar-benar bukan sebagai fungsi yang paling penting saja. Tapi, marketing sebagai ”jiwa” perusahaan tersebut.

Nah, kalau marketing sudah merasuk ke dalam jiwa perusahaan yang terlihat pada sikap dan perilaku semua orang, masalahnya jadi lain. Barangkali, perusahaan itu sudah tidak perlu punya divisi marketing lagi! Buat apa punya suatu bagian yang namanya divisi atau department marketing? Bisa-bisa mengecilkan arti marketing itu sendiri!

Sustainable Market-ing Enterprise adalah gambaran saya tentang sebuah perusahaan yang begitu. Begitu ”marketing”, sehingga selalu menjalani analisis 4C terus-menerus, sehingga selalu alert. Kalau memang begitu, dari waktu ke waktu, perusahaan tersebut bisa melakukan perubahan-perubahan. Sebelum dipaksa berubah oleh landscape-nya.

Sebuah buku yang ditulis konsultan Jack Welch pada waktu dia melakukan transformasi besar-besaran di General Electric (GE) melambangkan hal itu. Control your destiny or somebody else will! (Kendalikan nasib Anda atau Anda akan dikendalikan orang lain). Itu sangat sejalan dengan model landscape 4C saya.

Artinya? Kalau ada change yang sedang terjadi, walaupun masih merupakan weak signal, sebuah perusahaan yang alert akan mengambilnya sebagai kesempatan untuk mengubah diri duluan. Sedangkan yang tidak mau berubah, ada risiko bisa telat dari pesaingnya.

Apalagi kalau tidak tahu bahwa ada perubahan sedang terjadi karena kurang peka! Pasti saja perusahaan semacam itu akan jadi dinosaurus! Jadi, model 4C tetap jadi alat analisis awal.

Kalau selalu bisa bertransformasi seiring dengan perubahan, perusahaan itu diharapkan akan sustainable. Berkelanjutan, tidak dimakan zaman! Nah, setelah itu, baru masuk ke model kedua, yaitu Sembilan Elemen, termasuk PDB sebagai anchor atau jangkarnya. Ditinjau ulang, apakah PDB-nya perlu diperbarui.

GE berubah dari perusahaan konglomerat yang fokus di Amerika dan menyerbu dunia ke sesuatu yang beda. PDB baru dari GE adalah perusahaan global yang fokus pada sektor bisnis yang bisa jadi nomor satu atau nomor dua. Karena itu, cocok dengan 3E saya. Yaitu, explore, engage, and execute! Artinya? GE melihat kesempatan dan ingin meng-explore pasar-pasar baru di seluruh dunia.

Kalau dulu pasar di luar Amerika dianggap export market, sekarang dianggap sebagai another market. Bedanya? Kalau dulu, produk dibuat di Amerika lantas ditawarkan pada export market. Paling-paling di-customize atau localize.

Karena itu, orang GE di luar Amerika adalah perwakilan dari kantor pusat. Tidak heran, mereka banyak yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Itu sekalian merupakan kelemahan orang Amerika. Tidak mau belajar bahasa orang, tidak mau mengerti budaya orang lain. Orang lainlah yang harus menyesuaikan diri dengan mereka. They can speak their own language and pay with their own money. Itu joke-nya, karena itu jadi malas mempelajari, apalagi ”jadi” orang lain.

Sementara itu, orang Jepang, sebelum ditempatkan di satu negara, selalu mempelajari bahasa maupun budaya setempat mulai dari Tokyo. Karena itu, mereka bisa lebih cepat masuk ke orang lokal. Bahkan, banyak yang malah tidak mau balik ke Jepang karena kadung jatuh cinta dengan negara ”baru”-nya.

E yang kedua adalah engage! Artinya, kalau sudah explore dan oke dengan suatu pasar, Anda harus engage untuk menciptakan local product bila perlu. GE banyak melakukan akuisisi perusahaan lokal sebagai simbolisasi engagement ini. Itulah cara cepat untuk masuk ke suatu pasar.

E ketiga adalah execute. GE banyak melalukan proses pembuatan produknya secara lokal. Atau, kalau tidak bisa, akan merancang suatu regional value chain yang melibatkan beberapa kompetensi berbeda dari berbagai tempat. Tiga E itu saya pakai untuk menghubungkan model 4C untuk sustainabilty dan 9 elemen untuk ”Market-ing”.

Artinya, ketika Anda harus memikirkan untuk perubahan karena ada perubahan landscape, seperti GE tadi, Anda harus mulai eksplorasi segmentasi dan target baru. Juga, harus melakukan engagement dengan melakukan investasi di marketing mix dan cara selling yang baru pula.

Akhirnya, juga harus ada execution dengan menetapakan process dan service baru. Jadi, 3E itu untuk memperkuat pemahaman orang akan konsep sembilan elemen saya yang bertumpu pada strategy, tactic, dan value. E pertama untuk new strategy, E kedua untuk new tactic, dan E ketiga untuk menciptakan new value.

Nah, karena berpikir dinamis seperti itu, saya mengubah Marketing jadi Market-ing! Kenapa? Sebab, saya mau supaya pemasaran itu jadi kata kerja yang dinamis (Market-ing). Ketimbang jadi kata benda yang pasif (Marketing).

Lagi pula, itu sejalan dengan apa yang saya katakan bahwa The real marketing company does not need to have marketing department. Karena itulah, elemen kedua dari SME ditulis sebagai Market-ing, bukan Marketing.

Nah, elemen ketiga adalah enterprise yang buat saya bukan hanya company-nya. Tapi, seluruh stakeholder-nya yang harus dipuaskan! Kalau tidak bisa, ya perusahaan tidak akan sustainable.

Untuk itu, saya menuliskan 3C, yaitu capital, customer, and competency. Artinya? Sebuah enterprise yang mau sustainable haruslah memperhatikan yang punya 3C itu!

Yang punya capital jelas pemegang saham. Bisa founder, partner, atau investor. Kalau tidak puas, mereka akan inves di perusahaan lain. Customer pasti karena sekali tidak puas mereka akan dengan gampang pindah ke tempat lain.

Sementara itu, competency, maksudnya SDM yang bekerja untuk perusahaan tersebut, juga harus dipuaskan. Nah, jadi hakikat enterprise itu sangat berbeda dari company yang hanya fokus pada shareholder!

Model yang saya pakai untuk menggambarkan enterprise ini adalah lingkaran untuk menunjukkan balance di antara ketiga main stakeholders- nya. Sedangkan gambaran sebuah company biasanya adalah piramida atau segi tiga sama kaki yang bersifat ”vertikal” dan tidak ”komprehensif”. Saya juga menggambarkan bahwa ada transaksi timbal balik antara sebuah perusahaan dengan ketiga C tersebut.

Aliran logika atau logical flow dari 4C ke 9 elemen (dengan 3E sebagai penghubung) sampai ke lingkaran komprehensif (dengan 3C sebagai penghubung) itu adalah ”inti” dari model SME. Setahap demi setahap, saya mengajak Philip Kotler untuk meredefinisi marketing untuk dunia.

Grow with Character! (74/100) Series by Hermawan Kartajaya - Hambatan? Dapatkan Aha dan Rasakan Wow!

Hambatan? Dapatkan Aha dan Rasakan Wow!

SETELAH buku pertama bersama Prof Philip Kotler sukses, jalan jadi lebih terbuka.

Pada suatu hari di Singapura, setelah selesai bicara, saya disapa seorang Indonesia. Dia ternyata staf Prentice Hall Asia yang berkantor di Singapore. “Pak Hermawan, kenapa buku Repositioning Asia diterbitkan John Wiley?”

Saya langsung melihat “peluang”. Pasti ini adalah tanda-tanda persaingan antara dua penerbit raksasa itu di Asia. Repositioning Asia memang diterbitkan John Wiley Asia. Bosnya yang orang bule sampai datang ke Jakarta menemui saya untuk “merebut” penerbitannya waktu itu.

Dia berani menawarkan “advance” dan “royalty” lebih tinggi daripada biasanya. Dia juga ngaku kepingin menerbitkan buku yang ditulis Philip Kotler untuk yang pertama!

Sebuah penerbit besar seperti Wiley memang bersaing agar dapat nama besar pengarang. Nah, saya waktu itu lebih memilih Wiley karena Prentice Hall lebih fokus ke text book. Padahal, Repositioning Asia kan tergolong trade book. Karena itu, saya mengatakan hal yang sebenarnya kepada staf Prentice Hall itu.

Tapi, dia ngotot. “Kami juga bisa mempromosikan buku Pak Hermawan dan Kotler secara hebat.”

Oh ya, wah syukurlah kalau begitu.”

“Apalagi bos kami, Regional Manager Asia Prentice Hall, adalah orang Indonesia!”

“Wah… kalau begitu, ayo kita bicara,” kata saya bersemangat karena sesama orang Indonesia di luar negeri kan harus saling mendukung!

Saya melihat peluang jadi lebih besar lagi sekarang, yakni kemungkinan untuk membuat buku internasional kedua oleh penerbit lain.

Saya tahu Prentice Hall di bawah Pearson Group adalah penerbit buku teks legendaris Philip Kotler di dunia, baik untuk “undergrad“, “postgrad“, bahkan program diploma.

Saya juga tahu sudah ada yang versi Asia untuk yang postgrad dengan co-author tiga orang professor dari NUS yang teman-teman saya juga. Karena itu, saya menawarkan untuk membuat versi Asia dari yang undergrad. Saya berpikir, ini adalah peluang “masuk” ke Wiley Asia secara mulus, sambil menyisipkan model Marketing Plus 2000 di situ.

Dugaan saya benar! Mereka suka dengan ide saya, Kotler pun oke dengan ide itu. Sebab, ternyata, versi Asia bisa mem-boost penjualan di Asia sendiri. Ini pengalaman dari buku teks yang postgraduate itu.

Apalagi Kotler juga harus mempertahankan diri dari pesaingnya yang mulai membuat Buku Teks Marketing yang beda lagi approach-nya.

Nah, untuk memperkuat positioning sebagai buku teks itulah, saya lantas mengajak dua professor. Satu dari Singapura, satu dari Hongkong!: pusat-pusat Asia di waktu itu pascakrisis di awal tahun 2000-an. Tiongkok dan India belum sebesar sekarang!

Tentu saja, saya mengajak orang yang saya kenal. Profesor Hooi Den Huan dari Nanyang Business School dan Profesor Sandra Liu dari Baptist University. Dua orang itu saya kenal baik di pertemuan-pertemuan APMF!

Karena saya sudah sukses dengan buku pertama bersama Kotler, semuanya jadi gampang. Mereka amat senang membantu mengumpulkan kasus-kasus menarik dari wilayah masing-masing. Mereka bahkan berterima kasih karena diajak menulis dengan sang Mahaguru Kotler.

Impian mereka sejak dulu kini tiba.

Kotler pun setuju usul saya karena sudah mulai punya trust ke saya. Apalagi Sandra Liu yang pegang paspor AS itu pernah magang dan diberi kantor pas di sebelah kantor Kotler di kampus Kellogg!

Semua persiapan mulus, bahkan contoh-contoh dari berbagai negara sudah dikumpulkan. Sampai ada sebuah bad news bahwa proyek dihentikan!

Wiley Asia minta maaf karena Wiley pusat tidak setuju akan proyek ini. Alasannya, bisa mengurangi omzet penjualan buku teks aslinya.

Wah… ini kan cuma “kantong kiri, kantong kanan”. Saya tidak menerima begitu saja dan menyelidik terus.

Akhirnya, saya tahu bahwa ternyata tiga co-author versi Asia dari buku teks post graduate memang punya opsi untuk meng-Asia-kan buku yang undergrad.

Philip Kotler pun bilang sorry karena tidak menyadari akan hal ini. Terus terang, saya shock berat ketika itu. Saya merasa diperlakukan “tidak fair” ketika itu.

Kenapa nggak diberi tahu sejak dulu? Yang ambil inisiatif untuk proyek ini pun bukan saya. Justru “diminta” untuk menererbitkan satu buku bersama Prentice Hall. Tapi, secara legal, saya memang lemah karena belum ada perjanjian apa pun.

Semuanya hanya secara lisan.

Karena itu, saya lantas putar otak. Bagaimana caranya supaya proyek bisa tetap jalan secara win-win. Akhirnya, Aha… saya dapat jalan keluarnya. Out of the box!

Saya dan Prof Hooi menawarkan penerbitan sebuah buku yang beda sama sekali. Buku ini benar-benar pakai model Marketing Plus 2000 yang ketika itu sudah saya “perkaya” jadi Sustainable Market-ing Enterprise atau SME! Tetap SME in Asia karena semua kasus sudah terkumpul! Dan itu bisa dibundel dengan buku teks global yang dari Amerika!

Setelah beberapa kali diskusi, Prentice Hall Asia setuju! Syaratnya, di Nanyang Business School, buku “teks kedua” ini benar-benar dipakai. Prof Hooi otomatis setuju melakukan itu. Wow!

Akhirnya, buku itu bisa diterbitkan dengan mulus! Malah diterbitkan ke berbagai bahasa di Asia, termasuk bahasa Thai, Tionghoa yang tradisional maupun yang simplified, Vietnam, dan Indonesia!

Saya sendiri merasa bersyukur karena buku itu sekarang dicetak berulang-ulang dan sudah dipakai di berbagai sekolah bisnis di Asia. Malah untuk undergrad dan postgrad.

Apalagi buku kedua itu merupakan penjelasan tentang model saya yang dipakai untuk membahas krisis Asia di buku pertama.

Pelajarannya?

Jangan kecewa dan putus asa ketika Anda mendapat hambatan. Juga jangan sampai marah dan stres sehingga nggak bisa mencari solusi. Akhirnya, berpikirlah out of the box untuk menemukan solusi kreatif. Kalau sudah begitu, Anda akan mendapatkan Aha dan merasakan Wow! (*)



Grow with Character! (73/100) Series by Hermawan Kartajaya - Y = C + G + I + (X - M), Rumus Tidak ''Gagap Makro''!

Y = C + G + I + (X - M), Rumus Tidak ''Gagap Makro''!

GARA-GARA buku Repositioning Asia, saya jadi dapat undangan bicara di mana-mana. Buku itu juga menarik banyak perhatian berbagai kalangan. Sebab, memang unik! Membahas krisis ekonomi yang ''makro'' dari kacamata marketing yang ''mikro''.

Prof Lim Cong Yah yang begawan ekonomi dari Nanyang Technological University (NTU) juga membeli dan membaca buku itu. Prof Lim adalah besan Lee Kuan Yew dan merupakan profesor senior untuk ilmu ekonomi di Singapura. Dia sudah menjadi penasihat pemerintah di beberapa negara di luar Singapura. Dia juga dekat dengan para begawan ekonomi Indonesia.

Berkat Prof Hooi Den Huan dari NTU juga yang saya kenal lewat Marketing Institute of Singapore (MIS), saya jadi tambah dekat dengan Prof Lim. Karena itulah, setiap kali saya datang dan mengajar di NTU, saya punya kesempatan berbincang dengan beliau. Bukan setiap kali ketemunya, tapi setiap bertemu saya selalu belajar makro dari Prof Lim.

Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa orang marketing yang tidak ngerti ''makro'' akan susah. Philip Kotler juga economist by training kan. Apalagi, krisis Asia yang begitu hebat membuktikan bahwa marketing yang normal gak bisa jalan pada waktu makronya runtuh. Tapi, siapa yang bisa membaca situasi makro lebih baik, dia punya kesempatan untuk membuat strategi marketing lebih tepat pada waktunya!

Karena itu pula, saya minta kepada Stephanie Hermawan, adik Mike, untuk sekolah makro aja. Setelah menyelesaikan St Stevens High School selama empat tahun di Austin, Stephanie akhirnya masuk University of Michigan. Walaupun, dia diterima juga di NYU!

Di Michigan, setiap kali berkunjung, saya berusaha menemui Prof Linda Lim. Dia adalah ekonom makro lagi, yang waktu itu adalah direktur ASEAN Center di sana. Dia juga dekat dengan anak-anak Indonesia yang lagi kuliah di sana.

Karena bergaul dengan berbagai ekonom itu, termasuk dengan Stephanie yang menyelesaikan bachelor-nya dalam waktu tiga tahun, saya jadi semakin sadar. Bahwa, ada hubungan yang erat antara marketing dan ekonomi.

Pertama, orang marketing yang meng-create value dari tiap-tiap perusahaan yang sering disebut pelaku ekonomi. Sedangkan orang ekonomi makro yang menghitungnya secara agregat.

Kedua, orang ekonomi makro juga bisa melakukan analisis dari hasil penciptaan nilai itu dan kemudian memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang kebijakan apa yang harus diambil. Tujuannya, kebijakan itu bisa menciptakan nilai secara maksimal.

Ketiga, buat saya yang orang marketing, saya merasa harus mengerti ekonomi makro secara global saja. Ada empat elemen di penciptaan economic growth suatu negara.

Y = C + G + I + (X - M)!

Ini rumusnya.

Artinya?

Y sama dengan pertumbuhan ekonomi yang bisa diciptakan lewat C (konsumsi), G (belanja pemerintah), I (investasi), X-M (net export). Indonesia diuntungkan karena punya penduduk yang banyak. Karena itu, C selalu jadi ''katup'' penyelamat perekonomian.

Pada 1998, hal itu tidak terjadi karena orang pada tidak mau membeli sesuatu yang tidak basic. Semua orang lagi tidak menentu tentang masa depan Indonesia. Langit kayaknya mau runtuh. Karena itu, semua orang menyimpan uangnya erat-erat. Beli emas karena likuid dan gampang dicairkan. Atau, dilarikan ke luar Indonesia.

Pinjaman bank yang biasanya bisa membantu orang beli secara cicilan tidak jalan karena bunga terlalu tinggi. Bisa sampai 80 persen per tahun! Nah, karena ''mesin pertama'' mati, Indonesia langsung mengalami pertumbuhan negatif 13 persen waktu itu.

Tapi, pada krisis global 2008 lalu, konsumsi boleh dikatakan tidak terlalu terpengaruh. Sebab, consumer confidence tetap tinggi dan inflasi secara umum bisa dijaga dengan ketat. Begitu juga yang terjadi pada India dan Tiongkok yang punya banyak penduduk.

Amerika dan Jepang yang orangnya kaya lagi terbelit utang dan rasa kurang percaya terhadap masa depan perekonomian mereka sendiri. Karena itu, mesin pertama stagnan dan bahkan di Jepang terjadi deflasi karena orang malas beli barang.

Singapura setengah mati ya karena jumlah penduduknya sedikit,walaupun kaya. Apalagi, mereka ''kiashu'' atau takut rugi. Jadi, begitu ekonomi dunia mulai turun, mereka pun ngirit. Mesin kedua adalah pemerintah yang bertugas membelanjakan bujet, baik untuk yang rutin atau yang diarahkan untuk pembangunan.

Waktu krisis, C biasanya turun. Karena itu, G harus diperbesar untuk kompensasi. Tapi, kalau perekonomian yang sudah terbuka, porsi G terhadap C kecil karena yang menciptakan ekonomi semestinya pihak swasta, bukan pemerintah. Tapi, pemerintah memang harus menciptakan infrastruktur supaya swasta mau melakukan kegiatan ekonomi.

Saat krisis, pemerintah yang tidak punya cadangan devisa banyak bisa repot. Defisit pengeluaran yang terlalu besar juga akan merepotkan. Mau bikin obligasi negara, terpaksa bunganya mahal. Kecuali dapat bantuan pinjaman lunak dari internasional, tapi biasanya dengan syarat-syarat politik.

Pada zaman krisis 1998, Indonesia terpaksa minta bantuan IMF, tapi diminta memperketat uang, sehingga konsumsi dan investasi tambah macet! Hasilnya lebih parah. Saat krisis global 2008, Tiongkok punya posisi paling kuat di dunia. Sebab, cadangan devisanya sangat kuat, sehingga punya bargaining terhadap negara lain. Pemerintah bisa memberikan BLT dan bantuan lain kepada rakyat untuk mendongkrak C.

Selain itu, G tetap diperbesar dengan membangun infrastruktur gila-gilaan. Indonesia pada 2008 not bad karena punya cadangan devisa yang tidak terlalu besar, tapi cukup. Defisit juga, tapi tidak sebesar Amerika dan Eropa yang sampai dua digit. Godaan terbesar untuk menutup defisit yang terlalu besar adalah cetak uang yang akan menimbulkan inflasi dan menurunkan C!

Mesin ketiga adalah investasi. Bisa dalam bentuk investasi langsung atau portofolio. Semakin orang confident terhadap perekonomian, semakin besar minat investasi. Kalau hanya investasi di pasar saham, bisa jadi hot money. Gampang masuk, gampang keluar! Indeks bursa bisa naik turun kayak roller coaster karena gampang diterpa rumor.

Sementara itu, penanaman modal langsung, baik dari luar maupun dalam, akan lebih stabil karena sekali inves harus jangka panjang. Saat krisis, I biasanya turun karena sebagian besar orang stop dulu dan wait and see. Atau, menarik ke luar modalnya!

Mesin keempat adalah net export yang merupakan selisih antara ekspor dan impor. Tiongkok saat ini dicap sebagai negara merkantilis murni karena sangat percaya akan mesin keempat ini. Pemerintahnya melakukan apa pun, termasuk menjaga yen lemah serta memberi insentif terselubung dan bantuan untuk ekspor kepada pengusahanya. Karena itu, seluruh dunia sekarang dibanjiri made in China.

Indonesia, sayangnya, masih banyak menghasilkan ekspor komoditas dan barang tambang yang nilai tambahnya tidak besar. Sementara itu, impornya kebanyakan branded good, branded service, atau branded commodity. Karena itu, surplus perdagangan luar negeri kita tidak bisa besar.

Nah, hanya bermodal rumus ekonomi yang simpel seperti itu, saya mencoba memahami situasi makro. Dengan demikian, kita tidak terlalu ''gapkro'' atau ''gagap makro''! Dengan melakukan analisis sederhana dan disertai update terus-menerus tentang perubahan yang cepat di dunia gara-gara internet, saya merasa lebih confident ketika menggunakan marketing untuk bikin strategi.

Ingat lho, perusahaan kita saat ini, seberapa pun besarnya, hanya seperti sebuah kapal kecil di samudera besar! Karena itu, seorang nakhoda kapal (marketer) harus bisa menganalisis situasi cuaca (makro). Gak usah yang ruwet, yang simpel aja, tapi bisa kasih gambaran! (*)