Senin, 07 Juni 2010

Grow with Character! (100/100) Series by Hermawan Kartajaya - My Name Is Tan! (and I am Proud to be Indonesian)

My Name Is Tan! (and I am Proud to be Indonesian)

Surabaya, 1 Mei 2010.

Pada hari itu MarkPlus Inc tepat berusia 20 tahun. Selesailah sudah tugas saya untuk menulis seratus artikel di Jawa Pos yang dimuat setiap hari berturut-turut. Kumpulan tulisan tersebut diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dari Kompas Gramedia sebagai suatu buku. Sesuatu yang unik dan barangkali belum pernah terjadi. Hal itu bisa terjadi karena kebesaran hati kedua belah pihak.

Dalam menuliskan cerita bagaimana saya mendirikan, mempertahankan, serta mengembangkan MarkPlus, saya menggunakan bahasa bercerita. Gaya bercerita orang Surabaya yang lugas dan apa adanya.

Sering saya harus mengingat-ingat apa yang terjadi sejak 20 tahun lalu sampai sekarang. Urutan cerita pun sering tidak benar-benar sesuai dengan waktunya. Kadang maju ke depan, kemudian mundur lagi.

Tapi, itulah saya. Jelek sekali dalam mengingat masa lalu! Saya lebih mudah berimajinasi tentang masa depan ketimbang mengenang masa lalu. Kalau Anda membaca kumpulan tulisan tersebut, sering terasa muatan emosional saya. Bahkan, sering kurang rasional.

Karena itu, sering mudah dibaca tulisan saya meledak-ledak. Tapi, di bagian lain, terasa sangat lemah dan memilukan. Terus terang, di beberapa tulisan, saya menulis sambil menangis.

Saya selalu menulis dengan hati!

Ada satu lagi rahasia kecil dari kumpulan tulisan itu. Saya menulis semuanya cukup dari BlackBerry Onyx saya! Terus terang, saya adalah orang yang agak gaptek. Karena itu, senang sekali ketika ada gadget yang bisa push e-mail dan dibawa ke mana-mana. Saya menulis dari mana saja. Bisa sambil menunggu pesawat di airport, tapi yang sering di atas pesawat.

Kalau tidak bisa tidur, persis seperti pada tulisan terakhir kali ini, saya menulis di Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar, Bali, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, London, Dublin, dan Belfast! Saya bisa mengirimkan tulisan-tulisan itu dari mana saja dan kapan saja. Tanpa disadari, saya kayaknya memang lebih mudah berpikir tentang masa depan seperti the youth walaupun sudah senior.

Saya lebih sering terbawa emosi seperti the women ketimbang men yang cenderung rasional. Juga, berusaha keras untuk memanfaatkan wireless online seperti the netizen ketimbang seorang citizen yang sangat primitif.

Seperti sudah saya tulis, youth, women, dan netizen adalah new wave subcultures. Sedangkan senior, men, dan citizen adalah legacy subcultures. Walaupun sudah berusia 62 tahun menjelang 63 tahun, pria, dan sering bangga sebagai arek Suroboyo, saya berusaha untuk bisa berpikir seperti pemuda 26 tahun, berperilaku seperti metroseksual, dan berkomunikasi sambung rasa lewat gadget.

Andrie Djarot, Abang Jakarta 2005 yang juga host Apa Kabar Indonesia Pagi di TVOne, membuat avatar saya seperti itu! Anda bisa melihatnya di sampul buku kumpulan tulisan tersebut. Terima kasih, Andrie, Anda melihat saya seperti itu!

Nah, bagaimana MarkPlus Inc setelah 20 tahun? What next? Kebetulan, cerita MarkPlus ini sudah ditulis sebagai Business Case oleh Prof Hooi Den Huan untuk Nanyang Business School Case Center. Case A menceritakan bagaimana MarkPlus menjadi pionir dan berkembang di Indonesia. Sedangkan case B bercerita tentang pengembangan MarkPlus berikutnya ke ASEAN.

Dua case itu selalu didiskusikan di kelas-kelas MBA, EMBA, Executive Education Program NBS, baik di Singapura maupun Tiongkok. Bisa masuk kelas marketing, juga kelas entrepreneurship.

Kebetulan, Den Huan berkali-kali dipilih sebagai the best professor oleh mahasiswa NBS. Sekarang dia malah jadi direktur NTC atau Nanyang Technopreneurship Center.

Nah, untuk menyongsong HUT ke-20 MarkPlus Inc, Den Huan dibantu Waizly Darwin akan menulis case C. Tentang apa?

Tentang situasi MarkPlus Inc saat ini dan transformasi berikutnya. Saat ini kami berada di Jakarta, Surabaya, serta Bandung dengan gedung sendiri yang lengkap dengan kelas dan FGD atau focus group discussion.

Selain itu, kami punya kantor cabang di Semarang, Medan, Makassar, Denpasar, dan Palembang. Di Singapura kami punya kantor penghubung. Di Bangkok dan Ho Chi Minh City kami punya kantor perwakilan. Sementara itu, di Kuala Lumpur kami juga punya kantor yang lengkap dengan kelas dan FGD.

Ada tiga divisi, yaitu MarkPlus Consulting untuk jasa konsultasi, MarkPlus Insight untuk riset, dan MarkPlus Institute of Marketing (MIM) untuk pelatihan. Selain itu, ada marketeers yang merupakan platform dari komunitas marketer secara online dan offline.

Marketeers merupakan integrasi dari klub (the club), majalah (the mag), dan internet (the net). Anda juga bisa bergabung ke www.the-marketeers.com. Itulah transformasi pelayanan yang kini dilakukan oleh MarkPlus Inc dari sebuah organisasi legacy menjadi new wave.

Sedangkan organisasi MarkPlus Inc dari waktu ke waktu akan ditransformasikan menuju semakin youth, women, dan netizen. Akan diberikan lebih banyak kesempatan kepada MarkPlusers muda untuk berkreasi.

Saat ini MarkPlus Inc sudah mempunyai lebih banyak kepala cabang perempuan ketimbang pria. Nanti diberikan lebih banyak lagi kesempatan kepada perempuan untuk memimpin.

Selain itu, keseimbangan antara online and offline process harus terus dikonkretkan supaya makin banyak MarkPluser yang punya gaya hidup dan kerja netizen. Sementara itu, MarkPlusers senior, men, dan citizen terus didorong untuk menyesuaikan diri.

Transformasi ketiga adalah pelembagaan MarkPlus yang makin solid. Supaya bisa berkelanjutan, MarkPlus Inc tidak boleh bergantung kepada siapa pun, termasuk saya.

MarkPlus Inc bukan Hermawan Kartajaya atau HK Fan Club. MarkPlus Inc harus jadi sebuah kapal, KRI MarkPlus, yang mampu berlayar menembus badai. Siapa pun dalam kapal harus berkontribusi untuk ikut memperkukuh kapal tersebut. Kapal harus terus berlayar dengan kencang walaupun beberapa anak buahnya, bahkan nakhodanya, berganti.

Karena itu, saat ini Michael Hermawan menyiapkan semua sistem sumber daya manusia dan pemberdayaan alumni. Grow with character berdasar excellent-professionalism-ethical kini disusun menjadi suatu konsep praktis yang solid buat setiap MarkPluser.

Sedangkan Alex Mulya menyiapkan grow with character menjadi suatu paket pelatihan yang siap ditawarkan untuk membantu perusahaan lain! Ringkasannya ditambahkan pada buku kumpulan tulisan tersebut.

Saya mengikuti jejak Jack Welch ketika memimpin GE. Jangan malu untuk belajar dari orang lain dan jangan pelit untuk membagi kepada orang lain. Bukankah hidup ini baru bermakna apabila saling berbagi?

Akhir kata, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Azrul Ananda dan Leak Kustiya dari Jawa Pos yang telah memberikan kolom Grow with Character selama seratus hari berturut-turut.

Juga kepada Priyo Oetomo dan Dwi Helly Purnomo dari Gramedia Pustaka Utama yang setuju untuk menerbitkan tulisan saya menjadi sebuah buku dengan judul yang sama.

Last but not least, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para pembaca setia kolom ini. Besok kolom ini tidak muncul lagi, tapi semoga Anda sudah banyak terinspirasi olehnya. Kirimkan komentar Anda ke www.the-marketeers.com, pasti kami jawab.

Terakhir dari yang paling akhir…

Anda sudah nonton film yang sangat new wave dan membuat saya meneteskan air mata? Yaitu, My Name is Khan (and I am not a terrorist). Kalau belum, silakan cari DVD-nya dan tontonlah supaya Anda benar-benar bisa menangkap makna dari seratus tulisan kali ini.

Apa itu?

My name is Tan! (and I am proud to be Indonesian). Sampai jumpa di MarkPlus Festival pada 1 Mei 2010 di Hotel Shangri-La Surabaya! The marketing day of Surabaya! (*



Grow with Character! (99/100) Series by Hermawan Kartajaya - Grow with (Excellence, Professionalism, and) Character!

Grow with (Excellence, Professionalism, and) Character!

ADA sebuah buku yang menginspirasi saya. Judulnya? Every Business is a Growth Business! Di dalam buku itu dikemukakan hasil riset si pengarang. Basically, temuannya hanya dua.

Pertama, bisnis yang tidak tumbuh akan mati! Kenapa? Sebab, pesaingnya tumbuh dan akan mempunyai better bargaining position. Pelanggan juga nggak suka pada perusahaan yang stagnan. Tidak berkembang dan tidak punya inovasi. Mereka pasti pindah ke pesaing yang lebih kreatif.

Alasan berikutnya, ada tekanan dari dalam. Karyawan merasa tidak punya masa depan. Yang bagus akan keluar, sedangkan yang “kartu mati” atau deadwood tinggal. Karena itu, kalau mau sustainable, sebuah perusahaan harus grow.

Kedua, pertumbuhan itu harus disertai kualitas. Jangan hanya mengejar top line atau market share. Bottom line atau profit bersifat penting supaya pertumbuhan jadi sehat. Karena itu, mesti ada profitable growth. Pertumbuhan ditopang dengan kekuatan untuk tumbuh terus!

Nah, di MarkPlus kami percaya akan kata grow. MarkPlus harus grow, tapi semua MarkPluser harus grow juga. Tanpa itu semua, MarkPlus tidak bisa bertahan dua puluh tahun! Buat kami, grow dengan kualitas hanya bisa terjadi kalau excellent jadi pegangan semua orang. Kalau grow with excellence, kita bisa mencapai excellent growth.

Michael Hermawan adalah role model di MarkPlus untuk itu. Mulai high school di Upland, California, lulus dengan indeks prestasi 4,0, dan mendapatkan seritifikat penghargaan dari presiden US ketika itu. Dia melanjutkan di UT Austin dan menyelesaikan pendidikan dalam waktu tujuh semester dengan GPA 3,97.

Dia bekerja di Andersen Consulting sebelum melanjutkan ke Kellog School of Management di Northwestern University, Chicago. Sesudah menamatkan program MBA prestisius dalam waktu setahun, dia bekerja di AT Kearney selama tiga tahun, baru kemudian balik ke MarkPlus.

Sekarang dia adalah COO atau chief operating officer di MarkPlus. Dialah yang menuliskan empat elemen excellence setelah mempelajari berbagai literatur.

Pertama adalah commitment atau purpose. It is not about winning itself, but about paradigm to win! We must consciously choose excellence. Itu benar! Banyak orang yang terima hidup tenang dan cukup jadi medioker saja.

Nah, orang seperti itu tidak punya purpose untuk menang. Ya nggak pernah menang dan mana bisa menang? Karena itu, supaya bisa excellent, harus ada redefinisi paradigma dulu. Kedua adalah opening your gift atau ability. Every person in the world has the ability to be excellent in at least one area. See your inner potential.

Elemen kedua itu perlu. Sebab, tidak ada gunanya Anda punya paradigma untuk menang, tapi tidak punya ability. Diingatkan, tiap-tiap orang sebenarnya diberi Tuhan kemampuan paling tidak di satu area. Carilah dan kembangkan! Karena lanskap berubah terus, ability pun harus dikembangkan terus. Kalau tidak, ya semakin tidak kompetitif dan akhirnya mana bisa excellent. Jadi, excellent bersifat dinamis.

Ketiga, being the best you can be atau motivation. It is not about talent. It is about getting the best shape possible given our God given potential. Artinya? Excellent sebenarnya bukan cuma talenta. Tuhan pasti sudah memberikan sesuatu untuk Anda. Maksimalkan yang ada itu supaya tercapai hasil yang optimal.

Keempat, continuous improvement. We must set the bar and continually raise it from time to time. Orang Jepang menyebutnya kaizen. Besok harus lebih bagus daripada hari ini. Jangan berpuas diri. Nah, excellent seperti itulah yang kami inginkan ada di MarkPluser. Kami tidak mungkin merekrut superstar semua. Tapi, orang biasa yang mau seperti itu akan membentuk suatu excellent organization!

Nah, grow with excellence itulah yang harus disambungkan dengan empat passion yang sudah dijelaskan kemarin (27/4). Tanpa passion yang kuat terhadap empat hal, yaitu knowledge, business, service, dan people, sama saja tidak ada profesionalisme dalam mencapai excellent growth tersebut.

Akhirnya, saya mengakhiri grow with excellence with professionalism tersebut dengan menggabungkannya dengan enam pilar karakter Josephson Institute of Ethics. Apa itu? Luar biasa! Saya menemukan enam pilar dari good character tersebut dan langsung jatuh cinta! Pertama, trustworthiness. Sebisanya, pilar itu dipupuk sejak anak berusia 4 sampai 6 tahun supaya tidak bohong dan berdusta. Berani membela kebenaran. Itulah karakter paling dasar.

Kedua adalah responsibility, yang sebaiknya diajarkan sejak umur 6 sampai 9 tahun. Di pilar tersebut ditanamkan sikap disiplin dan bertanggung jawab terhadap pilihan yang diambil untuk berpikir sebelum bertindak dan mempertimbangkan konsekuensi.

Ketiga adalah respect. Yakni, dibiasakan memperlakukan orang lain dengan hormat. Mengikuti the golden rule: “Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan.” Berlaku sopan dan jangan melukai orang lain. Sifat itu perlu ditanamkan sejak umur 9 sampai 11 tahun.

Keempat adalah fairness. Anak-anak umur 11 sampai 13 tahun perlu mulai menjiwai pillar itu agar belajar mengikuti aturan yang berlaku. Tidak berprasangka dan tidak sembarangan menyalahkan orang lain, juga berbagi dengan sesama.

Kelima adalah caring yang harus diterapkan sejak masa remaja. Inti pilar itu adalah bertindak dengan ramah dan peduli kepada orang lain. Memaafkan orang lain dan membantu mereka yang kesulitan.

Pilar keenam dan terakhir adalah citizenship yang dibangun sejak meninggalkan masa remaja dan mulai menjadi dewasa. Pilar itu berbicara mengenai berperan aktif dalam mengembangkan komunitas sekitar. Juga, bekerja sama dan bertetangga dengan baik, mematuhi hukum dan aturan, serta menghargai otoritas.

Nah, saya pengin supaya MarkPlus bisa mengadopsi enam pilar yang diakui secara internasional itu. Di US, bahkan polisi diajari enam karakter tersebut. Saya melihat, good character itu pasti didukung semua kitab suci agama apa pun. Saat ini dan seterusnya, karakter lebih penting daripada apa pun.

Kenapa Avatar laris manis? Saya membahasnya setelah nonton bareng Philip Kotler beserta keluarga, termasuk cucunya, pada 1 Januari 2010 di Long Boat Key, Florida. Itulah cara saya merayakan tahun baru yang unik. Hasil diskusi saya dengan Kotler balik kepada karakter tersebut. Penduduk Pandora yang kelihatan primitif padahal sangat high tech tersebut punya karakter terpuji.

Sedangkan orang bumi yang pengin ambil mineral di Pandora tapi akhirnya kalah dan balik ke bumi tidak punya karakter yang bagus. Sebuah film yang pas dengan spirit Marketing 3.0, di mana karakter adalah segalanya dalam bisnis.

Di MarkPlus, model untuk karakter adalah Jacky Mussry PhD. Arek Suroboyo tersebut anak orang terkenal zaman dulu, yaitu Charles Mussry, yang rumahnya sekarang jadi Plaza Surabaya di Jalan Pemuda. Pernah sekolah D-3 teknik sipil di ITS, kemudian S-1, S-2, dan S3-nya di Universitas Indonesia.

Bersama MarkPlus sejak 1997, dia memang benar-benar simbol karakter kami. Tidak pernah mau beli DVD bajakan, selalu bayar tilang di pengadilan, dan pakai software asli. Dulu dia adalah juara disc jockey se-Indonesia, mangkal di Elmi Surabaya. Sekarang dia adalah CKO atau chief knowledge officer di MarkPlus, merangkap dean of MarkPlus Institute of Marketing.

Tugasnya adalah mengoordinasikan pengembangan knowledge di MarkPlus di antara tiga divisi, yaitu consulting, research, dan education.

We are always proud of him! Jadi? Lengkaplah sudah!

Menjelang HUT ke-20 MarkPlus di acara MarkPlus Annual Gathering pada 12 Desember lalu, semua MarkPluser diminta menandatangani komitmen baru. Kami menyebutnya sebagai excellence-profesionalism-ethics atau EPE.

We must grow, but grow with excellence. Not only with excellence, but also with character. Jadi, lengkapnya grow with excellence with professionalism with character. Ringkasnya? Grow with character! (*)



Grow with Character! (98/100) Series by Hermawan Kartajaya - MarkPlus Mix: Passion for Knowledge, Business, Service, and People

MarkPlus Mix: Passion for Knowledge, Business, Service, and People

KALAU Marketing Mix punya 4P, MarkPlus juga punya 4P. Tapi, isinya berbeda. Bukan product, price, place, dan promotion, tapi empat passion yang harus dipunyai oleh para MarkPlus-ers! Saya tulis sejak lima tahun lalu untuk memberikan guidance bagi setiap insan MarkPlus.

Passion pertama adalah passion for knowledge. Saya tulis ini sebagai yang pertama karena itulah “nyawa” MarkPlus. Mempunyai passion for knowledge artinya, semua orang harus mau mengembangkan diri terus-menerus.

Landscape yang berubah mengharuskan kita mengembangkan diri pula. Tanpa ini, MarkPlus hanya akan menjadi sebuah perusahaan yang “statis”. Ini juga sejalan dengan apa yang saya lakukan selama ini. Pengembangan konsep marketing dari waktu ke waktu. Bahkan, bukan “reaktif”, tapi “proaktif”. Begitu melihat weak signal, kita selalu berani “ambil posisi”.

MarkPlus selalu berusaha jadi trend-setter, bukan hanya bisa jadi follow the leader. Mengapa? Ya, karena sejak awal, MarkPlus sudah jadi pionir. Sementara belum ada yang percaya bahwa marketing diperlukan, MarkPlus sudah mulai. Bahkan, langsung meredefinisi pengertian marketing itu sendiri. Dari “fungsi” jadi “jiwa” perusahaan. MarkPlus selalu ahead of time.

Pada 1990-an, MarkPlus sudah membuat “Marketing Plus 2000″. Sekarang di awal dekade ketiga milenium ketiga, MarkPlus sudah mengeluarkan New Wave Marketing yang akan benar-benar jadi marketing “baru” pada 2020!

Untuk mengonkretkan passion pertama ini, di kantor Jakarta, MarkPlus punya Philip Kotler Library dengan 3.000 plus buku marketing yang terus updated. Ditanggung merupakan perpustakaan marketing paling lengkap di Indonesia, jangan-jangan di ASEAN. Saya berani mengatakan ini karena saya tahu perpustakaan yang dipunyai Marketing Institute of Singapore dan berbagai kampus di sana.

MarkPlus juga tidak segan-segan memberikan scholarship pada yang “bisa” dan “dedikatif”. Kita kirim orang ke Nanyang, MIT, sampai Kellogg sekalipun untuk mendapatkan master. Para researcher juga sudah beberapa kali mengikuti konferensi internasional di berbagai negara. Tapi, pembelajaran terbesar di MarkPlus adalah di “internal” kita sendiri.

Kita memang belajar dari jurnal, buku, majalah, konferensi, sekolah bisnis, tapi di MarkPlus semuanya diolah menjadi “Model” sendiri. Itulah yang membuat MarkPlus jadi unik dan otentik. Punya DNA tersendiri! We don’t only read and teach other people’s concept, but we also write and practice our own model!

I am a teacher but I am also a thinker! Saya paling gak suka disebut “motivator”, karena saya adalah a composer who can sings!

Yang kedua adalah passion for business. Antara yang pertama dan kedua ini ada kaitan sangat erat. Saya merasa “MarkPlus is a Business Knowledge but also a Knowledge Business”. Artinya?

Kita membuat model-model marketing yang sangat berguna untuk bisnis. Pada saat yang sama, kita juga bisnis yang bergerak di bidang knowledge, khususnya marketing. Jadi, ini untuk mempertegas bahwa MarkPlus dasarnya adalah perusahaan, bukan LSM. Semuanya harus ada perhitungan bisnisnya. Bahwa akhirnya, bisnis itu “berbaur” dengan LSM, itu sih urusan lain.

Karena itu pula, kita menganjurkan semua orang di MarkPlus supaya punya jiwa entrepreneur. Dengan ini, kita juga sekaligus menegaskan bahwa kita harus mengelola MarkPlus sebagai suatu perusahaan. Punya pesaing, punya pelanggan, juga menghadapi persaingan yang cukup ketat. Dari “atas” yang berupa MNC dan dari “bawah yang orang-orang lokal dan suka membanting harga! Sekaligus dengan passion kedua ini, MarkPlus akan fokus di bidang marketing knowledge business itu sendiri.

Passion for business saya tulis sebagai passion kedua setelah passion for knowledge karena knowledge comes first! Saya percaya, kalau kita “eat, sleep, and dream” with the “business knowledge” so the “knowledge business” akan berjalan dengan sukses. Jangan dibalik!

Ketiga adalah passion for service. Mengapa? Ya, karena MarkPlus adalah a service knowledge business. Kita tidak berada pada industri manufacturing. Karena itu, setiap orang MarkPlus harus bisa “melayani” pelanggan.

Servis di MarkPlus bukanlah after sales service, tapi harus benar-benar menjadi service with care. MarkPlus harus menjadi “garda terdepan” untuk urusan servis. Karena itulah, kita juga sudah punya dan siap mengembangkan Christopher Lovelock Center for Asian Service.

Kita juga bekerja erat dengan Prof Jochen Wirtz di NUS dan Ron Kaufman dari Up Your Service. Kita sedang mengembangkan model care yang sangat berbeda dengan service. Di MarkPlus, siapa pun orangnya, harus mau dan “berani” memberikan servis. Bukan melayani raja, tapi memberikan servis penuh kepedulian layaknya kepada seorang teman yang kita sayangi.

P keempat adalah passion for people. Kita ajari orang-orang MarkPlus untuk tidak look down ke bawah, tapi tidak “minder” ke atas. Selain itu, semuanya diharapkan supaya bisa “inklusif ” ke kiri dan ke kanan.

Tidak ada gunanya memperhitungkan bangsa, suku, dan agama yang “vertikal”. Semuanya dididik jadi horizontal citizen of the world. Antara passion ketiga dan keempat ini ada hubungan yang sangat erat juga. MarkPlus is a People-oriented Service and A Service-based People Organisation!

Kita adalah perusahaan jasa berbasis orang, bukan teknologi. Tapi, kita juga suatu organisasi yang terdiri atas manusia-manusia berbasis servis.

Nah, kalau keempat passion ini diintegrasikan jadi satu, itulah MarkPlus! Saya menjadi personal model untuk empat P itu di MarkPlus. Walaupun selalu “gagal sekolah”, saya terus-menerus memburu dan mengembangkan pengetahuan.

Walaupun saya lahir di kampung sebagai anak pegawai negeri dan tidak punya keluarga wirausaha, saya terus mengembangkan bisnis sendiri. Walaupun sudah kelamaan jadi guru SMP dan SMA dan sampai sekarang pun punya jiwa “menggurui”, saya berusaha keras untuk melayani orang sebisa-bisanya.

Walaupun A Senior Citizen Man dari sononya, saya berusaha keras untuk selalu berjiwa youth, sensitif seperti women dan tidak gaptek seperti netizen.

Taufik yang sudah bersama saya mulai 1995 menjadi model saya di MarkPlus. Dia juga berasal dari kampung Salatiga di Jawa Tengah yang dulu pernah sekolah di ITB selama setahun.

Tapi, kemudian dia lulus di FE UI Jurusan Akuntansi. Dia sekarang adalah lulusan Nanyang Fellows, suatu program master yang elite dari Nanyang Business School berkolaborasi dengan MIT.

Passion for Knowledge-nya sejak dari dulu luar biasa. Taufik adalah walking encyclopedia di MarkPlus, tempat orang lain bertanya. Sedangkan passion for business-nya berkembang pesat walaupun bukan dari keluarga pedagang.

Sekarang dia malah jadi chief business officer atau CBO di MarkPlus. Tugasnya mengembangkan bisnis MarkPlus secara keseluruhan. Passion for service-nya luar biasa. Dia selalu mengutamakan external customer ketimbang urusan internal.

Dia bisa dan mau dihubungi kapan saja. Dia selalu “rewel” pada hasil riset yang akan dipresentasikan kepada klien. Sedang passion for people-nya juga hebat. Taufik bisa berbicara dengan siapa saja. Seorang pemimpin yang dekat, tapi disegani anak buah. Taufik juga tidak pernah “minder” bertemu siapa pun. Mau menteri, CEO, atau siapa pun.

Di MarkPlus, Taufik adalah orang yang “paling” mirip dengan saya dalam hal 4P! Dan, 4P itulah yang membedakan MarkPlus dari organisasi lain yang sejenis. Karena 4P itulah, jiwa orang MarkPlus-er. Yang cocok akan stay terus di atas “kapal” MarkPlus. Yang nggak cocok, biasanya ya tidak akan lama bertahan.

Apa boleh buat, memang harus ada “pemurnian” dari waktu ke waktu. (*)



Grow with Character! (97/100) Series by Hermawan Kartajaya - Youth, Women, and Netizen are The New Wave Subcultures

Youth, Women, and Netizen are The New Wave Subcultures

Pada 18 November 2009, saya tepat berusia 62 tahun. Tahun ketiga di era HK 3.0 yang dimulai ketika saya masuk ke usia 60 tahun. Tema kali ini adalah A Whole New Wave!

Artinya, saya mengusahakan untuk benar-benar bisa jadi a new wave person. Bukan jadi orang senior yang merasa punya masa lalu yang penuh perjuangan, lantas memaksakan pelajarannya kepada the youth. Harus sebaliknya, saya percaya bahwa pada saat ini, justru seniorlah yang harus belajar dari the youth. Sebab, the youth is the future!

Para marketer yang ingin memenangkan mind share haruslah memegang the youth. Azrul Ananda, putra Dahlan Iskan, adalah salah satu contoh konkret, bagaimana dia membuat dan mengembangkan DeTeksi, termasuk DBL-nya. Azrul adalah masa depan Jawa Pos. Pak Dahlan Iskan adalah orang yang membangun Jawa Pos dari reruntuhan sampai bisa sebesar sekarang. Tapi, tantangan ke depan sangat berbeda. Jawa Pos tetap terasa muda karena Azrul Ananda.

Selain itu, saya harus semakin sensitif seperti the women. Saya juga percaya bahwa women sebenarnya adalah yang akan menentukan arah dunia di masa depan. Bukan cuma ditandai munculnya beberapa perempuan sebagai pemimpin negara dan perusahaan, tapi saya tidak bisa membayangkan sebuah dunia tanpa perempuan.

Anda bisa? Women over men, is the soft power behind.

Inilah yang lebih dahsyat. Bagi orang marketing, kalau Anda mau menguasai market share, kuasailah women karena mereka membeli untuk family and friends. Sedangkan men membeli untuk dirinya sendiri.

Yang terakhir, saya harus berusaha terus menjadi netizen, bukan sekadar citizen! Saya percaya pada 2020 nanti sikap dan perilaku orang akan sangat berbeda dari sekarang. Orang mencari informasi, membeli barang, bermain, dan lain-lain lewat internet. Mereka akan makin suka bertemu dengan orang yang sangat berbeda karena di internet tidak ditanya dari mana, warga negara apa, suku apa, dan agama apa. Sedangkan citizen selalu merasa punya hak lebih hebat karena dia adalah warga negara, putra daerah, atau bahkan pribumi.

Pribumi baru di era new wave nanti adalah para netizen yang memegang paspor Facebook, Twitter, Google, dan Youtube! Atau mungkin yang lain lagi.

CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo adalah contoh nyata yang sudah melihat trend ini. Pak Agung berani berinvestasi besar-besaran di Kompas.com selagi Kompas masih sangat berjaya. Dia menggaungkan kedua media legacy dan new wave itu menjadi suatu kekuatan synergetic yang dahsyat.

Mengapa?

Karena Pak Agung percaya bahwa netizen kelak akan lebih powerful dibanding citizen. Untuk para marketer, kalau Anda ingin memenangkan heart share, menangkanlah hati para netizen. Sebab, mereka lebih berkomunikasi menggunakan hati di internet. Lihat bagaimana akhir dari kasus Bibit-Chandra dan Prita yang diselesaikan secara off-court.

Saya juga berkampanye di mana-mana bahwa youth, women and netizen are the three new wave subcultures yang harus dipegang kalau Anda mau melakukan new wave marketing.

Saya juga sangat percaya bahwa ketiga super communities tersebut akan menjadi fondasi bagi marketing pada 2010 dan selanjutnya. Itulah yang saya katakan di MarkPlus Conference pada 10 Desember 2009 di Pacific Place Jakarta.

Saya sendiri berharap bisa jadi a whole new wave person seperti itu, walaupun belum tentu bisa. Sejak memasuki Era HK 1.0 di usia 60 tahun, saya memang lebih banyak merenung untuk mencari terus makna hidup. Ternyata, saya memang manusia yang sangat lemah dan melakukan banyak kesalahan dalam perjalanan hidup ini.

Baik sebagai pribadi kepada teman-teman, di mana saya merasa sangat kurang banyak berbuat sesuatu. Juga sebagai seorang kepala keluarga, saya jauh dari sempurna. Sebagai pendiri MarkPlus, saya juga sering mengambil keputusan yang salah. Ya, tapi itulah saya, yang penuh kelemahan. Kata Confucius, setelah berusia 60 tahun, orang tidak boleh bersalah lagi dalam tindakan dan perilakunya. Tapi, saya tetap tidak bisa seperti itu.

Mudah-mudahan dengan menjadi a whole new wave person, saya akan bisa jadi lebih baik. Semangat saya untuk memberikan kontribusi kepada Indonesia lewat marketing pun semakin besar. Saya lahir, besar, hidup, dan akan mati di Indonesia. Negeri inilah yang memberi saya kesempatan untuk mendirikan MarkPlus yang akan ber-HUT ke-20 pada 1 Mei 2010 di Surabaya nanti.

Indonesia yang memberikan kesempatan untuk mengembangkan konsep marketing, dari Marketing Plus 2000 versi 1 sampai 3 dan dilanjutkan sampai ke New Wave Marketing. Belum tentu itu akan terjadi kalau saya lahir, besar, dan hidup di negara lain.

Indonesia itu kaya, indah, dan ramah, serta memberikan kesempatan pada semua orang untuk berkembang. Karena itu pula, saat ini saya banyak membantu berbagai instansi. Sudah lima tahun saya menjadi penasihat ahli Kapolri dan mengajar di Sespati Polri. Saya juga satu-satunya orang nonmuslim yang ditunjuk Bank Indonesia untuk duduk di Komite Perbankan Syariah. Saya adalah Special Ambassador for Indonesia Tourism dari Depbudpar. Saya juga sering mengajar di Lembaga Administrasi Negara dan Departemen Luar Negeri.

Saya juga duduk di Majelis Wali Amanah Universitas Indonesia, Dewan Sekolah SBM-ITB, ketua Tim Persiapan SBM-ITS dan Dewan Penyantun Universitas Katolik Soegiyapranata. Selain itu, saya beberapa kali membantu NU, Muhammadiyah, dan Pesantren Langitan.

Saya bersyukur kepada Prof Imam Robandi dari ITS, selaku Dikdasmen Muhammadiyah se-Jawa Timur yang pernah membawa saya menjadi keynote speaker di hadapan 7.500 guru di Universitas Muhammadiyah Malang. Dan, di situlah, Pak Din Syamsudin menobatkan saya sebagai “Ayatullah Marketing Indonesia”.

Itu semua saya lakukan sebagai bagian dari giving back to the country kecil-kecilan, karena saya tidak mampu melakukan yang besar-besaran untuk Indonesia tercinta. Tapi, saya percaya, banyak orang seperti saya yang bisa berbuat lebih besar untuk Indonesia. (*)



Grow with Character! (96/100) Series by Hermawan Kartajaya - Bali Mengungguli Kinabalu dengan New Wave Marketing

Bali Mengungguli Kinabalu dengan New Wave Marketing

PROFESOR Sang Lee adalah seorang Korean American yang luar biasa. Dua saudaranya yang tinggal di Korea adalah pejabat tinggi negara, pernah jadi menteri segala. Sedangkan Sang Lee memilih tinggal di Amerika dan menjadi profesor bidang operational research yang disegani.

Kali pertama saya diperkenalkan oleh Prof Hooi Den Huan pada 2008, Sang Lee sudah menyelenggarakan Pan Pacific Management Conference 25 kali berturut-turut tiap tahun! Berpindah-pindah tempat, dari satu kota ke kota lain. Tiap tahun, ada sekitar 300-500 peserta -kebanyakan profesor- menyempatkan datang untuk berkumpul.

Membicarakan topik di bidang manajemen yang lagi in, baik di sesi pleno maupun sesi-sesi paralel. Setiap tahun ada ratusan riset akademis yang dipresentasikan oleh para profesor muda dan kandidat doktor.

Den Huan mengatakan kepada saya bahwa dirinya sudah ikut “keliling” Sang Lee lebih dari sepuluh tahun. “Very very good for networking, Hermawan.”

“I am thinking to propose to him to organize it in Indonesia!” Wah, mendengar hal tersebut, saya terpanggil untuk menjadikan Indonesia tuan rumah. Why not?

Kita kan perlu mengekspos lebih banyak akademisi dan peneliti Indonesia ke panggung internasional. Sambil menjual MICE atau meeting, incentive, conference, and exhibition. Sudah beberapa tahun, para pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen atau SBM ITB ikut aktif di Asia Pacific Management Conference.

Sejak didirikan dulu, saya memang diajak aktif oleh Pak Kuntoro Mangkusubroto, yang sekarang menjadi ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Prof Ir Surna Tjahja Djajadiningrat MSc PhD.

Saya memperkenalkan Den Huan untuk juga ikut duduk sebagai international advisor di SBM ITB. Den Huan juga yang memperkenalkan Sang Lee ke SBM ITB. Bahkan, Sang Lee pernah datang ke Bandung sebagai tamu SBM ITB.

Jadi, dia pernah melihat Indonesia on the spot, tapi belum berpikir menyelenggarakan konferensi tahunannya di Indonesia. Terlalu banyak yang menawari Sang Lee untuk jadi host tiap tahun.

Waktu itu kota penyelenggara untuk konferensi ke-27 pada 2010 belum ditentukan. Tapi, Sang Lee sudah “biasa” memilih Malaysia. Sebagai alternatif, saya menawarkan Bali kepada Sang Lee lewat Den Huan. Maklum, saya belum pernah bertemu muka dengan Sang Lee pada 2007.

Kami baru berkomunikasi lewat e-mail. Mendengar kata Bali, dia langsung tertarik untuk mempertimbangkannya. Dia bilang akan meninjau dan membandingkan Kota Kinabalu atau KK dengan Bali. Wah, itu tantangan buat saya! Saya langsung menghubungi Menbudpar Jero Wacik untuk minta dukungan. Pak Jero Wacik sangat mendukung dan langsung menghubungkan saya dengan Dirjen Pemasaran Dr Sapta Nirwandar.

Pak Sapta meminta Direktur MICE Nia Niscaya untuk mendalami masalah itu. Ibu Nia kebetulan adalah arek Suroboyo yang juga Bonek. Kami berdua lantas mengatur strategi untuk memenangkan persaingan dengan KK.

Sebelum meninjau Bali, Sang Lee dijamu habis-habisan di KK. Saya mendapatkan info dari Den Huan bahwa di situ Sang Lee diajak makan malam oleh keluarga sultan. Sang Lee sebenarnya sudah sangat tertarik untuk memilih KK sebelum terbang ke Bali.

Saya tidak mau menyerah, tentunya! Saya, Den Huan, dan Nia menunggu Sang Lee di Bandara Ngurah Rai malam hari. Kami langsung bawa dia untuk makan malam di Warisan, Seminyak.

Saya sengaja mengundang Rachel Lovelock, adik Prof Christopher Lovelock, yang sudah lama tinggal di Bali. Maksudnya? Dia bisa menceritakan betapa amannya Bali walaupun pernah dibom dua kali!

Ibu Nia juga bercerita bahwa Warisan adalah kepunyaan orang bule yang menikah dengan orang Indonesia. Yang makan malam waktu itu hampir semuanya bule!

Itulah moment of truth pertama untuk menetralkan negative feeling Sang Lee sebagai customer. Malam itu, secara terus terang dia bilang lebih safe menyelenggarakan even tersebut di Malaysia karena dua alasan. Pertama, iklan Truly Asia sangat gencar. Maka, para peserta tahunannya lebih tahu Malaysia ketimbang Indonesia.

Kedua, orang tahu nama Bali, tapi takut karena ada dua kali bom, terutama orang Amerika! Itulah yang dalam marketing disebut sebagai anxiety and desire, yang belum tentu mau diucapkan, demi sopan santun.Anda pernah nonton The Invention of Lying? Orang jadi sering melakukan white lie demi sopan santun dan kelihatan gentleman. Tapi, bagi orang marketing, justru itulah yang harus dicari!

Saya juga dengar dari Den Huan bahwa Sang Lee gila golf. Di KK, Sang Lee sudah diajak melihat beberapa lapangan golf. Karena itu, besoknya, dari tempat menginapnya di Grand Hyatt Nusa Dua, saya ajak dia melihat golf course yang pas berada di sebelahnya.

Di Nusa Dua, dia juga meninjau dua tempat konferensi, yaitu Grand Hyatt dan Sheraton. Saya lihat wajah Sang Lee mulai berubah. Mungkin dia tidak pernah menyangka bahwa Bali bukan hanya tempat main-main, tapi juga bisa digunakan untuk koferensi.

Setelah peninjauan, kami mengajak dia ke Ubud. Perkenalan dengan keluarga Puri Ubud sangat mengesankan! Terus terang, itu bertujuan mengimbangi pertemuannya dengan keluarga sultan di KK. Saya berani memastikan bahwa Ubud punya kesakralanyang lebih berkelas dunia. Yang lebih mengesankan buat Sang Lee, dia kami minta berbicara di depan pejabat Pemda Gianyar, anak buah Dr Tjokorda Oka Sukawati yang juga bupati di sana.

Wah, dia lantas merasa menjadi orang penting, kan? Malamnya, kami ajak dia dinner di Restoran Mozaic. Tempat itu juga dipunyai bule yang beristri wanita Indonesia. Mozaic memang masuk dalam daftar restoran kelas dunia.

Malam kedua, dia kami atur untuk tidur di Royal House atau vila VVIP di Royal Pita Maha, hotel milik keluarga Ubud. Paginya, saya ajak dia beryoga di tepi Sungai Ayung yang memang mengalir di dalam hotel. Dia juga kami ajak makan pagi di tepi Sungai Ayung sambil melihat orang-orang rafting, yang memang melewati Royal Pita Maha.

“Wow, it is amazing. I never had an experience like this!” ucap dia. Saya melihat, “angin” mulai berbalik. Ibu Nia waktu itu langsung menyambar kesempatan tersebut dengan menawarkan diri untuk mensponsori Indonesia Cultural Nite di farewell party konferensi ke-27 di Sen Zhen!

The timing is very right!

Kalau ditawarkan pada hari pertama, percuma karena feeling Sang Lee masih di KK. Yang lebih meyakinkan Sang Lee, dirinya melihat saya makan babi guling Ibu Oka berdampingan dengan Ibu Nia yang makan nasi ayam kadewatan!

Di situ saya punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara berdasar agama, melainkan Pancasila. Itulah keunikan Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia. Kayaknya, penjelasan itulah yang ditunggu-tunggu Sang Lee. Tapi, dia tidak berani bertanya karena sensitivitas.

Sekali lagi, orang marketing harus bisa membaca pikiran pelanggan. Sebab, sering orang menolak membeli bukan dengan alasan sesungguhnya. Melainkan, dia belum melihat jawaban atas pertanyaan yang disimpannya dalam hati.

Dalam perjalanan ke Bandara Ngurah Rai, saya mengajak Sang Lee mampir ke Ritz-Carlton Jimbaran yang juga the best Ritz in the world. Di situ Sang Lee enjoy dengan fasilitas hidroterapi yang terbesar di dunia! Ibu Nia pun ikut terjun ke kolam! Sebuah pengorbanan dari direktur MICE yang mau turun ke lapangan sampai segitunya. Apalagi, kan hal itu sangat langka untuk seorang wanita muslim. Tapi, itulah yang membuat Sang Lee sangat bahagia sekaligus terharu.

Melihat betapa ngototnya kami mempromosikan Bali. Dia sudah tidak mempersoalkan bom lagi ketika mengatakan yes sebelum meninggalkan Bali. Itulah the real country marketing story yang saya lakukan demi merebut 500 profesor datang ke Bali pada 30 Mei sampai 3 Juni 2010!

It is a low budget, high impact marketing.

Sepulang dari Bali, mereka semua adalah profesor yang akan jadi promotor untuk semua mahasiswa yang berjumlah ribuan!

And very new wave too. Tidak pakai iklan, melainkan pendekatan komunitas. Bahkan, pasti lebih ampuh daripada iklan! Susah dan capai karena harus kreatif, tapi menyenangkan.

Saya sekarang punya banyak teman di bidang kebudayaan dan pariwisata karena Pak Sapta selaku Dirjen Pemasaran suka melakukan new wave marketing!

Pada 27 Mei 2009, tepat HUT ke-78 Philip Kotler, saya dan Kotler dilantik sebagai special ambassador for Indonesia Tourism oleh Menbudpar Jero Wacik di Galeri Nasional Jakarta. Kami adalah duta kedua dan ketiga sesudah Bill Gates! (*)



Grow with Character! (95/100) Series by Hermawan Kartajaya - Dari Mayo Clinic ke University of Nebraska: New Life, New Wave!

Dari Mayo Clinic ke University of Nebraska: New Life, New Wave!

AWAL 2008, saya diajak Stephanie, anak perempuan saya, untuk check-up di Mayo Clinic. Memasuki usia ke-60 pada 18 November 2007, dengan tema In Search of Meaning, kesehatan menjadi penting. Tanpa kondisi fisik yang memadai, pencarian makna hidup dengan terus-menerus mencari akan terhenti. Karena itu, saya selalu menambahkan PQ atau kecerdasan memelihara kondisi fisik sebelum IQ, EQ, dan SQ.

Sejak kena diabetes pada usia 37 tahun lalu, sebetulnya saya jadi makin sadar kesehatan. Dulu tidak pernah berolahraga dan kerjanya cuma makan ngawur. Tapi, setelah kena, malah hati-hati dalam memilih makanan. Tapi, karena saya sangat addicted untuk joging, jadi sekarang lutut saya agak terganggu. Sudah tidak joging, hanya jalan cepat sekali-sekali.

Hampir setiap hari saya tes darah puasa. Kalau ketinggian jadi mengurangi intake, kalau kerendahan menambah intake. Dari pengalaman saya, kalau saya stick pada bento White Lotus untuk lunch dan dinner, selalu aman. Semua sudah terukur untuk kondisi saya.

Di Rochester, tempat Mayo Clinic, saya dinyatakan sehat setelah diperiksa tiga hari dari rencana lima hari! Dari situ, saya terbang ke Lincoln, ke kampus University of Nebraska. Saya jadi guest-scholar dan diminta menjadi pembicara di forum Global Leadership Institute yang didirikan Profesor Sang Lee.

Sang Lee juga merupakan chair of management department di sana selama lebih dari 25 tahun! Dia merupakan profesor yang sangat disegani karena sudah menulis banyak jurnal dan buku di bidang Operational Research.

Dalam forum yang berjumlah sekitar 30 profesor dan mahasiswa doktoral itulah, saya diminta ”mempertahankan” konsep New Wave Marketing saya! Jadi, selain sudah di-”tes” di Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, dan Tokyo, New Wave Marketing juga dibicarakan di kalangan akademik di Amerika. Hebatnya, mereka tidak mau mendebat di metodologi risetnya, tapi langsung pada esensi ”horizontalisasi”-nya.

Dean of Business School yang merupakan bos Prof Sang Lee juga hadir. Di antara semua profesor yang hadir, ada satu yang sangat senior. Prof Fred Luthans! Dia spesialis di human resources, khususnya di organizational behaviour. Buku teksnya dipakai sekolah bisnis di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Waktu forum akan dimulai, Sang Lee mengasih tahu saya bahwa ada Fred di situ. Tapi, dia sengaja gak mau kasih tahu yang mana. Dia khawatir saya akan terpengaruh akan senioritas Fred Luthans.

Dasar arek Suroboyo kan ”bonek”. Saya tetap aja presentasi dengan semangat seperti biasa. Semua lancar karena topik yang dibicarakan ya konsep hasil riset saya sendiri. Ya pasti saya yang paling menguasai. Ketika acara masuk ke tanya jawab, para profesor marketing malah diam. Mungkin mereka pilih safe karena tahu saya sudah menulis empat menjelang lima buku dengan Philip Kotler.

Yang banyak mendebat justru para kandidat doktor atau mahasiswa S-3 dari Tiongkok! Di mana-mana, mereka memang agresif, seringkali lebih agresif dari mahasiswa India. Mereka sekarang sangat pede di mana-mana karena Tiongkok lagi jadi the new superpower dan negara yang paling ”ditakuti” AS saat ini. Tidak susah untuk meladeni mereka. Sebab, bagaimanapun, mereka akan respect pada orang yang lebih senior. Ajaran Confucius kan?

Sebelum acara ditutup Prof Sang Lee, ada seorang profesor senior yang sebelumnya diam saja angkat bicara. Dia menyatakan yakin bahwa konsep New Wave Marketing ini akan jadi konsep masa depan! Begitu dia selesai bicara, semua bertepuk tangan dan pertemuan ditutup!

Setelah itu, saya baru tahu bahwa itulah Profesor Fred Luthans! Profesor management yang paling disegani di University of Nebraska selain Prof Sang Lee. Dia mendekati saya dan membawa saya ke kamar kerjanya. Di situ, dia menceritakan hasil karyanya tentang Psychological Capital atau ”HERO” yang masih sangat akademik. ”I want you to work with me to write a book about my model for Marketing. But in a practical way!”

Jadi, dia sadar bahwa jurnal-jurnal yang hanya dibaca di kalangan akademik tidak bisa membawa konsep HERO-nya yang bagus itu ke dunia praktis! Saya bilang pasti saya akan suka bekerja sama dengan dia, tapi masih ”antre”. Kan, masih harus menerbitkan New Wave Marketing bersama Philip Kotler sebagai buku keenam!

Konsep HERO berarti hope, efficacy, resiliency, dan optimism yang sudah ada alat pengukurnya. Dia sudah membuktikan secara ilmiah bahwa siapa pun yang HERO-nya lebih tinggi akan lebih hebat juga produktivitas, kreativitas, bahkan kesehatannya.

Saya melihat bahwa HERO cocok untuk self motivational tool bagi para marketer di era horizontal yang semakin sulit ini. Jangan tunggu dimotivasi orang lain, tapi ukurlah derajat HERO Anda dan tingkatkan sendiri! Itulah idenya.

Beberapa bulan setelah acara di Nebraska itu, saya diundang Prof Sang Lee untuk menghadiri Pan Pacific Management Conference di Sen Zhen. Di situ, ternyata saya diberi Distinguished Global Leadership Award dari Pan Pacific Business Association, University of Nebraska. Penghargaan tertinggi mereka yang biasanya hanya diberikan pada para profesor! Karena itu, saya semakin yakin bahwa New Wave Marketing adalah konsep yang solid untuk masa depan.

Pada 18 November 2008, saya merayakan HUT ke-62. Temanya jadi New Life, New Wave! Saya sudah menemukan makna hidup yang dicari setahun lalu. Apa itu? Tidak boleh menempatkan diri di atas orang lain, tapi juga tidak perlu di bawah orang lain. Tahun depan, saya akan ke Mayo Clinic lagi! (*)



Grow with Character! (94/100) Series by Hermawan Kartajaya - Made in Indonesia, Tested in Asia, Published in US!

Made in Indonesia, Tested in Asia, Published in US!

SUDAH menjadi kebiasaan saya untuk memulai suatu konsep marketing di Indonesia, mengujinya di Asia, dan menerbitkannya menjadi buku di Amerika bersama Philip Kotler. Setelah di-launch pada 2008, konsep New Wave Marketing mendapat banyak tanggapan.

Masalahnya saya mulai menggunakan istilah 12-C untuk mentransformasi 9-E (elemen) yang vertikal. Keyakinan saya sangat kuat bahwa pada 2020 nanti key words yang berasal dari legacy marketing akan terdengar “menjijikkan”.

Pada saat ini saja, sudah banyak yang menjalankan Community Based Marketing walaupun hanya “berganti nama”. Masa mensponsori suatu even sudah dinamai menjalankan marketing berdasarkan komunitas? Kalau hanya begitu, ya namanya baru below the line (BTL).

Di era Legacy yang vertikal, ada istilah Above The Line (ATL) untuk komunikasi via media massa dan Below The Line (BTL) untuk yang bisa menghasilkan penjualan “lebih langsung” atau sponsorship.

Di New Wave Marketing yang horizontal, membentuk atau memilih komunitas bukan ATL atau BTL. It is totally different! Sebuah komunitas mempunyai Purpose, Identity dan Value (PIV) tersendiri. Anda mesti mengerti, menerima dan meng-adopt supaya bisa di-confirm jadi anggota, kalau tidak Anda tetap dianggap alien!

Kalau Anda membentuk komunitas sendiri, Anda bisa menetapkan PIV-nya. Dan, menyeleksi siapa yang mau di-confirm! Step Community-Confirmation yang merupakan 2C pertama “pengganti” Segmentation-Targeting ini merupakan “pintu masuk” untuk aktivitas selanjutnya.

Bagaimana dengan PDB yang merupakan anchor-nya sembilan elemen? Di New Wave Marketing, PDB jadi “Triple C” yaitu Clarification-Cofication-Character! Nah, kalau Anda sudah ada “di dalam” suatu komunitas, Anda bisa berinteraksi dengan semua anggota komunitas. Lakukan kegiatan branding ada di sini, tapi dengan tidak “menembak secara vertikal”. Di zaman New Wave, tidak ada yang mau jadi “sasaran tembak”.

Gone are the Days that Marketers are Snipers! Marketers are “Story Tellers”,”Script Writers” even “Directors” now!

Saya membayangkan di Disney, ada karakter Mickey Mouse, Mini Mouse, Donald Duck, dan lain-lain. Masing masing authentic diferensiasinya! Dan, dari sikap dan perilakunya, orang sudah clear akan DNA masing-masing.

Jadi, Triple C-nya Mickey Mouse memang berbeda dengan Triple C-nya Donald Duck. Ini saatnya para marketer belajar dari para novelis untuk meng-”hidup”-kan berbagai karakter dalam satu cerita. Wow! Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kan?

Sedangkan marketing mix yang biasanya disebut 4P sekarang disebut 4C: Co-creation, Currency, Communal Activation, dan Conversation! Sekali Anda ada “di dalam” komunitas, Anda bisa mengembangkan produk bareng-bareng dengan komunitas. Dengan demikian, kemungkinan gagal waktu di-launch lebih kecil.

Harga akan berbeda-beda menurut dimensi time and space, bahkan individual. Bagaikan Currency yang nilainya floating bergantung pada berbagai aspek. Supply, Ddemand, intervensi, politik ,dan sebagainya. Karena itu, currency bisa menghasilkan harga yang no-price alias free sampai price-less atau tak ternilai! Bukan sekadar menaikkan harga atau memberikan diskon seperti di era legacy marketing.

Place harus dipakai untuk A place, virtual or real one, should activate the community. Makin sering tempat Anda mengadakan aktivitas, semakin bagus. Sedang promotion jelas akan ditolak pada 2020 dan harus diganti dengan A fair conversation! Selling harus juga berubah jadi A fair commercialisation yang win-win untuk kedua belah pihak.

Selanjutnya service jadi care sering disalahartikan. Banyak orang yang mengubah kata customer cervice menjadi customer care, padahal kelakuannya sama saja. Peduli berarti menempatkan customer bukan “di atas” marketer, tapi menempatkan customer sebagai seorang kawan, bahkan soulmate kalau bisa. Bukan memberikan yang “terhebat”, tapi yang “terbaik” untuk pelanggan. Bukan memberikan “variasi”, tapi membantu pelanggan untuk “memilih” yang terbaik.

Terakhir, process berubah menjadi collaboration yang bisa dilakukan bukan dengan pelanggan saja, tapi “wajib” dilakukan dengan pihak lain, termasuk dengan pesaing bila perlu.

Nah, jumlahnya 12 C kan yang berbeda sama sekali dari 9 elemen, bukan sekadar “istilah baru”. Akhir tahun lalu pada 10 Desember 2009, juga di MarkPlus Conference di Pacific Place Jakarta, saya menyempurnakan lagi 12 C itu dengan CONNECT!

Connect ini juga merupakan nama buku yang saya tulis bersama dengan Waizly Darwin dan para pembaca Kompas. Di situ saya mengatakan bahwa Connect merupakan prasyarat awal sebelum menjalankan 12 C! Letaknya ada di tengah model Landscape 4C (Change, Competitor, Customer, Company ).

Artinya? Sebelum berpikir komunitas, Anda harus punya sebuah Always On Paradigm! Ada tiga tingkat Connect! Pertama saya sebut mobile-connect. Ini syarat awal, artinya ke mana pun Anda pergi harus siap connect dengan tiga C lainnya yaitu: Customer, Change Agent, bahkan Competitor! Kalau enggak? Anda pasti akan outdated! Anda juga harus well-connected dan siap 24/7!

Kedua, yang saya sebut sebagai experiential connect atau deep connection. Anda wajib pernah punya experience bersama, baik online, kalau bisa offline dengan beberapa orang yang Anda anggap penting untuk “masuk lebih dalam”.

Dan, yang terakhir saya sebut sebagai social connect atau strong connectivity! Untuk beberapa orang pilihan, Anda perlu “masuk” ke komunitas mereka.

Nah, di sinilah “sambungan” untuk masuk 12 C lewat C pertama, yaitu Community! Pada New Wave Marketing, sudah tidak ada ATL dan BTL lagi. Yang ada ON-LINE dan OFF-LINE ! Online untuk meng-create excitement, sedangkan offline untuk intimacy.

Jadi, New Wave Marketing sama sekali bukan hanya ONLINE, tapi juga OFFLINE. Bukan juga digital marketing, tapi sebuah pemikiran baru untuk memosisikan pelanggan sejajar dengan marketer. Tidak “di bawah”, tapi juga tidak perlu “di atas”! Semua ini dijelaskan secara detail di buku New Wave Marketing dan Connect terbitan Gramedia Pustaka Utama.

Inilah yang saya sebut sebagai “diracik” di Indonesia. Tapi juga sudah “dites” untuk dapat feedback di berbagai kota Asia di berbagai kesempatan. Hasilnya sangat positif. Langkah terakhir? Diterbitkan di Amerika bersama Philip Kotler lagi sebagai buku saya keenam! (*)



Grow with Character! (93/100) Series by Hermawan Kartajaya - Hanya Ada New Wave Marketing Mulai 1 Januari 2020

Hanya Ada New Wave Marketing Mulai 1 Januari 2020

BUKU The World is Flat tulisan Thomas Friedman layaknya The New New Testament. Semacam perjanjian paling baru bagi setiap orang di bumi bahwa situasi sudah berubah total. Friedman bukan profesor dari sekolah bisnis top dunia, melainkan hanya seorang wartawan yang berkeliling dunia. Di mana-mana dia mengamati dan menemukan bahwa globalisasi sudah mencapai era 3.0.

Era 1.0 adalah masa negara-negara adikuasa dari Eropa menguasai seluruh dunia. Indonesia termasuk jadi korbannya, jadi koloni Belanda selama 350 tahun! Era 2.0 adalah masa perusahaan adikuasa melanda dunia. Mereka mengkavling dunia menurut region-region sesuai dengan yang mereka mau. Pemerintah dipaksa memenuhi keringanan pajak yang diminta dengan dalih investasi. Para multinational company (MNC) malah diundang masuk ke suatu negara dengan ditawari macam-macam insentif.

Globalisasi 3.0 sudah dimulai. Setiap individu yang terhubung ke internet akan berkuasa. Perusahaan MNC dan negara takut terhadap power mereka.

Waktu Friedman menulis buku itu, Facebook, Google, Youtube, dan Twitter belum sekuat sekarang. Tapi, yang dia tulis tersebut benar dan semakin terbukti. Melampaui prediksi Alvin Toffler dalam bukunya, The Third Wave.

Itu sesuai dengan buku Marketing 3.0 yang berdasar transparansi. Dalam dunia datar yang dibayangkan oleh Friedman, negara dan perusahaan -yang biasanya menempatkan diri di atas individu- akan tidak berdaya. Kenapa? Sebab, individu yang terkoneksi satu sama lain oleh internet akan jadi kekuatan social networking yang dahsyat! Harus ada spirit transparansi.

Di dunia datar tersebut, orang sudah tidak membicarakan hal-hal yang vertikal, seperti bangsa, negara, suku, agama, usia, pekerjaan, bahkan status! Mereka terkoneksi sebagai citizen of the world. Mereka merupakan manusia dengan spirit yang sama. Yaitu, ingin bekerja sama, bermain bersama, dan berinteraksi bersama. Mereka saling tukar ide untuk suatu kehidupan dunia yang lebih baik.

Saya jadi ingat pada lirik Imagine dari John Lennon yang sejak dulu merindukan hal semacam itu. Luar biasa, kan? Nah, saya pun berpikir mengembangkan Marketing 3.0 pada tataran model pelaksanaan! Saya merasa sudah saatnya mentransformasikan model Marketing Plus 2000 yang jadi sustainable market-ing enterprise atau SME, yang merupakan versi 3.0 itu. Tapi, kali ini bukan jadi versi 4.0, melainkan berubah total.

Dari vertikal ke horizontal! Ketika intensif melakukan riset tentang cara menghorizontalkan sembilan elemen, saya ngobrol dengan Pak I Nyoman G. Wiryanata, director of consumer PT Telkom Indonesia. Dia bercerita, lanskap Telkom telah berubah dari legacy ke new wave.

Itu adalah istilah teknologi yang lazim digunakan di industri telekomunikasi. Mendadak saja, terjadi “Aha” di otak saya saat diskusi berlangsung. Lalu, saya bilang kepada Pak Nyoman bahwa saya sudah ketemu nama yang pas bagi suatu horizontal marketing!

New Wave Marketing! Wow! Saya suka nama itu! Pulang dari diskusi, saya googling kata new wave yang mengakibatkan saya semakin yakin bahwa itu adalah kata yang benar! Maka, saat itulah saya mulai menggarap dengan serius penghorizontalan sembilan elemen. Saya yakin bahwa sembilan elemen tersebut habis pada 2020! Kenapa? Sebab, sembilan elemen itu sudah semakin mahal dan tidak efektif lagi!

Bayangkan STP atau segmentation-targeting-positioning. Individu yang terkoneksi satu sama lain tersebut tidak mau di-STP-kan lagi! Mereka sudah berkomunitas, di mana marketer harus mampu diterima di situ untuk mengklarifikasikan siapa dirinya!

Sebab, STP jadi communitization, confirmation, dan clarification! Carilah komunitas-komunitas yang cocok atau bentuklah komunitas Anda sendiri. Kemudian, please confirmed that you are in the community. Komunitas tidak bisa ditarget. Sebab, para anggotanya solid, tidak seperti segmen yang loose.

Definisi positioning dari Al Ries dan Jack Trout akan gugur sendiri. Sebab, otak individu di komunitas tidak bisa dikerjai dengan iklan lagi. Yang bisa dilakukan, Anda harus masuk ke dalam komunitas untuk mengklarifikasi positioning yang Anda inginkan.

Bagaimana DMS di taktik? Diferensiasi jadi lebih susah pada era horizontal. Harus authentic supaya susah ditiru. Karena itu, saya menyebutnya sebagai codification of a DNA!

Produk sebaiknya diciptakan bersama pelanggan. Sebab, itu jadi co-creation. Price jadi currency karena floating kayak mata uang sesuai dengan intrinsic dan extrinsic value-nya. Place jadi communal activation. Sebab, hanya di tempat pengaktifan komunitas itulah terjadi channel informasi maupun penjualan.Promotion jadi conversation karena pelanggan sudah tidak mau diberi promosi lagi. Mereka lebih percaya dengan percakapan dalam komunitas sendiri. Selling jadi commercialization karena individu hanya mau melakukan a fair transaction. Mereka tidak suka jika dijadikan sasaran para salesman!

Pada BSP atau marketing value, juga terjadi transformasi. Sebuah brand akan jadi karakter! Sebuah brand yang dipaksakan masuk ke benak konsumen bakal susah diingat. Tapi, sebuah karakter yang khas akan diingat orang!

Service jadi care karena pelayanan sudah jadi generik. Orang sekarang menuntut kepedulian! Sedangkan process jadi collaboration. Kenapa? Sebab, sesuatu yang dilakukan sendiri akan jadi mahal. Mulai hulu sampai hilir, kolaborasi harus diupayakan dengan berbagai pihak.

Buku berbahasa Indonesia untuk new wave marketing yang sering saya sebut sebagai low budget high impact marketing tersebut sudah jadi best seller di Indonesia. Buku itu diluncurkan di MarkPlus Conference yang dihadiri 4.000 orang pada Desember 2008 di Pacific Place dan sekarang sudah dicetak ulang beberapa kali. Ketika saya menjelaskan kepada Philip Kotler, dia suka sekali. Bahkan, John Wiley minta ide tersebut digabung dengan konsep marketing 3.0!

Saya menolaknya dengan halus. Tapi, itulah rencana buku keenam saya bersama Kotler! Banyak yang belum percaya akan efektivitas new wave marketing saat ini walaupun trennya sudah jelas. Saya hanya bilang, “Saat Anda bangun pada 1 Januari 2020, sudah tidak ada lagi legacy marketing. Yang ada hanya new wave marketing!” (*)



Grow with Character! (92/100) Series by Hermawan Kartajaya - Marketing 3.0: Dari Buku Wiley and Sons di Amerika Sampai ke Museum Puri Lukisan di Ubud

Marketing 3.0: Dari Buku Wiley and Sons di Amerika Sampai ke Museum Puri Lukisan di Ubud

PROSES berpikir untuk mengembangkan konsep marketing yang sejalan dengan zaman bagi saya tidak pernah berhenti. Hal itu tidak bisa terlepas dari perkembangan MarkPlus.

Marketing 3.0 buat saya punya arti tersendiri. Terutama, ketika saya memasuki usia 60 tahun pada 18 November 2007. Mulai saat itu, saya sadar bahwa saya sudah memasuki suatu life stage berikutnya. Bisa-bisa the last life stage. Karena itu, saya mulai menetapkan tema untuk diri sendiri tiap tahun. Khusus tahun ke-60 tersebut, saya menetapkan tema In Search of Meaning. Artinya, Mencari Makna Hidup. Kira-kira seperti itu.

Saya melihat hidup saya pada 30 tahun pertama sebagai HK 1.0 yang berjuang secara rasional. Melakukan segala macam hal untuk bisa survive. Sebab, waktu kecil di kampung, saya sangat miskin. Karena itu, saya hanya memikirkan cara agar dapat hidup layak dan berani bekerja keras supaya bisa menerobos ke atas.

Orang tua saya selalu bilang bahwa saya harus pintar karena keluarga kami miskin. “Jangan ambil risiko karena kita bukan pengusaha.” Papa saya selalu mengarahkan saya untuk jadi seorang profesional yang dibutuhkan oleh orang banyak supaya hidup saya safe. Nilai-nilai rasional seperti yang saya warisi dari orang tua itulah yang mewarnai era 1.0 saya.

Pada 30 tahun kedua, saya melihat hidup saya sebagai HK 2.0, yang mulai membentuk kepribadian saya. Terus terang, saya banyak terpengaruh buku Daniel Coleman yang mengupas pentingnya emotional intelligence atau kecerdasan emosional.

“Sukses tidaknya seseorang lebih ditentukan oleh EQ ketimbang IQ.” Hal itu dibuktikan oleh Coleman lewat berbagai penelitian. MarkPlus lahir pada 1 Mei 1990, ketika saya hampir berusia 43 tahun. Artinya, saya kira-kira berada di tengah era HK 2.0. Di era itu saya pengin menjadi diri sendiri, di samping selalu sering merasa bersalah kepada kedua orang tua saya.

Mengapa saya kurang hormat dan kurang menunjukkan kasih sayang ketika mereka masih hidup? Kenapa saya tidak pernah lulus dari ITS? Padahal, papa saya akan sangat bangga kalau saya bisa jadi insinyur. Kenapa saya tidak pernah mengajak mama saya jalan-jalan ke luar negeri selama beliau masih ada? Padahal, dia bekerja keras untuk menutup kekurangan pendapatan dari gaji papa saya sebagai pegawai negeri yang “tidak pintar” mencari penghasilan tambahan.

Di era 2.0, saya semakin sadar bahwa mengelola persahabatan, perusahaan, bahkan keluarga tidak bisa hanya menggunakan IQ. Justru harus memanfaatkan EQ! Ketika saya sampai pada titik usia 60 tahun dan flashback, saya merasa bahwa era 2.0 itulah yang penuh dengan pembelajaran.

Terus terang, pada era HK 1.0, EQ saya tidak terlatih sama sekali. Karena itu, cost cukup tinggi ketika saya terus mengembangkan kehidupan pribadi, keluarga, dan MarkPlus. Akhirnya, saya menyadari, tidak ada gunanya suatu pencapaian kalau saya harus kehilangan jati diri.

Mendirikan dan membesarkan MarkPlus akan gagal kalau hanya menggunakan IQ karena kita perlu dukungan banyak orang, sebagaimana yang saya tulis berkali-kali. Strategi berdasar pemikiran rasional saja tidak akan berjalan tanpa kepiawaian mengelola emosi diri dan orang lain.

Begitu juga ketika membangun pribadi dan keluarga. Saya tidak tahu, tiga puluh tahun ketiga saya yang dimulai pada 2007 sebagai era HK 3.0 akan berlangsung berapa lama.

Salah seorang yang sangat memengaruhi saya adalah Danah Zohar, penulis buku Spiritual Capital. Saya tidak tahu apa agamanya. Tapi, ketika saya seharian menjadi moderatornya, saya kagum kepada perempuan tersebut. Zohar juga pernah mampir ke MarkPlus Jakarta untuk rekaman radio bersama saya. Kata-kata Dahlan Iskan sesudah operasi cangkok liver di Tiongkok pun sangat mengesankan saya. “Hidup ini tidak ada artinya kalau kita tidak berguna untuk orang lain.”

Setelah itu, saya baru sadar bahwa IQ dan EQ saja ternyata memang tidak cukup. Spiritual capital-lah yang menentukan kematangan manusia. Tidak peduli agamanya apa, kalau tidak punya kematangan, orang tidak akan berarti. Bisa-bisa sosok itu menjadi fanatik buta yang berbahaya.

Karena itu pula, ketika buku Marketing in Venus yang berdasar EQ sukses di Indonesia dan diterjemahkan ke bahasa Vietnam, bahkan di-localized di Tiongkok, saya malah jadi khawatir. Jangan-jangan, saya ngajarin orang untuk menjalankan playboy marketing! Bukankah IQ, apalagi EQ, seorang playboy biasanya sangat tinggi? Tapi, bagimana moralitas dan etikanya?

Jawabannya ya marketing 3.0, yang pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa sustainability sebuah perusahaan tidak hanya ditentukan oleh inovasi produk (1.0), bahkan kepuasan pelanggan (2.0), tapi juga spirit untuk berbuat kemanusiaan (3.0) dari perusahaan itu sendiri. Tanpa yang satu itu, sehebat-hebatnya inovasi produk dan kepuasan pelanggantidak akan bisa membuat sebuah perusahaan berkelanjutan.

Untuk pribadi saya, era HK 3.0 juga harus begitu. Bukan hanya inovasi konsep pemasaran dalam rangka memuaskan orang lain, semuanya juga harus dilakukan dengan spirit kemanusiaan yang tinggi. In Search of Meaning itu sejalan dengan The Meaning of Marketing dan Marketing of The Meaning yang saya tulis di Marketing 3.0.

Nah, itulah yang akhirnya membawa saya melakukan pendalaman di Ubud, Bali, tentang kenapa Ubud bisa begitu mahal? Selama beberapa tahun ini, bergaul dan mendengarkan ceramah tiga Tjokorda dari Puri Ubud membuat saya sadar bahwa Ubud adalah sebuah kasus marketing 3.0 yang sangat menarik! Bayangkan, bapak tiga Tjokorda sekarang, yang merupakan the last king of Ubud zaman dulu, dengan penuh ketulusan mengundang banyak orang asing untuk tinggal di Ubud. Akhirnya, orang-orang asing itulah yang jadi marketer dari Ubud. Antonio Blanco bahkan berkeluarga di Ubud dan museumnya dikunjungi semua presiden RI dan berbagai tamu asing kelas atas.

Ubud yang humble itu akhirnya malah jadi The Best City in Asia pilihan pembaca Conde Naste Traveller pada 2009. Karena itu pula, dibantu Bembi Dwi Indrio M., saya menerbitkan buku Ubud: The Spirit of Bali. Buku tersebut merupakan live case book dari Marketing 3.0 dan akan saya bawa ke mana-mana untuk dipromosikan. Sehubungan dengan itu juga, sekalian dipersiapkan Museum Marketing 3.0, yang tanah dan gedungnya disponsori Keluarga Puri Ubud di kompleks Museum Puri Lukisan.

Peresmiannya dilakukan pada 27 Mei 2011 oleh Philip Kotler, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-80-nya! Saya pengin menggabungkan konsep kelas dunia dengan kearifan lokal Indonesia! (*)



Grow with Charater! (91/100) Series by Hermawan Kartajaya - Mengabadikan Nama Christopher Lovelock di Indonesia

Mengabadikan Nama Christopher Lovelock di Indonesia

SELAIN Prof Philip Kotler, saya juga berkenalan dan cukup “dekat” dengan Prof Christopher Lovelock. Ceritanya menarik, sih. Profesor asal Inggris itu sudah lama tinggal di Amerika dan dulu mengajar di Harvard Business School (HBS). Dialah yang diminta Dean HBS waktu itu untuk menyusun kurikulum services marketing.

Saat itu HBS belum punya kelas dan buku teks. Chris, yang risetnya sudah berfokus di industri services, akhirnya setuju untuk melakukan hal tersebut. Dia bekerja keras untuk menyusun silabus, menulis buku teks, dan mengajarkannya sendiri.

Tapi, karena itulah Chris dianggap sebagai pionir sekaligus master pelaksanaan marketing di industri jasa. Buku teksnya juga sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia dan digunakan oleh banyak sekolah bisnis di dunia, termasuk Indonesia. Selain itu, dibuatkan versi Asia buku teks tersebut.

Co-author yang dipercaya Chris adalah Prof Jochen Wirtz. Dia mengajar di National University of Singapore (NUS). Saya kenal dengan Jochen karena dia termasuk salah seorang kontributor kasus untuk buku Sustainable Marketing Enterprise in Asia. Dia teman baik Prof Hooi Den Huan.

Jochen memperkenalkan Chris kepada saya untuk dua hal. Yang pertama, dia bisa mengenal dan siapa tahu bisa punya proyek bersama. Yang kedua, adik perempuan Chris sudah hampir sepuluh tahun tinggal di Bali! Rachel Lovelock yang berprofesi sebagai penulis pariwisata itu ternyata jatuh cinta dengan Bali dan tinggal sendiri di Kerobokan. Karena itu, Chris cepat akrab dengan saya.

Ketika Chris datang ke Jakarta, sebelum ke Bali untuk menemui sang adik, saya minta dia untuk membawakan one day workshop tentang services marketing di Kantor MarkPlus Jakarta. Ruang berdaya tampung 45 orang pun full dengan peserta dari “kelas atas”. Banyak direktur perusahaan asing dan BUMN maupun swasta meliburkan diri sehari untuk mendengarkan Chris berbicara.

Hasilnya luar biasa! Dia menunjukkan kepada semua peserta bahwa marketing ketika diterapkan di industri jasa akan lebih susah walaupun menggunakan dasar yang sama.

Saya suka dengan model service flower-nya, yang sebenarnya sama saja dengan diferensiasi. Menurut Chris, sesuatu hal dasar wajib dipunyai semua perusahaan. Misalnya safety untuk airlines dan clean room untuk hotel. Itu adalah inti bunga yang terletak di tengah. Kalau itu tidak ada, ya jangan ikut berkompetisi. Sebaliknya, kalau hal itu sudah ada, kelopak di tiap bunga bisa dibuat berbeda. Misalnya, food and beverage untuk airlines dan fasilitas butler 24 jam untuk hotel.

Dia memberikan delapan kemungkinan untuk mendiferensiasikan sebuah perusahaan jasa dari pesaingnya. Selain itu, saya suka model service blueprint (SBP) yang berbeda dengan SOP atau standard operating procedure. Kalau SOP dibuat berdasar kompetensi dan kesiapan service provider, SBP beda. SBP berangkat dari point of view pelanggan. Malah harus dideteksi titik mana yang “kritikal” dan “menunggu”.

Yang pertama adalah hal yang harus benar-benar diperhatikan karena bisa menimbulkan efek make or break. Artinya, kalau bagus di situ, pelanggan puas sekali. Kalau tidak, akibatnya fatal.

Sedangkan yang kedua adalah wait, yang selalu menjadikan pelanggan boring. Karena itu, di titik tersebut harus dikerahkan segala macam cara untuk memperpendek waktu tunggu. Kalau tidak bisa pun, harus dilakukan sesuatu yang bisa mengurangi waktu tunggu itu.

Disneyland berhasil mengurangi antrean yang panjang dengan menerapkan sistem pesan tempat. Kalau dulu harus antre berjam-jam demi masuk ke suatu arena selama lima menit, sekarang orang bisa datang untuk mengambil kupon, lalu kembali pada jam yang ditentukan oleh komputer.

Dalam workshop sehari itu, memang kelihatan Chris sangat menguasai bidangnya. Karena itu, keesokan harinya, yakni 1 Februari 2008, saya siap say goodbye karena dia akan pergi ke Bali untuk menemui Rachel. Tapi, alam menentukan lain, Jakarta banjir nggak keruan sehingga Chris balik lagi ke kantor MarkPlus sambil menunggu air surut.

Saya dan Taufik menemani dia sambil bicara tentang kemungkinan kerja sama. Waktu itulah tercetus gagasan membentuk semacam center untuk services marketing, mirip Philip Kotler Center for ASEAN Marketing!

Dia juga bersedia jadi special advisor untuk MarkPlus Inc. Setelah pembicaraan itu selesai, malamnya dia berangkat ke Bali untuk memulai liburan bersama Rachel. Saya masih mengontak selama Chris di Bali. Dari Bali, dia mampir ke India sebelum balik ke Amerika untuk mengajar di Yale.

Namun, Tuhan menentukan lain! Pada 26 Februari 2008, saya mendapatkan kabar dari Jochen bahwa Chris meninggal di rumahnya! Dua hari sebelumnya pas 24 hari setelah Chris mengajar di MarkPlus.

Wah! Jadi, kuliahnya di MarkPlus dan wawancaranya di MetroTV bersama saya ternyata merupakan yang terakhir. Untuk mengenang Chris, saya dedikasikan ruang tamu di lantai 1 Kantor MarkPlus Jakarta dengan menggunakan namanya. Sebab, di situlah saya dan Taufik ngobrol dengan dia. Sekalian diresmikan Christopher Lovelock Center for Services Marketing (Asia). Waktu peresmian, Jochen terbang dari Singapura ke Jakarta, sedangkan Rachel dari Bali.

Seorang guru services marketing kelas dunia telah meninggal, tapi dengan kenangan manis di Indonesia! Itulah satu lagi contoh bagaimana saya mengangkat derajat MarkPlus dan Indonesia masuk ke kelas dunia. (*)



Grow with Character! (90/100) Series by Hermawan Kartajaya - Jakarta CMO Club: Indonesia Bisa!

Jakarta CMO Club: Indonesia Bisa!

KEDATANGAN “kembali” Prof Philip Kotler ke Indonesia tepat pada HUT Ke-40 ASEAN yang juga dihadiri Presiden SBY cukup menggetarkan. Saya “mengawal” Philip Kotler dua puluh empat jam selama lima hari empat malam di Jakarta, supaya dia merasa “aman”!

Mendadak saja, Philip Kotler jadi jatuh cinta ke Indonesia sebagai “ibu kota” ASEAN. Karena itu, langsung saja saya usulkan pada dia untuk segera mendirikan Jakarta CMO Club di bawah Philip Kotler Center for ASEAN Marketing (PK-CAM).

Sejak 2006, ketika bertemu di Beijing dan Shanghai, Philip Kotler sudah berbicara tentang perlunya mempromosikan chief marketing officer atau CMO! Dia mengatakan bahwa yang lazim ada di sebuah perusahaan hanyalah COO dan CFO setelah CEO. Marketing dan fungsi lain biasanya paling tinggi sering direktur dan melapor kepada COO.

Itu pandangan orang finance yang menganggap bahwa perusahaan harus “dioperasikan” sedemikian rupa oleh COO supaya bisa menghasilkan return dari uang yang diinves. Itulah yang diurus CFO. Dalam pandangan orang finance, semua orang lain dalam perusahaan harus bekerja secara maksimal, sehingga menciptakan nilai. Karena itu, mereka mengenal yang disebut operational leverage. Artinya, kalau secara operasional leverage-nya bagus, akan terjadi value creation. Nah, di situ sudah campur aduk “jasa” dari orang marketing, IT, human resources, produksi, atau operasi .

Karena itu, mereka cukup dikasih “pangkat” direktur paling tinggi, tidak bisa jadi chief. Sebab, kalau sudah chief berarti sudah berada dalam posisi “strategis”. Sedangkan CFO juga diharapkan bisa melakukan financial leverage secara maksimal. Artinya, dia bisa bermain-main di pasar modal dan uang supaya dapat “tambahan” added value. Sering bahkan financial leverage jadi lebih penting daripada operational leverage.

Terutama kalau COO hanya melakukan sesuatu yang rutin, sedangkan CFO cukup kreatif! Nah, menurut Philip Kotler, itu tidak fair. Terutama untuk perusahaan yang benar-benar menjalankan marketing dengan “baik dan benar”. Kenapa?

Ya, karena operational leverage di perusahaan seperti itu sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, dihasilkan oleh sebuah marketing leverage! Artinya, perusahaan seperti itu bisa mendapatkan nilai tambah dari brand dan servis, misalnya, bukan cuma pintar banting harga. Dengan demikian, bisa mendapatkan margin lebih tinggi.

Dari situlah dasarnya mengapa CMO atau chief marketing officer perlu ada. Tugasnya tentu saja bukan menjalankan marketing secara taktikal, melainkan benar-benar harus memaksimalkan marketing leverage! Beberapa perusahaan MNC seperti GE sudah punya CMO. Biasanya para CMO ini in charge untuk beberapa divisi yang bisa saling bersinergi sehingga terjadi marketing leverage.

Alasan lagi perlu dipromosikannya CMO ini adalah karena orang HR dan IT juga mulai memakai istilah CHRO dan CIO! Bahkan, ada yang lantas latah pakai istilah chief change officer, chief innovation officer, dan sebagainya. Bagi saya, itu oke-oke saja, pokoknya bisa memaksimalkan leverage di bidang masing-masing. Itulah kata kuncinya!

Jakarta CMO Club adalah yang pertama dibentuk di ASEAN, sekali lagi karena Jakarta kan “ibu kota” ASEAN. Anggota diundang secara selektif dan sampai sekarang, sebagian besar anggotanya malah CEO atau founder perusahaan. Saya beruntung dibantu Jenny Poespita yang orang Surabaya, tapi sudah pindah Jakarta. Sejak pendiriannya pada Februari 2008, Jenny membantu secara sukarela untuk menjalankan organisasi nirlaba ini.

Jenny sendiri yang eks anggota MarkPlus Forum Surabaya adalah entrepreneurial marketer dengan semangat juang tinggi.

Pada saat ini “White Lotus”, brand yang diciptakannya sudah jadi brand nasional untuk healthy catering. Saya sendiri dan beberapa anggota Jakarta CMO Club adalah pelanggannya. Setiap hari dua kali kami dikirimi “bento” yang diracik berdasarkan hasil tes darah masing-masing, supaya terjaga meal intake-nya. Pada saat ini, Jenny lagi mengembangkan produk-produk baru dengan brand White Lotus dan sudah bermitra dengan pengusaha besar di Jakarta. Dengan menggunakan brand yang sama, sudah pasti terjadi sinergi sehingga terjadi marketing leverage.

Jadi, Jenny adalah seorang CMO yang secara voluntary mengorganisasikan Jakarta CMO Club. Pada saat ini, anggota CMO hampir seratus orang dari berbagai perusahaan di Indonesia. Hampir setiap bulan ada pertemuan yang disponsori anggota secara bergiliran. Anggota yang mendapat undangan cukup membayar satu kali life time yang dipakai untuk administrasi dari organisasi Jakarta CMO Club.

Tepat di HUT Ke-78 pada 27 Mei 2009, Prof Philip Kotler dan Menbudpar Jero Wacik hadir di pertemuan CMO di Galeri Nasional Jakarta. Philip Kotler sangat puas dengan dimulai sebuah CMO Club di Jakarta yang nanti bisa di-expand ke kota-kota lain di ASEAN.

Saya lebih puas lagi karena bisa menerjemahkan “kegelisahan” Kotler jadi suatu “solusi”. Tapi, yang lebih penting? Dimulai dari Jakarta dulu! Indonesia Bisa! Indonesia Bisa! Indonesia Bisa! (*)



Grow with Character (89/100) Series by Hermawan Kartajaya - Hadiah HUT Ke-20 MarkPlus dari Kellogg!

Hadiah HUT Ke-20 MarkPlus dari Kellogg!

2007 merupakan tahun yang penting untuk MarkPlus Inc. Saya “berhasil” mengundang Prof Philip Kotler kembali ke Indonesia. Setahun sebelumnya, saya bertemu dia di Beijing dan Shanghai. Ketika itu, saya diminta mendampinginya berbicara di seminar besar di dua kota itu yang diselenggarakan Milton Kotler, adiknya.

Saya melihat sendiri bagaimana Philip disambut kayak “dewa” di sana. Hampir semua pengusaha, profesional, dan mahasiswa ingin bertemu, bersalaman, dan berfoto sama dia. Waktu itulah, pada 2006, saya “minta” dia datang lagi ke Indonesia. Setelah lebih dari 10 tahun “tidak berani” ke Indonesia. Saya pakai poin jitu, sehingga akhirnya dia mau.

Apa itu? Hari Ulang Tahun Ke-40 ASEAN pada 2007. Saya memang sudah melobi Sekretaris Jenderal ASEAN Ong Keng Yong bahwa kalau Philip Kotler jadi datang, tolong kantor sekretariat ASEAN yang punya assembly hall boleh dipakai.

Saya tunjukkan pada 2002 ketika saya pernah menggunakan hall itu untuk ASEAN Marketing Conference. Waktu itu Sekjen ASEAN masih Rodolfo Severino yang orang Filipina. Untuk meyakinkan Ong Keng Yong, saya bahkan memperlihatkan foto Pak SBY sebagai Menko Polkam sedang berpidato di acara itu.

Supaya lebih meyakinkan, saya minta Prof Hooi Den Huan terbang dari Singapura khusus untuk audiensi setengah jam itu. Juga saya minta tolong teman saya, Andy Lim, yang istrinya menteri wanita pertama di Singapura mau membantu “call”.

Saya menghadap bersama Hooi, Michael, dan Hendra Warsita yang corporate secretary. Di luar dugaan, begitu mudah dia setuju. Bahkan, dia bilang, kalau HUT-40 ASEAN, bisa sekalian undang Pak SBY lebih bagus.

Nah, dengan “modal” seperti itulah saya bisa meyakinkan Philip Kotler untuk datang karena dia melihat ada yang special di acara tersebut. Tapi, saya juga harus sekalian meng-arrange seminar dia di beberapa kota Asia supaya worth it buatnya.

Akhirnya dia setuju ketika saya menjamin paling tidak ada lima kota yang mau membayar dia untuk one day seminar. Jakarta, Singapura, dan Kuala Lumpur pasti karena diselenggarakan sendiri oleh Kantor MarkPlus di tiga kota tersebut. Untuk Bangkok dan Vietnam, dengan cepat saya mendapat persetujuan dari dua partner lokal saya di sana.

Setelah Philip Kotler setuju untuk datang, saya melakukan persiapan matang selama setahun. Amat rugi kalau jadi seminar saja. Karena itu, saya mulai mematangkan konsep buku kelima saya, yaitu Marketing 3.0: Spiritual Marketing.

Konsep ini sudah lama saya ceritakan kepada Philip sampai akhirnya dia setuju. Dengan dibantu Iwan Setiawan, Waizly Darwin, dan Cindy Yu waktu itu, saya bisa menuliskan suatu matriks sebuah Perusahaan 3.0.

Matrix “3 x 3″ ini terdiri atas mission, vision, dan values di satu sumbu dan rasional, emosional, dan spiritual di sisi lain. Konsep buku itu sederhana, bahwa saya tidak melihat CSR sebagai “The Real Company 3.0“, tapi sering hanya dipakai sebagai “PR”. Kurang tulus!

Sedangkan perusahaan 3.0 seperti Body Shop yang didirikan almarhum Dame Anita Roddick memang sudah “spiritual” dari sononya. Seperti pernah saya ceritakan, Body Shop selalu berusaha membeli bahan baku dari negara berkembang. Karyawan pun diberi waktu untuk kerja sosial dan perusahaan pun aktif membela hak-hak perempuan.

Sebenarnya Konsep 3.0 ini sangat “Indonesia” yang selalu menggunakan istilah IQ, EQ, dan SQ! Cuma di Amerika, SQ susah dimengerti. Karena itu, akhirnya, John Wiley US mengubah judulnya menjadi Marketing 3.0: From Product to Customer to Human Spirit.

Buku itu keluar gudang di Amerika baru pada 14 April 2010. Tapi, pada 2007 itu, saya melobi Gramedia untuk menerbitkan concept book-nya. Berkat bantuan Pak Dino Patti Djalal, buku itu juga mendapat endorsement dari Pak SBY.

Nah, karena Pak SBY jadi memberikan endorsement, saya akhirnya berhasil mengundang Pak SBY datang ke Sekretariat ASEAN. Ini sesuai dengan permintaan Ong Keng Yong. Waktu itu Presiden SBY juga bersedia menerima “Distinguished Country Marketing Award” dari Philip Kotler Center for ASEAN Marketing.

Hasil kerja keras minta dukungan kepada Dino Patti Djalal, Andi Malarrangeng, dan Mendag Mari E. Pangestu. Akhirnya Philip Kotler jadi datang ke Jakarta, malah sampai lima hari empat malam! Dan bertemu Presiden SBY, Wapres Jusuf Kalla, dan lima menteri! Marketing 3.0 sendiri akhirnya jadi great book yang diluncurkan tepat pada waktunya.

Terjadi krisis di Amerika dan negara-negara Barat pada 2007-2009 yang disebabkan ketidakjujuran para profesional keuangan. Karena itulah, buku ini, bahkan sebelum keluar dari gudang Wiley Amerika pun, sudah dipesan 15 negara untuk hak penerjemahannya! Bahkan, di Korea Selatan, penerbit lokal yang memenangkan haknya harus bayar advance USD 150.000! Padahal, “final editing” masih dilakukan Iwan Setiawan, konsultan MarkPlus yang lagi kuliah di Kellogg, dan menjadi co-author ketiga.

Edan kan?

Inilah buku internasional saya yang paling sukses, so far! Peluncurannya akan dilakukan di kampus marketing paling bergengsi di dunia! Mana lagi kalau bukan Kellogg School of Management, Northwestern University. Sekalian diadakan Indonesian Culturalnite yang disponsori Depbudpar. Maklum, Philip Kotler dan saya, sesudah Bill Gates, diangkat sebagai Special Ambassador for Indonesia Tourism pada 2009. Saya benar-benar bangga dan bersyukur menjadi orang Indonesia. Juga terharu bisa melakukan “hal kecil” ini untuk Indonesia.

Peluncuran Marketing 3.0 ini akan menjadi sejarah baru bagi Kellogg. Belum pernah sebuah buku non-text yang “boleh” di-launch di situ! Inilah hadiah terbesar HUT Ke-20 MarkPlus Inc yang didirikan di Surabaya. Pada 1 Mei nanti, di MarkPlus Festival Surabaya, saya akan menyediakan sejumlah buku “perdana” yang akan diterbangkan langsung dari Amerika! (el)



Grow with Character! (87/100) Series by Hermawan Kartajaya - Masukilah Hutan, Kenali Pohon dan Binatang di Dalamnya

Masukilah Hutan, Kenali Pohon dan Binatang di Dalamnya



ASEAN bakal menjadi satu kesatuan ekonomi pada 2015. Karena itu, buku
keempat saya bersama Philip Kotler, Think ASEAN, punya subtitle
Rethinking Marketing toward ASEAN Community 2015. Saat ini juga
diusahakan supaya sense of ASEAN tidak hanya ada di tingkat elite
pejabat pemerintah, tapi juga di tingkat grass root!

P2P atau people to people lebih penting daripada G2G atau government
to government. Kalau B2B atau business to business, biasanya paling
mudah. Begitu ada keuntungan, para pengusaha akan dengan sendirinya
saling berdagang. Tapi, masalahnya mau dagang pakai marketing atau
komoditas saja?


Kalau pakai cara tradisional, yaitu dagang komoditas, ya main harga
saja. Produk Indonesia, ketika masuk wilayah ASEAN lain, harus bisa
dijual lebih murah daripada produk buatan lokal.


Hitungannya sederhana. Cost plus transportasi plus profit sama dengan
harga jual. Itu kalau diasumsikan pajak impor semua sudah nol persen.
Sudah pasti masih harus diperhitungkan biaya lain-lain seperti channel
margin, ongkos penyimpanan, dan service.


Tapi, kalau hanya ”main” seperti itu, akan susah jadinya. Sekarang
sudah ada CAFTA atau China-ASEAN Free Trade Area. Barang buatan Tiongkok
ada di mana-mana, termasuk di ASEAN. Jadi, AFTA-nya aja belum full
berlaku, tapi CAFTA sudah jalan mulai 1 Januari 2010. Karena itu, saya
selalu menganjurkan kepada para pengusaha Indonesia agar pakai marketing
untuk masuk ASEAN. Pakai marketing berarti tidak selalu harus pakai
senjata harga.


Konsekuensinya? Harus mengerti budaya lokal! Karena itu, P2P jadi
penting untuk menunjang B2B. Kalau semakin banyak orang Indonesia suka
travel dan akhirnya punya banyak teman di berbagai negara ASEAN, tentu
saja kan lebih mudah. Semakin jarang turun ke pasar, Anda semakin sulit
melakukan penetrasi pasar.


Sebab, walaupun nanti pajak impor sudah hilang sekalipun, mengerti
selera lokal adalah yang paling penting bagi marketing. Dari background
kolonisasi saja sudah beda. Indonesia satu-satunya bekas koloni Belanda.
Sedangkan Singapura, Malaysia, Brunei, dan Myanmar adalah koloni
Inggris.


Filipina lain lagi. Sampai beberapa tahun lalu, negara itu masih
punya pangkalan militer Amerika. Thailand selalu mengklaim tidak pernah
dijajah siapa pun. Vietnam bekas koloni Prancis dan banyak pengaruh
Amerika, terutama di selatan.


Kamboja dan Laos juga pernah dijajah Prancis. Besar kecilnya negara
dan pengaruh kerajaan zaman dulu serta partai-partai yang memerintah
juga sangat memengaruhi budaya lokal. Begitu juga dengan agama yang
dipeluk. Jadi, orang-orang ASEAN yang ”kelihatannya” sama itu sebenarnya
sangat berbeda. Berbagai pengalaman saya bicara di mana-mana
membuktikan hal tersebut.


Di Singapura, saya harus selalu jaga waktu. Mereka sangat on-time dan
disiplin. Mulai dan selesai tepat waktu dan harus ”sesuai” brosur.
Begitu ada yang gak cocok, mereka akan protes. Maklum, mereka kiashu
atau takut rugi! Peserta biasanya sangat formal dan bertanya secara
straight forward serta suka yang kuantitatif.


Di Malaysia hampir sama, tapi lebih relaks sedikit. Pada umumnya,
peserta workshop di Malaysia tidak mau bertanya pada waktu sesi resmi.
Mereka bertanya pada waktu break. Sangat nasionalistis berkat
berhasilnya kampanye ”Malaysia Boleh”.


Tidak seperti di Indonesia, mereka berbeda-beda antara Malay,
Chinese, dan Indian. Malay lebih ramah dan sopan, Chinese penuh
perhitungan, dan Indian jago bicara dan debat! Thailand pada dasarnya
lebih relaks, mirip Indonesia tapi sangat sopan. Sangat ramah juga,
mengalahkan Indonesia. Yang sensitif satu saja.


Apa itu? Jangan sampai menyinggung raja! Ada hukuman badan untuk
orang yang bicara jelek tentang raja dan keluarganya di tempat umum. The
King is always right! Hampir sama kayak Malaysia, bertanya dilakukan di
luar sesi resmi.


Bagaimana dengan Filipina? Wah, ini beda banget! Peserta selalu aktif
bertanya dan bicara mengemukakan pendapat. Kata orang, yang bisa
ngimbangi orang India ya cuma orang Filipina. Saya harus menyiapkan
banyak jokes untuk Filipina. Yang paling berkesan, ketika saya
mendapatkan standing applause seribu orang pada akhir talk! Setiap kali
diajak nyanyi dari video clip, mereka selalu antusias.


Vietnam sangat patriotis dan arogan. Mereka selalu menganggap dirinya
sebagai ”bangsa pemenang”. Bahkan, Amerika pun kalah di Vietnam.
Peserta selalu kaku dan banyak yang harus pakai alat penerjemah
langsung.


Seringkali saya mengatakan joke, tapi mereka tidak ketawa. Mungkin
penerjemahnya salah mengartikan joke itu! Sensitif terhadap Partai
Komunis. Jangan sekali-kali menjelekkan partai. Kayak raja di Thailand.


Brunei? Wah, ini lain lagi! Yang ikut seminar dan workshop kebanyakan
Chinese karena mereka harus berjuang untuk bisa hidup layak. Malay di
sana bisa bersekolah gratis dan berobat gratis. Kaya-kaya dan kebanyakan
kerja untuk pemerintah atau BUMN, jadi gak perlu marketing!


Dari berbagai pengalaman tersebut, saya semakin yakin bahwa ”hutan”
ASEAN harus dimasukin untuk diliatin ”pohon dan binatang” di dalamnya.
Kelihatan sama dari ”atas”. Tapi, untuk melakukan marketing, tidak cukup
pasar bebas. Anda harus masuk ke dalam hutan tersebut. (*)

Grow with Character! (88/100) Series by Hermawan Kartajaya - Ingat Nabi, Belajarlah Sampai ke Tiongkok!

Ingat Nabi, Belajarlah Sampai ke Tiongkok!

DI Tiongkok ada Kotler Marketing Group atau KMG yang dipimpin Milton Kotler. Dia itu adik Philip Kotler yang usianya berbeda dua tahun. Walaupun usia hampir sama, sikap dan perilaku mereka sangat berbeda.

Philip adalah seorang Demokrat, tapi Milton merupakan Republican. Philip hidup sangat sehat dan teratur, sedangkan Milton adalah perokok cerutu berat. Philip adalah profesor, Milton menjadi konsultan dan sekaligus deal maker. Philip pergi ke mana-mana karena undangan datang dari seluruh dunia. Sedangkan Milton suka ke Tiongkok, bisa delapan kali setahun.

Di Tiongkok, KMG punya kantor mulai Sen Zhen, ekspansi ke Shanghai, dan akhirnya Beijing. Total ada 60 orang yang bekerja di KMG, sehari-hari dipimpin Tiger Chao. Milton sangat suka kepada Tiger karena dia orang Tiongkok asli, tapi lulusan MBA dari Kanada. Dialah yang merekrut semua staf yang hampir semua orang Tiongkok Daratan.

Selain itu, Milton punya seorang asisten pribadi yang sangat fasih berbahasa Tionghoa. Dia bule, tapi sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Tiongkok. Orang seperti dia saat ini banyak dicari orang.

Mengapa? Anda mungkin tergiur untuk masuk pasar Tiongkok yang begitu besar. Tapi, kalau hanya berbahasa Inggris, jangan harap bisa diterima di sana. Karena itu, kalau sempat ke kampus BLCU atau Beijing Language and Cultural Center, Anda akan melihat orang belajar bahasa Tionghoa dari seluruh dunia.

Pak Dahlan Iskan, konon, pernah belajar bahasa Tionghoa di Nanchang, Jiang Xi, sebuah kota kecil yang tidak ada orang Indonesia. Selain itu, di kota tersebut katanya gak ada orang yang bisa berbahasa Inggris. Jadi, mau gak mau, ya harus bisa survive dengan bahasa ”tarzan” sambil belajar bahasa Tionghoa dengan cepat. Nah, kalau Pak Dahlan sekarang sangat fasih berbahasa Tionghoa, bahkan beberapa kali kirim SMS pakai tulisan Kanji ke saya, Milton gak bisa. ”I am too old to learn, Hermawan.

Tapi, dia sangat percaya bahwa masa depan Amerika dan dunia nanti ditentukan oleh Tiongkok.

Milton dan Tiger adalah dua orang yang mengundang saya untuk ke Tiongkok beberapa kali guna bicara di berbagai acara, termasuk di kampus Tsing Hua yang terkenal itu. Saya takjub bukan main kepada semangat belajar para peserta.

Mereka sangat disiplin. Maklum ”masih” negara komunis secara politik, walaupun kapitalis secara ekonomi. Orang Tiongkok pada umumnya sangat takut melanggar hukum. Mereka juga ”penganut” Confucius karena itu sangat hormat pada keguru atau lao-she. Apalagi, kalau tahu bahwa saya dulu memang pernah menjadi lao-she selama 20 tahun di SMA dan SMP. Bahkan, saya pernah menjadi siau tsang atau kepala sekolah!

Waktu tanya jawab, selalu banyak yang tanya. Mulai jarang tepat waktu, apalagi selesainya. Bisa molor gak keruan karena semua orang pengin tanya! Apalagi tahu bahwa saya menulis beberapa buku bersama Philip Kotler.

Selama di Beijing dan Shanghai, kalau kebetulan ada Philip Kotler, saya diminta untuk duduk di sebelahnya terus! Karena masih suasana ”komunis”, siapa yang duduk di sebelah orang paling penting ya pasti penting juga!

Itulah kebudayaan Tiongkok. Mereka juga pekerja keras siang malam. Karena itu, pada suatu hari, saya diminta untuk melakukan seminar sehari pada Minggu! Ada 500 orang pengusaha menengah kecil yang datang dan mendengarkan terjemahan dengan tekun. Katanya, kalau diselenggarakan pada hari biasa, mereka gak mau datang karena harus kerja atau ”jaga” perusahaannya.

Edan kan! Beijing dan Shanghai berbeda. Di Beijing harus ada penerjemah, sedangkan di Shanghai sering tidak perlu. Banyak sekali orang Shanghai yang bahasa Inggris-nya jauh lebih bagus daripada saya.

Pernah suatu kali saya diwawancarai televisi di Beijing atas pengaturan KBRI. Setelah tanya-tanya marketing, lantas ”belok” ke pertanyaan peristiwa 1998. ”Mereka masih ingat dan ngeri dengan peristiwa itu,” kata Dubes RI kepada saya. Kita sudah lama lupa dan memang gampang lupa. Sedangkan mereka masih takut pergi ke Indonesia karena trauma.

Di Tiongkok saya punya buku laris dalam bahasa Tionghoa. Marketing in Venus yang populer di Indonesia itu diterjemahkan dan diberi contoh lokal. Co-author-nya adalah Tiger Chao dan di-launch beberapa tahun lalu di sebuah toko buku terbesar di Beijing.

Ada satu lagi pengalaman berbicara di Hainan University. Di Pulau Hainan, yang terkenal dengan Hainan Chicken Rice itu, sering diadakan final Miss Universe di kota Sanya. Juga ada pertemuan tahunan mirip Davos, namanya Boao Summit.

Saya sempat meninjau ke sana, waktu diundang Hainan University. Uniknya, ketika saya mulai berbicara di depan 300 dosen dan mahasiswa S-2, tiba-tiba lampu mati. Ternyata di sana PLN-nya juga kurang reliable. Tapi, saya takjub, tidak ada satu pun orang ”bersuara”, apalagi berteriak-teriak komplain. Cukup ada penjelasan bahwa akan ada genset, semua terkendali.

Itulah Tiongkok Daratan! Pengalaman berbicara di Hongkong dan Taiwan lain lagi. Di Hongkong ternyata banyak eksekutif yang tidak bisa bahasa Inggris dengan bagus. Tapi, mereka sangat demanding dan kritis. Maklum, orang-orang ini kan yang dulu nekat melarikan diri dari Tiongkok. Jadi, maunya harus cepat dan no-nonsense. Wartawan yang wawancara pun ”ganas”. Selalu nguber ke hal-hal yang detail.

Nah, kalau Taiwan, orangnya lebih civilised. Mereka sopan, respect, dan elegan. Mereka sudah lama terbiasa dengan marketing. Jadi, sifatnya mau diberi sesuatu yang baru. Nah, kesimpulan dari pengalaman saya muter-muter di Tiongkok ini adalah China is not One. China is a Continent!

Sangat besar dan beragam, apalagi kalau sudah masuk ke kota-kota yang lebih kecil. Tapi, dari kengototan belajar marketing dan begitu banyaknya brand kuat di dalam negeri sendiri, saya percaya pada 2020 nanti makin banyak brand dari Tiongkok yang kuat!

Mereka tidak hanya jual harga, tapi pakai marketing. Pada saat ini, sekolah-sekolah bisnis terbaik di US berlomba-lomba berpartner dengan sekolah bisnis di Tiongkok. Jangan kaget, the best business school in Asia sekarang adalah Bei-ta atau Beijing University. Bukan dari Singapura, Hongkong, atau Filipina.

Dunia sudah bergeser dari Barat ke Timur. Tiongkok sudah bangkit dan dalam tahun ini akan menjadi negara ekonomi terbesar kedua di dunia. Dan terkaya di dunia. Sedangkan Amerika masih tetap nomor satu dengan ”beda yang jauh”, tapi sekaligus pengutang terbesar di dunia. Utang sama siapa? Siapa lagi kalau gak sama Tiongkok!

Karena itu, percayalah kepada Nabi Muhammad untuk ”belajar sampai ke Tiongkok”. (*)



Grow with Character! (87/100) Series by Hermawan Kartajaya - Ingat Nabi, Belajarlah Sampai ke Tiongkok!

Ingat Nabi, Belajarlah Sampai ke Tiongkok!

DI
Tiongkok ada Kotler Marketing Group atau KMG yang dipimpin Milton
Kotler. Dia itu adik Philip Kotler yang usianya berbeda dua tahun.
Walaupun usia hampir sama, sikap dan perilaku mereka sangat berbeda.


Philip adalah seorang Demokrat, tapi Milton merupakan Republican.
Philip hidup sangat sehat dan teratur, sedangkan Milton adalah perokok
cerutu berat. Philip adalah profesor, Milton menjadi konsultan dan
sekaligus deal maker. Philip pergi ke mana-mana karena undangan
datang dari seluruh dunia. Sedangkan Milton suka ke Tiongkok, bisa
delapan kali setahun.

Di Tiongkok, KMG punya kantor mulai Sen
Zhen, ekspansi ke Shanghai, dan akhirnya Beijing. Total ada 60 orang
yang bekerja di KMG, sehari-hari dipimpin Tiger Chao. Milton sangat
suka kepada Tiger karena dia orang Tiongkok asli, tapi lulusan MBA dari
Kanada. Dialah yang merekrut semua staf yang hampir semua orang
Tiongkok Daratan.

Selain itu, Milton punya seorang asisten
pribadi yang sangat fasih berbahasa Tionghoa. Dia bule, tapi sudah
lebih dari sepuluh tahun tinggal di Tiongkok. Orang seperti dia saat
ini banyak dicari orang.

Mengapa? Anda mungkin tergiur untuk
masuk pasar Tiongkok yang begitu besar. Tapi, kalau hanya berbahasa
Inggris, jangan harap bisa diterima di sana. Karena itu, kalau sempat
ke kampus BLCU atau Beijing Language and Cultural Center, Anda akan
melihat orang belajar bahasa Tionghoa dari seluruh dunia.

Pak
Dahlan Iskan, konon, pernah belajar bahasa Tionghoa di Nanchang, Jiang
Xi, sebuah kota kecil yang tidak ada orang Indonesia. Selain itu, di
kota tersebut katanya gak ada orang yang bisa berbahasa
Inggris. Jadi, mau gak mau, ya harus bisa survive
dengan bahasa ”tarzan” sambil belajar bahasa Tionghoa dengan cepat. Nah,
kalau Pak Dahlan sekarang sangat fasih berbahasa Tionghoa, bahkan
beberapa kali kirim SMS pakai tulisan Kanji ke saya, Milton gak bisa. ”I
am too old to learn, Hermawan.

Tapi, dia sangat percaya
bahwa masa depan Amerika dan dunia nanti ditentukan oleh Tiongkok.

Milton
dan Tiger adalah dua orang yang mengundang saya untuk ke Tiongkok
beberapa kali guna bicara di berbagai acara, termasuk di kampus Tsing
Hua yang terkenal itu. Saya takjub bukan main kepada semangat belajar
para peserta.

Mereka sangat disiplin. Maklum ”masih” negara
komunis secara politik, walaupun kapitalis secara ekonomi. Orang
Tiongkok pada umumnya sangat takut melanggar hukum. Mereka juga
”penganut” Confucius karena itu sangat hormat pada keguru atau lao-she.
Apalagi, kalau tahu bahwa saya dulu memang pernah menjadi lao-she
selama 20 tahun di SMA dan SMP. Bahkan, saya pernah menjadi siau
tsang
atau kepala sekolah!

Waktu tanya jawab, selalu banyak
yang tanya. Mulai jarang tepat waktu, apalagi selesainya. Bisa molor gak
keruan karena semua orang pengin tanya! Apalagi tahu bahwa
saya menulis beberapa buku bersama Philip Kotler.

Selama di
Beijing dan Shanghai, kalau kebetulan ada Philip Kotler, saya diminta
untuk duduk di sebelahnya terus! Karena masih suasana ”komunis”, siapa
yang duduk di sebelah orang paling penting ya pasti penting juga!

Itulah
kebudayaan Tiongkok. Mereka juga pekerja keras siang malam. Karena
itu, pada suatu hari, saya diminta untuk melakukan seminar sehari pada
Minggu! Ada 500 orang pengusaha menengah kecil yang datang dan
mendengarkan terjemahan dengan tekun. Katanya, kalau diselenggarakan
pada hari biasa, mereka gak mau datang karena harus kerja atau
”jaga” perusahaannya.

Edan kan! Beijing dan Shanghai
berbeda. Di Beijing harus ada penerjemah, sedangkan di Shanghai sering
tidak perlu. Banyak sekali orang Shanghai yang bahasa Inggris-nya jauh
lebih bagus daripada saya.

Pernah suatu kali saya diwawancarai
televisi di Beijing atas pengaturan KBRI. Setelah tanya-tanya marketing,
lantas ”belok” ke pertanyaan peristiwa 1998. ”Mereka masih ingat dan
ngeri dengan peristiwa itu,” kata Dubes RI kepada saya. Kita sudah lama
lupa dan memang gampang lupa. Sedangkan mereka masih takut pergi ke
Indonesia karena trauma.

Di Tiongkok saya punya buku laris dalam
bahasa Tionghoa. Marketing in Venus yang populer di Indonesia
itu diterjemahkan dan diberi contoh lokal. Co-author-nya
adalah Tiger Chao dan di-launch beberapa tahun lalu di sebuah
toko buku terbesar di Beijing.

Ada satu lagi pengalaman berbicara
di Hainan University. Di Pulau Hainan, yang terkenal dengan Hainan
Chicken Rice itu, sering diadakan final Miss Universe di kota Sanya.
Juga ada pertemuan tahunan mirip Davos, namanya Boao Summit.

Saya
sempat meninjau ke sana, waktu diundang Hainan University. Uniknya,
ketika saya mulai berbicara di depan 300 dosen dan mahasiswa S-2,
tiba-tiba lampu mati. Ternyata di sana PLN-nya juga kurang reliable.
Tapi, saya takjub, tidak ada satu pun orang ”bersuara”, apalagi
berteriak-teriak komplain. Cukup ada penjelasan bahwa akan ada genset,
semua terkendali.

Itulah Tiongkok Daratan! Pengalaman berbicara
di Hongkong dan Taiwan lain lagi. Di Hongkong ternyata banyak eksekutif
yang tidak bisa bahasa Inggris dengan bagus. Tapi, mereka sangat demanding
dan kritis. Maklum, orang-orang ini kan yang dulu nekat
melarikan diri dari Tiongkok. Jadi, maunya harus cepat dan no-nonsense.
Wartawan yang wawancara pun ”ganas”. Selalu nguber ke hal-hal
yang detail.

Nah, kalau Taiwan, orangnya lebih civilised.
Mereka sopan, respect, dan elegan. Mereka sudah lama terbiasa
dengan marketing. Jadi, sifatnya mau diberi sesuatu yang baru.
Nah, kesimpulan dari pengalaman saya muter-muter di Tiongkok
ini adalah China is not One. China is a Continent!


Sangat besar dan beragam, apalagi kalau sudah masuk ke kota-kota
yang lebih kecil. Tapi, dari kengototan belajar marketing dan
begitu banyaknya brand kuat di dalam negeri sendiri, saya
percaya pada 2020 nanti makin banyak brand dari Tiongkok yang
kuat!

Mereka tidak hanya jual harga, tapi pakai marketing.
Pada saat ini, sekolah-sekolah bisnis terbaik di US berlomba-lomba
berpartner dengan sekolah bisnis di Tiongkok. Jangan kaget, the best
business school in Asia
sekarang adalah Bei-ta atau Beijing
University. Bukan dari Singapura, Hongkong, atau Filipina.

Dunia
sudah bergeser dari Barat ke Timur. Tiongkok sudah bangkit dan dalam
tahun ini akan menjadi negara ekonomi terbesar kedua di dunia. Dan
terkaya di dunia. Sedangkan Amerika masih tetap nomor satu dengan ”beda
yang jauh”, tapi sekaligus pengutang terbesar di dunia. Utang sama
siapa? Siapa lagi kalau gak sama Tiongkok!

Karena itu,
percayalah kepada Nabi Muhammad untuk ”belajar sampai ke Tiongkok”. (*)