Senin, 29 Maret 2010

Grow with Character! (70/100) Series by Hermawan Kartajaya - Oleh-Oleh dari ''Pengungsian'' di Washington DC

Oleh-Oleh dari ''Pengungsian'' di Washington DC

PENULISAN buku Repositioning Asia terbitan John Wiley, Asia, mulai ide sampai penerbitan makan waktu hampir dua tahun. Pada babak akhir penulisan, saya merasa beruntung karena sempat menemukan sebuah buku di Amerika.

Ketika itu, saya dapat undangan untuk berbicara di American Marketing Association Education Winter Conference. Diundang Prof Warren Keegan untuk bicara dalam sesi dia tentang Segmentasi Pasar di Masa Krisis. Undangan tersebut tentu saja tidak boleh disia-siakan, walaupun harus beli tiket sendiri.

Untuk itu, saya pakai semua poin yang sudah saya kumpulkan di Singapore Airlines. Ternyata, cukup untuk terbang ke New York City pulang-pergi. Dari New York, saya dibeliin tiket oleh Prof Keegan untuk terbang ke Boston, tempat konferensi dilaksanakan. Karena sudah tanggung sampai di Amerika dan di Jakarta lagi sepi, saya balik lagi ke New York.

Karena gak mampu bayar hotel, saya numpang di rumah Catharina Tjiook di Queens. Catharina adalah teman saya, orang Surabaya, dulu pernah jadi juara kompetisi tenis meja nasional. Waktu itu, dia memang sudah lama tinggal dan bekerja di New York sampai sekarang sudah menetap di sana.

Karena hanya ada satu kamar tidur, ya saya cukup tidur di sofa selama seminggu. I love New York, I really love it! Karena itu, saya menikmati saja selama seminggu di sana.

Saban hari, acara rutin saya joging selama sejam di neighborhood tempat tinggal Catharina. Sebelum balik ke apartemen, biasanya saya selalu singgah di warung McDonalds di dekat situ. Cukup satu quarter pounder, french fries, dan Coca-Cola. Acara sehat dan murah!

Abis mandi, terus naik subway nomor 7 ke Manhattan. Bisa pas berhenti di Times Square.

Saban hari ganti rute jalan-jalan menelusuri Kota New York! Semua pelosok saya datangi, termasuk Harlem yang seram itu. Saya juga sempat singgah di Gedung PBB dan melihat banyak selebaran yang ada foto para korban 13-14 Mei.

KBRI dan KJRI di berbagai kota di Amerika waktu itu didemo berkali-kali. Saya juga sempat ikut diskusi di kantor PTRI atau Perwakilan Tetap Republik Indonesia tentang kejadian Mei tersebut.

Di situlah saya bertemu banyak warga Indonesia di sana yang sangat menyesalkan terjadinya peristiwa Mei tersebut. Sampai akhirnya, citra Indonesia ketika itu benar-benar tercoreng di dunia internasional!

Yang mengharukan adalah pernyataan seorang perempuan aktivis dari Aceh. Dia sangat bersimpati atas kejadian yang menimpa beberapa korban perempuan Tionghoa di Jakarta. Kenapa?

Sebab, dia mengingat akan korban perempuan dampak dari Daerah Operasi Militer atau DOM di Aceh. Di situlah, saya melihat bahwa rasa kebangsaan Indonesia justru semakin kuat karena adanya peristiwa Mei 1998 tersebut.

Selama seminggu itu, saya benar-benar ngirit! Makan siang cuma beli hot dog di pinggir jalan yang dijual orang-orang hitam dengan harga satu setengah dolar! Makannya cukup sambil jalan, minumnya dari air pet di jalan-jalan. Makan malam biasanya disediakan gratis oleh tuan rumah. Tidak berani nonton Broadway karena harga tiketnya bagi saya ''naik lima kali lipat'' dalam rupiah.

Dari New York, saya menelepon Pak Dorodjatun Kuncoro Jakti di Washington DC. Waktu itu, beliau menjadi duta besar Indonesia untuk Amerika. Saya bilang saja terus terang pingin ke sana dan numpang di Wisma Indonesia.

Ketika beliau bilang oke, saya langsung naik bus Greyhound ke sana. Gak berani naik pesawat, takut kemahalan. Tapi, akhirnya tahu bahwa tiket bus ternyata jatuhnya lebih mahal! Mau ngirit jadi keliru.

Selama tiga hari saya tinggal di Wisma Indonesia. Wah, kayak masuk istana. Gede, bersih, banyak pelayan, dan makanannya ya makanan Indonesia. Saban pagi sarapan bareng Dubes dan istri. Pergi ke mana-mana diantar sopir orang Indonesia!

Waktu itu, saya diantar ketemu orang-orang Indonesia yang bekerja di IMF maupun World Bank. Juga sempat diwawancarai VOA atau Voice of America seksi Indonesia.

Waktu senggang, saya mampir ke Georgetown, mampir di toko buku favoritnya Pak Djatun. Nah, di situlah saya menemukan buku Crisis and Renewal! Sebuah buku hasil riset penulisnya, David Hurst, yang menunjukkan model sustainability loop.

Saya sangat suka model itu karena pas dengan yang sedang dialami Indonesia. Dalam buku tersebut ditunjukkan bahwa titik paling berbahaya ya ketika sebuah negara atau perusahaan berada di comfort zone. Lupa berubah, pasti terjadi krisis!

Karena itu, harus ada inisiatif untuk mengubah diri sebelum dipaksa berubah dari luar! Kalau pemerintah atau perusahaan selalu alert dan melakukan transformasi secara kontinu, akan terjadi sustainability. Akhirnya, model itu saya adopt ke dalam model 4C. Yaitu, change, competitor, customer, dan company.

Dengan demikian, model saya bertambah kuat. Karena landscape memang berubah terus, sebuah perusahaan memerlukan inisiatif untuk men-drive the loop. Supaya tidak sampai terjadi krisis!

Model loop itu pula yang merupakan simbolisasi bahwa antara makro (pemerintah) dan mikro (perusahaan) ya sama saja. Karena itu, ketika saya masukkan model tersebut ke Repositioning Asia, Profesor Kotler senang bukan main. Sebab, misi buku itu, dari semula, menerangkan krisis Asia yang makro menggunakan konsep marketing yang mikro.

Itulah oleh-oleh dari ''pengungsian'' selama krisis di Amerika.

Itu juga akan saya ceritakan pada sesi Lecture of the Decade dalam The MarkPlus Festival pada 1 Mei 2010. (*)

Grow with Character ! (69/100) Series by Hermawan Kertajaya - Titanic, Saving Private Ryan dan Wall Street!

Titanic, Saving Private Ryan dan Wall Street!

BERSAMAANdengan krisis Asia yang sedang hebat-hebatnya, ada sebuat film Hollywood yang sukses besar. Titanic! Masih ingat ceritanya?

Film ini bercerita tentang sebuah kisah nyata dari arogansi seseorang. Terlalu percaya atau overconfidence pada kapalnya yang besar dan mewah. Bahkan, saat berangkat pada "pelayaran perdana", Titanic diumumkan sebagai kapal yang tidak bisa tenggelam!

Semua penumpang pun jadinya sangat percaya dan just enjoy dengan pelayan Trans-Atlantic itu. Pesta digelar setiap malam. Bahkan, ketika kapal mulai miring, musik pengiring dansa masih berbunyi.

Arogansi itu pula yang membuat Titanic menabrak gunung es. Kelihatan kecil di permukaan laut, tapi sangat besar di bawah permukaan. Ketika terjadi kepanikan di Titanic, terlihat bahwa semua orang mau menyelamatkan diri masing-masing. Tidak peduli orang lain lagi.

Saya memakai analogi Titanic ini ketika menjelaskan krisis di Indonesia ketika itu. Di permukaan, kelihatan perusahaan yang susah, hanya kesulitan cash flow. Penjualan turun, utang bertumpuk, kapasitas terpasang, dan karyawan jadi "beban". Tapi, kalau didalami, sebetulnya ada struktur keuangan yang salah.

Rasa percaya diri berlebihan ditambah iming-iming bunga murah utang USD, membuat debt equity ratio jadi sangat berbahaya. Kebesaran utang, sehingga lupa pada bankruptcy cost. Padahal, ini "hanya" pelajaran financial management 101!

Ditambah overconfidence kepada Pak Harto yang waktu itu dianggap "selalu" bisa menyelesaikan masalah apa pun. Karena itu, proyek banyak di-mark up dan uang pinjaman pun dilarikan ke luar negeri untuk pribadi. Kalau nggak begitu, biasanya kapasitas terpasang pun dibikin berlebihan. Mumpung bisa kan!

Itulah yang saya katakan waktu itu sebagai suatu mata rantai over confidence to "over-investment to over-capacity. Padahal, masalah sebenarnya yang ada "di dasar paling bawah" gunung es itu adalah masalah marketing! Tidak peduli PDB!

No clear positioning, no solid differentiation and no strong brand! Di waktu krisis, perusahaan yang punya PDB kuat masih bisa bertahan dari kebangkrutan. Selain itu, setiap penambahan kapasitas kan harus dilihat dari perkembangan pasar yang mau diambil.

Bukan asal menambah kapasitas, bikin produk dan nanti mendorongnya ke pasar secara "ngawur"! Dengan memperlihatkan analogi seperti ini, orang jadi gampang "ngeh" tentang krisis. Dan, bagaimana sesudah krisis terjadi dan banyak aset perusahaan disita BPPN? Ya, persis seperti di Titanic, setiap perusahaan berusaha menyelamatkan diri sendiri-sendiri.

Justru dengan krisis itulah, terbedakan karakter masing-masing. Ada pemilik perusahaan yang benar-benar melaporkan aset dan utangnya untuk menyelesaikan secara baik-baik.

Namun, ada juga yang menyembunyikan banyak aset, tapi mengemukakan semua utangnya. Beberapa pengusaha malah jadi "tambah kaya" sesudah krisis, karena berhasil dapat hair cut dari sebagian besar utangnya.

Analogi krisis Asia di Indonesia dengan Titanic ini sampai sekarang masih banyak diingat orang yang ketika itu mendengarkan saya. Saya juga menggunakan film garapan Stephen Spielberg untuk menggambarkan "landscape yang berubah".

Film itu namanya "Saving Private Ryan". Ceritanya diawali dengan pendaratan tentara Sekutu di Pantai Normandy. Semua rencana dan strategi sudah dibuat berdasar asumsi dan intelijen yang ada. Tapi, ketika pendaratan dilakukan, mendadak langit jadi hitam dan hujan lebat.

Dengan demikian, eksekusi pendaratan tidak cocok dengan skenario semula. Selain itu, tentara Jerman yang diperkirakan masih tidur di pagi hari, ternyata malah menunggu. Dari tempat perlindungannya, tentara Jerman itu memuntahkan pelurunya pada pasukan Sekutu yang mendarat. Akibatnya?

Banyak sekali korban jatuh. Walaupun, akhirnya bisa berhasil, tentara Sekutu mengeluarkan cost yang sangat tinggi untuk itu. Selain itu, banyak komandan lapangan yang tertembak mati. Prajurit pun bingung melihat pemimpin-pemimpinnya mati. Untungnya, beberapa sersan langsung mengambil alih kepemimpinan dan memberikan pengarahan kepada para prajurit!

Krisis Asia yang hebat juga seperti itu! Para pemilik perusahaan besar yang KKN sudah mempunyai strategi pengembangan bisnisnya berdasarkan info yang ada. Mereka tidak pernah menyangka bahwa Pak Harto bisa "jatuh". Waktu itu Pak Harto tersenyum saja, semua orang "bingung" memikirkan maksudnya. Apalagi kalau Pak Harto sudah bilang, "Serahkan pada saya!" Semuanya akan beres!

Siapa sangka, krisis Asia ternyata memang tidak bisa diselesaikan Pak Harto. Walaupun sebenarnya pada lima tahun terakhir kepemimpinannya, Pak Harto kelihatan makin lemah.

Tapi, perusahaan besar yang ber-KKN tetap saja tidak punya "skenario" lain kalau "landscape berubah"! Akibatnya? Cost-nya jadi tinggi ketika tahu-tahu "cuaca"" berubah. Mereka jadi bingung karena tidak pernah menduga hal itu. Banyak perusahaan yang langsung bangkrut atau ditutup! Justru waktu itu, saya melihat perusahaan yang tidak terlalu besar "lebih kuat".

Overhead tidak besar sehingga tidak perlu PHK. Selain itu, karena nggak pernah KKN, ya sudah punya kompetensi. Perusahaan menengah kecil, bahkan para wirausaha kecil yang membentuk "ekonomi informal" ini, adalah seperti sersan-sersan di film Stephen Spielberg itu!

Merekalah, waktu itu yang nggak punya utang USD, jadi bisa jadi motor survival ekonomi Indonesia!

Sedangkan film Wall Street yang dibintangi Michael Douglas sering saya pakai sebagai analogi orang yang rakus. "Greed is Good!" Adalah kata-kata yang terkenal dari film itu.

Para broker di Wall Street kan memang seperti itu. Banyak yang stres ketika mimpinya untuk cepat kaya tidak tercapai.

Krisis waktu itu juga disebabkan oleh para pengusaha KKN yang tidak pernah puas. Sudah besar, masih kurang besar! Asyik ber-KKN ria dan tidak perlu ber-PDB! Pada waktu krisis datang, banyak yang stres, bahkan stroke dan gone! Nah, ketiga film itulah yang saya pakai untuk menjelaskan krisis Asia waktu itu. Pelajarannya?

Orang selalu suka pada gaya story telling. Karena itu, penggunaan film yang banyak ditonton orang selalu bisa "menolong" untuk menjelaskan sesuatu yang ruwet jadi mudah. Dan, itu sudah "pas" dengan gaya saya bicara dan menulis!

Sekali lagi, don't underestimate it. Story-telling is so powerfull! (*)

Grow with Character! (68/100) Series by Hermawan Kartajaya - Three Crisis Segments: Snob, Smart, and Dumb!

Three Crisis Segments: Snob, Smart, and Dumb!

TAHUN 1998 memang benar-benar berat bagi Indonesia. Juga bagi MarkPlus Professional Service yang baru berusia delapan tahun. Tapi, justru "momentum" itulah yang tidak mau saya sia-siakan. Ketika itu saya malah men-"deklarasi"-kan 1998 sebagai The exciting year!

Selain untuk memberikan semangat kepada orang lain, juga pada diri sendiri! Saya lantas malah menerbitkan buku khusus untuk menghadapi krisis. Buku itu saya mulai dengan mengatakan bahwa ada peluang yang justru bisa diambil di waktu krisis. Ketika semua orang "tiarap", justru yang "aktif" akan berpeluang untuk menang. Tentu saja harus membuang mental KKN jauh-jauh dan menggantinya dengan BTP. Bersih, transparan, dan profesional.

Tapi, itu pun tidak cukup. Harus diteruskan dengan PDB, yaitu positioning, differentiation, dan branding. Nah, kemudian saya memberikan tiga formula untuk mendapatkan peluang. Apa itu? Romancing, rationalising, dan economising the brand!

Pertama, romancing the brand! Strategi ini dipakai kalau brand image mau dijaga dan tidak hancur pada waktu Krisis. Bahkan, bisa "naik" kalau beruntung. Pada saat krisis, secara umum, orang jadi "miskin" dan "tidak percaya diri". Secara umum orang tidak berani spend money karena tidak tahu masa depan Indonesia. Tapi, tetap saja ada ceruk pasar yang malah menjadi "kaya" waktu krisis. Siapa itu? Orang yang menyimpan dolar AS (USD) pasti bertambah kaya. Ketika USD naik lima kali nilai tukarnya, sedang inflasi "hanya" 80 persen, semuanya jelas murah! Asal harga suatu produk atau jasa dalam rupiah!

Semua harga dalam USD waktu itu "menakutkan"! Dalam rupiah malah OK bagi para penyimpan USD. Banyak dari mereka yang "mencairkan" sebagian USD-nya ke rupiah dan membeli aset-aset apa saja, mumpung "murah". Tanah dan rumah yang "ditinggal" pemiliknya yang "lari" harganya miring dalam rupiah, apalagi dalam USD! Begitu juga orang yang menyimpan emas. Bukankah emas harganya "terikat" pada USD. Jadi, kaya mendadak kan?

Dan, bagi orang-orang ini yang secara strategic long term melihat Indonesia akan balik lagi dan bahkan lebih bagus malah akan "invest" di Indonesia. Tapi, selain inves, mereka melihat inilah waktunya enjoy (menikmati) luxury things. Dulu tidak terjangkau, sekarang mendadak bisa!

Sebuah hotel bintang lima, waktu itu, menawarkan paket honey moon lengkap pada akhir pekan. Termasuk kamar mewah dua malam plus tiga kali dining per hari plus massage, dan sebagainya. Sekarang, Anda mungkin nggak heran mendengar seperti itu. Tapi waktu itu, belum ada private villa dan belum ada segmen honey-mooner. Program itu ternyata bisa sukses besar di masa krisis. Semacam balancer pada kehidupan yang sedang susah! Beberapa orang memang lagi tidak mau bisnis dulu dan sambil menunggu krisis reda, menikmati bunga rupiah tinggi dan enjoy life!

MBA pun bermunculan dan cukup mahal. Daripada tak ada bisnis, banyak orang sekolah dulu, sambil menunggu krisis berakhir. Pak Jusuf Kalla yang waktu itu ketua Kadin Sulsel juga bercerita kepada saya. Dia memindahkan showroom mobilnya dari Makassar ke desa malah tambah laris. Kenapa? Banyak orang desa yang mengekspor komoditas, mendapat USD, dan jadi "kaya" dalam rupiah.

Menurut cerita, bahkan, di antara mereka ada yang membeli tiga BMW sekaligus. Dulunya, mereka cuma naik Kijang! Juga, katanya, mereka memasang antena parabola lebih dari satu! Supaya bisa melihat banyak channel luar negeri. Ngerti gak ngerti urusan belakang. Inilah yang saya sebut sebagai "snob" customer! Di masa krisis mendadak muncul snob segment.

Kedua, rationalizing the brand! Saya juga menyebutnya sebagai downscaling. Mempertahankan brand image, tapi tetap rasional. Membuat kemasan lebih kecil adalah salah satu cara pelaksanaannya. Ketika itu, banyak brand yang mempertahankan mutu, tapi mengurangi kuantitas. Walaupun harga per unit "jatuhnya" lebih mahal, jadinya lebih affordable Mengganti beberapa bahan dengan substitusi yang lebih murah, tapi berkualitas sama. Harapannya, cost bisa lebih "ringan", tapi pelanggan tidak "berkorban" kualitas.

Ada lagi yang mengganti packaging dengan yang lebih murah, tapi isinya dipertahankan. Kan pelanggan bisa "maklum" karena ada krisis.

Waktu itu juga banyak "warung dadakan". Berbagai anak muda, termasuk selebriti, berkongsi untuk membuka warung. Makanan hotel, tapi dijual di pinggir jalan dengan harga miring. Paket hemat di restoran chain juga banyak, untuk mempertahankan pelanggan supaya tidak "diambil" warung dadakan ini. Segmen ini saya sebut smart segment. Orang-orang yang "pintar" berhitung value for money dari suatu penawaran.

Ketiga, economising the brand! Di sini kualitas benar-benar turun! Karena sudah tidak kuat lagi. Toh, memakai strategi kedua sudah tak bisa lagi. Kapasitas terpasang sudah ada, terpaksa bermain harga, tapi kualitas sekaligus turun. Ini bahaya untuk brand! Ketika krisis selesai, bisa repot. Tapi, kalau memang sudah "diniati" turun kelas, ya tak apa apa.

Atau? Pakai brand baru di waktu krisis. Mau diteruskan sebagai second brand sesudah krisis selesai, boleh. Tapi, kalau tak mau diteruskan, juga tak apa-apa. Sekadar "menyambung hidup" di waktu krisis. Bagi saya, ini yang disebut dumb segment. Orang-orang berpenghasilan tetap yang purchasing power-nya merosot karena hyperinflation! Termasuk di sini juga banyak orang yang dipecat dari perusahaan. Tapi, beberapa dari mereka malah berhasil menjadi entrepreneur dengan masuk ke multilevel marketing! Tidak semua berhasil memang! Tapi, yang berhasil jadi "kaya" malah jadi snob. Lucu ya!

Hal itu saya ceritakan ketika pada 1999 saya diundang berbicara di American Marketing Association (AMA) Education Conference di Boston. Waktu itu saya katakan bahwa di masa krisis memang ada tiga segmen pasar, yaitu snob, smart, dan dumb. Dan, ada "perputaran"-nya. Segmen yang dulu dumb bisa mendadak jadi snob kalau mendadak jadi "kaya". Yang dulu snob terpaksa jadi smart karena mau hidup lebih rasional. Sedangkan yang dulu smart bisa turun kelas jadi dumb!

Cara melihat pasar secara kreatif inilah yang saya perkenalkan di Boston, berdasarkan pengalaman nyata di Indonesia yang sedang krisis hebat. Buku tentang krisis itu laris manis di Indonesia. Isinya yang saya seminarkan di Boston menarik banyak perhatian profesor marketing dari berbagai perguruan tinggi di sana yang ingin tahu tentang krisis Asia. Itulah upaya saya supaya MarkPlus tetap bisa jadi "garda depan marketing" di pentas dunia, walaupun sedang di masa krisis. Yakni, mengambil krisis itu sendiri sebagai suatu kasus. (el)

Grow with Character! (67/100) Series by Hermawan Kartajaya PDB Is Positioning, Differentiation, and Brand!

PDB Is Positioning, Differentiation, and Brand!

WAKTU menyiapkan draf Repositioning Asia, buku pertama saya bersama Philip Kotler, saya juga menata ulang sembilan elemen. STP atau segmentation, targeting, dan positioning tetap merupakan cara untuk memenangkan mind share.

STP tetap strategi, tidak ada yang berubah! DMS atau differentiation, marketing mix, dan selling tetap tactic untuk memenangkan market share. Sementara itu, BSP atau brand, service, dan process adalah value untuk memenangkan heart-share! Itu tidak berubah sama sekali karena merupakan temuan terbesar saya setelah menggali berbagai sumber.

Hanya, memang harus ada elemen-elemen penghubung antara strategy, tactic, dan value. Nah, penghubung itulah yang saya sebut PDB atau positioning, differentiation, dan brand. Dengan adanya ''segi tiga penghubung'' itu, tiga dimensi marketing, yaitu strategy, tactic, dan value, benar-benar ada link-nya! Itu berarti harus ada link juga antara cara mencapai mind share, market share, dan heart share supaya terintegrasi.

Supaya ikatan segi tiga PDB itu ''kuat'', saya menambahkan ''3I''. Identity adalah ''I'' pertama yang menghubungkan brand dengan positioning.

Artinya? Tanpa ada positioning yang jelas, sebuah brand tidak bermakna. Buat apa Anda keluar duit banyak untuk memopulerkan sebuah brand, kalau tidak ada identitasnya? Brand MarkPlus, misalnya, tidak ada gunanya kalau hanya punya awareness yang sangat tinggi.

Lebih penting dari itu adalah identitasnya sebagai suatu ''institusi marketing yang selalu berada di garda depan dan punya kelas dunia''. Artinya, MarkPlus Inc tidak akan ke mana-mana, ya di marketing saja. Semua harus ada hubungannya dengan marketing. Bisa yang tingkat strategic atau tactical.

Selain itu, saya ingin MarkPlus harus terus di garda depan dalam pengembangan konsep marketing. Tidak boleh hanya mengekor orang lain. Terakhir, harus kelas dunia. Walaupun kita orang Indonesia, arek Suroboyo, harus bisa jadi kelas dunia. Bukan cuma puas jadi jago kandang!

Nah, kalau identity sudah ditetapkan, risikonya? Ya diferensiasi itu!

Harus ada pembeda yang jelas, konkret, dan solid untuk mendukung positioning yang merupakan identitas yang akan dicapai tersebut.

Karena itu, penghubung antara positioning dan differentiation saya sebut sebagai ''I'' kedua. Apa itu?

Integrity! Artinya, positioning yang merupakan janji atau promise sebuah brand itu harus benar-benar punya integritas! Kalau tidak, malah akan jadi back fire. Karena itu, jangan cuma punya slogan yang cantik, tapi gak ada kenyataannya. Dalam kasus MarkPlus Inc, diferensiasi itu terlihat jelas kan.

Tiga divisi, yaitu consulting, research, dan training, ya hanya spesialisasi di marketing. Ditambah, komunitas marketers yang punya club, magazine, dan internet juga sangat marketing oriented.

Brand, sales, dan service yang merupakan tiga pilar MarkPlus Institute of Marketing (MIM) Academy itu pun ya marketing. Kita tidak mau melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan marketing. Buku-buku yang kami terbitkan, termasuk konsep-konsep yang kami launch, adalah selalu konsep ke depan. Bukan hanya yang klasik.

Ketika masih pada 1990-an, saya meluncurkan Konsep Marketing Plus 2000. Waktu itu banyak yang meragukan. Sekarang, semua orang percaya penuh. Sekarang, saya meluncurkan konsep New Wave Marketing dengan 12 C-nya.

Sekali lagi, banyak yang gak percaya. Tapi, lihat aja pada 2020 nanti. Semua marketers di seluruh dunia pasti akan melakukan horizontal marketing itu. MarkPlus harus selalu di garda depan.

Tentang world class, tidak perlu diragukan. Saya sendiri sudah jadi satu di antara hanya dua orang Asia yang dianggap ''gurus who have shaped the future of marketing'' dari Chartered Institute of Marketing, UK.

Asosiasi itu sangat konservatif dalam memilih 50 guru pada 2003. Selain itu, saya sudah menulis lima buku internasional bersama Philip Kotler yang embah-nya marketing dunia. Saya juga satu-satunya orang Indonesia dan orang Asia pertama yang mendapat Distinguished Award dari Pan Pacific Business Association, University of Nebraska.

Saya ceritakan ini semua sama sekali tidak untuk nyombong, tapi untuk menunjukkan bahwa sekali Anda sudah berjanji, Anda harus punya integritas untuk melakukannya. Ini juga untuk memberi inspirasi kepada arek-arek Suroboyo bahwa Anda sekalian bisa masuk ''liga dunia'', asal mau.

Nah, ''I'' ketiga yang menghubungkan differentiation dan brand adalah image. Artinya, kalau diferensiasi Anda solid mendukung positioning, image brand akan positif. Tapi, kalau sebaliknya, akan terjadi image yang negatif. Sebab, kata image itu adalah sebuah kata ''netral'', bisa positif, negatif, atau cuma netral.

Dalam kasus MarkPlus Inc yang akan berulang tahun pada 1 Mei 2010 ini, saya konsekuen banget untuk menjaga supaya segi tiga PDB ini benar-benar tambah kuat! Untuk makin meyakinkan Anda akan pentingnya PDB, saya punya terminologi singkat.

Positioning adalah reason for being. Artinya, jangan asal melahirkan suatu brand. Harus ada alasan yang jelas brand itu dilahirkan untuk jadi apa. Positioning juga akan menentukan target market yang akan dicapai berdasar segmen-segmen yang terlihat.

Differentiation adalah core tactic karena marketing mix dan selling harus dirancang berdasar pembeda yang ditentukan lebih dulu. Sementara itu, brand adalah value indicator. Kenapa?

Semakin kuat sebuah brand, nilainya akan semakin besar. Penguatan brand itu juga harus didukung service dan proses yang in line.

Dengan demikian, sudah jelas bahwa PDB sekarang malah jadi anchor dari sembilan elemen marketing!

Profesor Philip Kotler sangat puas atas penataan ulang sembilan elemen dengan PDB sebagai intinya ini. Karena itu, bermula dari buku pertama, akhirnya lima buku yang saya tulis bersama dia ya berdasar konsep ini. Pelajarannya? Anda harus selalu konsisten untuk membentuk identitas Anda! (*)


Grow with Character! (66/100) Series by Hermawan Kartajaya - Pakailah TOWS! Bukan SWOT!

Pakailah TOWS! Bukan SWOT!


Ketika menulis buku pertama dengan Profesor Philip Kotler pada
1998-2000, saya mendapat kesempatan memopulerkan Model Marketing Plus
2000. Konsep 4C dan Sembilan Elemen Marketing sudah saatnya dimodifikasi
supaya lebih praktis lagi.

Supaya lebih gampang dimengerti juga!
Kan tugas saya bukan ''mempersulit'' sesuatu yang sebenarnya
''mudah''. Tapi, justru ''mempermudah yang susah''. Ada tiga hal yang
saya lakukan untuk simplification itu.

Pertama, daripada
membahas shifting dari situasi persaingan 2C ke 4C, lebih baik
langsung memberikan basic platform. Yang saya maksudkan dengan
ini adalah terserah masing-masing aja untuk menggunakan model 4C.

Tiga
C yaitu change, competitor, dan customer saya gabungkan
di landscape. Beda dengan 3C-nya Kehnichi Ohmae yang berarti
company, customer,
dan competitor! Di model 4C saya yang
sudah termodifikasi, landscape adalah yang ''tempat'' C keempat,
yaitu company melaksanakan persaingannya.

Supaya gampang,
model 4C itu saya gambar sebagai belah ketupat.

CEO Kompas
Gramedia Pak Agung Adiprasetyo lebih senang menggunakan kata ''wajik''!
Karena bentuknya memang mirip kue tradisional itu.

Change
saya taruh di atas karena inilah yang memengaruhi perubahan- perubahan
di competitor dan customer. Model saya kan future
oriented
supaya bisa dipakai untuk membuat strategi ke depan. Bukan
model untuk menganalisis ke belakang!

Sedangkan competitor
dan customer saya ''pasang'' di titik kiri dan kanan dari
''wajik'' itu. Nah, baru di titik bawah, saya taruh company.
Maksudnya, sebuah company harus meninjau landscape-nya
lebih dulu sebelum memutuskan strategi ke depan. Di dalam buku itu, saya
juga menyempurnakan elemen-elemen change yang dulunya tiga jadi
lima.

Secara vertikal, tiga eleman awal adalah technology,
economy,
dan market. Teknologi yang berubah memang mengubah
sifat ekonomi kan?

Lihat saja ketika Alvin Toffler
menjelaskan first, s, dan third wave dalam buku
legendarisnya. Teknologi pertanian berkembang jadi teknologi industri
dan tenologi informasi. Perekonomian pun akan bergeser menurut arah yang
sama.

Itu tecermin di market di mana persaingan
antar-pemain terjadi. Kalau diterapkan di marketing, jadinya
begini. Kalau sebuah perusahaan pembuat handphone, misalnya,
melihat ada teknologi baterai yang ''lebih ringan dan kecil'' tapi
ketinggalan, akibatnya fatal kan?

Mengapa? Sebab, ekonomi
makro akan memenangkan perusahaan yang bisa memberikan more value for
money
untuk pelanggannya. Selera market pun ''bergerak'' ke
sana.

So, kalau teknologi itu diambil competitor
lebih dulu dan ternyata customer menyukainya, berarti company
yang bersangkutan sudah ''ketinggalan'' dari landscape-nya yang
dinamis itu!

Tapi, saya juga tambahkan elemen change yang
keempat dan kelima, yaitu political/legal dan social/culture.
Saya taruh yang pertama di kiri elemen ekonomi dan yang kedua di
kanannya. Artinya? Situasi politik yang pro-teknologi sehingga mendorong
aturan yang tidak melarang penggunaan teknologi itu akan mempercepat
perubahan landscape.

Begitu juga dengan kondisi sosial
masyarakat dan nilai-nilai budaya lokal yang ''menerima'' bahkan
''menyambut'' teknologi semacam itu akan semakin mendorong pergeseran!
Sedangkan situasi sebaliknya sering juga bisa ''menghambat'' pergeseran
ekonomi dan market walaupun teknologinya sudah tersedia!

Profesor
Philip Kotler ternyata sangat menyukai ''modifikasi'' itu.

Beliau
sempat bilang bahwa model 4C yang ''baru'' tersebut akan memudahkan
orang menganalisis dynamic and ever-changing landscape-nya
ketimbang menggunakan model lain yang ruwet!

Nah, setelah
menganalisis dampak kelima elemen change itu kepada competitor
dan customer-nya, maka sebuah company harus melakukan
TOWS Analysis! Ini bukan sekadar SWOT yang dibalik!

Tapi, ada
perubahan paradigma yang mendasar. Kalau Anda menggunakan SWOT, biasanya
akan lebih present atau bahkan bisa jadi past oriented!

Daftar
S (strength)-nya bisa sangat panjang karena ''mengenang''
kejayaan masa lalu. W (weak)-nya tidak banyak karena ''bias''
pada pandangan ke belakang. Apalagi kalau ada agency problem!
Artinya, manajer yang sekarang ''takut'' disalahkan kalau menulis S-nya
sedikit dan W-nya banyak! Padahal, S dan W yang present atau past
oriented
itu tidak akan relevan untuk masa depan.

Tapi,
kalau kita mulai dengan identifikasi t (threat) dan O (opportunities),
otomatis akan ''terpaksa'' berorientasi pada masa depan. Apalagi kalau
dimulai dengan threat, otomatis orang mulai ''mikir'' tentang 3C
yang ada. Opportunities juga berasal dari 3C. Tapi, "TO" itu
harus di- "fit"-kan dengan SW dari company-nya. Jadi, TO itu
bukan hanya external seperti banyak disangka orang!

Suatu
pergeseran di 3C yang menguntungkan akan jadi O, sedangkan yang malah
menguntungkan competitor (karena lebih siap) harus jadi T! Jadi,
tren yang sama bisa masuk O atau T bagi pemain yang berbeda. Nah,
sesudah analisis T dan O, baru ke W dan S! Hasilnya pasti beda.

Yang
tadinya S bisa jadi W karena kompetensi yang dimiliki saat ini atau
masa lalu tidak cocok, bahkan jadi "beban" untuk masa yang akan datang!
Analisis TOWS itu juga sangat disukai Prof Philip Kotler karena membuka
wawasan baru bagi yang biasanya pakai pendekatan SWOT.

Analisis
TOWS tersebut akan memberikan "paradigma" masa depan sehingga strategi
yang dibuat juga bisa dipakai untuk masa depan. Kalau pakai SWOT, bisa
jadi, strateginya berkiblat kepada masa lalu yang akhirnya malah membuat
sebuah perusahaan akan semakin kalah bersaing. Kan ada istilah garbage
in, garbage out
?

Analisis salah, ya strategi salah.
Pendekatan TOWS itu pula yang saya pakai untuk membuat tesis bahwa Asia
akan bangkit kembali sesudah krisis 1998. Tapi, jadi Asia Baru yang
lebih berdaya saing! Prediksi saya benar 100 persen walaupun waktu itu
Prof Philip Kotler agak "khawatir" tesis tersebut akan salah!
Kenyataannya sekarang?

Baru dua belas tahun sesudah krisis Asia
1998, justru Amerika dan Eropa yang krisis gak karuan. Semua orang
sepakat bahwa inilah Abad Asia! Asia sudah menjadi "lokomotif"
kebangkitan dunia sesudah krisis 2008! Wow!

Itulah keampuhan
analisis TOWS di sebuah model landscape 4C!

Semua ini juga
akan saya ceritakan pada MarkPlus Festival 1 Mei 2010 nanti. (*)

Grow with Character! (65/100) Series by Hermawan Kartajaya - Angsa Terbang, KKN, dan BTP!

Angsa Terbang, KKN, dan BTP!

Nilai tukar rupiah jatuh, maka banyak orang menjadi kerepotan mengembalikan utang dalam USD. Banyak orang yang sebenarnya tidak butuh utang jadi tergiur untuk utang, karena ditawar-tawari utang dalam USD.
Bunganya relatif rendah daripada utang dalam rupiah. Lantas kenapa kok banyak bank luar negeri mau menawari utang USD ke pengusaha Indonesia. Ya, karena waktu itu Indonesia masuk di barisan New NIC (Newly Industrialising Countries) bersama Malaysia, Thailand, dan Filipina.
New NIC ini terletak di belakang barisan Asian Tiger yang terdiri atas empat negara, yaitu Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Korea! Sedangkan pemimpin Asia waktu itu ya hanya satu negara. Saudara tua kita, yaitu Jepang!
Jepang adalah pemimpin Asia karena industrialisasinya paling maju. Sedangkan negara Asia lain masih didominasi pertanian. Tapi, begitu upah buruh di Jepang jadi mahal, ada perpindahan industri Jepang ke empat negara Asian Tiger. Tapi, ketika hal yang sama terjadi lagi di situ, terjadi sekali lagi shifting ke New NIC atau bisa disebut Asian Tiger, termasuk Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia juga jadi pilihan untuk investasi yang menguntungkan walaupun berisiko bagi dunia. Lantas di mana posisi Tiongkok dan India waktu itu? Wah, kedua negara itu bersama Bangladesh dan lain-lain dibuntutnya New Tiger! Seorang profesor Jepang, menyebutnya sebagai the flying geese. Kumpulan angsa terbang dalam formasi dengan Jepang sebagai pemimpin. Semua adalah sayap bahkan buntut.
Ketika saya menulis buku pertama dengan Philip Kotler Repositioning Asia: From Bubble to Sustainable Economy, saya menulis bahwa flying geese akan buyar! Saya melihat bahwa Jepang di masa normal bisa mengalihkan industrinya ke negara negara sayap sehingga membantu industrialisasi secara berantai di Asia. Tapi, justru waktu krisis, saya melihat Jepang tidak bisa “berbuat” apa-apa.
Mereka tidak memperlihatkan posisi sebagai “saudara tua” yang mau menolong Indonesia, Korea, Malaysia, Thailand, dan lainnya yang sedang panik dan kacau! Perusahaan yang dulu “disodori” kredit USD dengan bunga murah memang dengan cepat jadi bubble. Mereka menggunakan uang itu secara ngawur atau melakukan investasi di bisnis yang bukan kompetensinya.
Bahkan, beberapa pemilik perusahaan melakukan mark up proyek dan menggunakan uang “murah” itu untuk masuk kantong pribadi dan disimpan di Swiss. Ada lagi yang didepositokan ke rupiah dengan selisih tingkat bunga yang lumayan! Dan, ketika “kepercayaan” hilang dengan default yang mulai terjadi di Thailand, si pemilik uang menarik semua pinjamannya secara mendadak!
Krisis moneter menjadi krisis finansial karena pemerintah-pemerintah Asia terpaksa mengambil alih beban utang itu dan “menghukum” yang dianggap “curang”! Khususnya di Indonesia, orang-orang yang sudah “sebal” pada KKN dari PPP (putra-putri presiden) mengambil kesempatan untuk menimbulkan krisis kepercayaan pada pemerintah. Semuanya berujung pada krisis sosial yang berdarah-darah di Jakarta pada 13-14 Mei 1998 dan krisis moral karena sudah tidak ada lagi makna Pancasila yang sangat religius itu! Nah, rantai krisis itu berjalan begitu cepat di Indonesia dan berakhir dengan jatuhnya Pak Harto. Sedangkan di negara lain, ada pergantian pimpinan nasional, tapi tidak sampai chaotics.
Mahathir di Malaysia malah bertindak tegas dengan “menutup” semua pintu spekulasi mata uang ringgit sehingga krisis tidak menjalar ke mana-mana. Nah, di sinilah saya tidak melihat Jepang bertindak cukup untuk membantu. Padahal, waktu itu Jepang masih relatif kuat, walaupun mengalami bubble economy yang pecah karena harga properti yang melambung tidak masuk akal dan jatuh!
Akibatnya, IMF yang mayoritas sahamnya dipegang Amerika turun tangan dan “menolong” Indonesia, Korea, dan Thailand! Seperti diketahui, resepnya adalah memperketat aliran uang dengan menaikkan tingkat bunga sehingga Indonesia tambah “stagflasi”! Karena itu, ketika itu saya mengusulkan kepada Philip Kotler untuk “berani” meramal dalam buku itu bahwa Jepang bukan “pemimpin” flying geese lagi. Sekarang setiap negara Asia harus bisa survive sendiri-sendiri!
Justru kalau terikat pada paradigma flying geese bisa repot. Setelah banyak berdiskusi, akhirnya Philip Kotler setuju untuk menulis hal itu di buku! Kenyataannya? Benar kan. Sekarang Asia seolah dibagi menjadi tiga “skuadron”. Di timur ada Jepang, Korea, dan raksasa yang baru bangun, Tiongkok! Di barat ada raksasa kedua India dan berbagai negara tetangganya di Asia Selatan! Sedangkan di tengah ya ASEAN! Ada Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Tapi, raksasa yang baru bangun seharusnya Indonesia bersama “buto cakil” Vietnam! Sampai sekarang, Philip Kotler sering memuji saya karena bisa “meramal” dengan tepat bahwa flying geese akan runtuh sesudah krisis Asia! Nah, khusus KKN sendiri, waktu itu saya memopulerkan BTP untuk melawannya!
KKN dari Amien Rais yang berarti korupsi, kolusi, dan nepotisme! Pada 1998 itu saya kebetulan diminta Pak Aburizal Bakrie untuk membantu special ambassador yang terdiri atas orang swasta pergi ke mana-mana dengan biaya sendiri. Tujuannya mem-promote Indonesia yang sedang di titik nadir.
Saya sendiri ketika itu bekerja secara volunteer di Kadin Indonesia, mengajak Jacky Mussry dari MarkPlus. Tapi, saya juga minta dua orang dari Astra, dua orang dari Indosat, dan dua orang dari Pos Indonesia untuk masuk tim. Saya minta mereka tetap digaji perusahaan masing-masing, tapi mau menjadi tim saya di Kadin Indonesia.
Tugas tim saya dan Jacky waktu itu mem-back up para special ambassador dengan konsep dan data. Tapi, saya juga menumbangkan konsep BTP itu! Bersih, transparansi, dan profesional! Saya pakai logika saja. Bersih lawan dari korupsi. Transparansi lawan dari kolusi dan profesional lawan dari nepotisme!
Saya dan Jacky lantas membuat konsep dan sekalian logonya untuk dipakai Kadin Indonesia. Untuk “mereposisi” para pengusaha Indonesia, supaya jangan hanya “membesar”-kan perusahaan dengan cara KKN, tapi dengan BTP!
Di luar dugaan, konsep BTP hasil pemikiran saya itu disambut dengan hangat. Kadin Indonesia bahkan pernah menyelenggarakan seminar kajian dengan mengundang Prof Kuncaraningrat yang sosiolog untuk membahasnya.
Hasilnya? Setuju! Maka mulai berlangsunglah gerakan BTP ke mana-mana! Saya bilang bahwa Indonesia Baru, bahkan Asia Baru, perlu BTP! Tanpa BTP, marketing tidak bisa jalan! Kalau KKN masih berjaya, orang malas ber-marketing! Ngapain berpikir segmentasi, positioning, branding, dan sebagainya. Nggak perlu lha, kan enakan BTP!
Selama menjadi ketua tim itu, saya juga pernah dikirim ke Frankfurt bersama Yoop Ave untuk mempromosikan Indonesia. Saya di sana sama sekali tidak “membantah” apa yang terjadi di Jakarta pada 13-14 Mei 1998.
Percuma! Marketing bukan untuk menutupi fakta! Marketing bukan untuk berbohong! Tapi, marketing untuk memosisikan secara benar!
Di Frankfurt, saya memosisikan Indonesia yang “kaya aset SDA” itu sebagai negara yang lagi di titik nadir. Mumpung masih “belum clear”, inilah kesempatan terbaik untuk para entrepreneur Jerman masuk Indonesia. Kalau nanti semuanya sudah “normal” akan repot! Benar kan?
Saya tidak bohong, tapi saya menunjukkan suatu kenyataan yang sama dari “sisi lain”. That is The Real Marketing! Makna sebenarnya dari marketing itu lengkap dengan pergeseran definisinya dari zaman ke zaman akan saya uraikan pada sesi terakhir MarkPlus Festival 1 Mei 2010 nanti. (*)



Grow with Character! (64/100) Series by Hermawan Kartajaya - Jer Basuki Mowo Beyo!

Jer Basuki Mowo Beyo!

BUKU pertama saya bersama Profesor Philip Kotler adalah "pertaruhan besar" untuk saya dan MarkPlus! Karena itu, saya benar-benar "ngotot" untuk membuatnya sukses. Pertama, judulnya harus tetap marketing walaupun buku itu tentang krisis Asia yang sangat makro. Karena itu, judul yang saya usulkan Repositioning Asia: From Bubble to Sustainable Economy. Dengan judul seperti itu, saya seolah ingin menuliskan "resep" tentang bagaimana Asia bisa di-"reposisi".

Dari Asia yang bubble, artinya kelihatan "gede tapi kosong" ke sustainable atau "kuat dan berkelanjutan". Dengan melakukan itu, saya tidak boleh "terseret" membahas ekonomi makro terlalu dalam. Tapi, saya harus bisa melihat masalah krisis ini dari "kacamata" marketing!

Kedua, buku ini harus merupakan pandangan "Asia". Sudah banyak orang Barat yang "mengadili" orang Asia sebagai penyebab krisis hebat itu. Ya, KKN, ya Asian values. Kalau KKN, saya setuju, karena memang tidak sejalan dengan marketing. Tapi, kalau Asian values, saya tidak sepenuhnya setuju!

Banyak sisi baik dari Asian values yang tidak dimengerti orang Barat. Orang Barat menganggap bahwa family system yang ada di Asia itulah yang mengakibatkan KKN! Bagi saya, itulah keunikan Asia! Diferensiasi Asia yang tidak dimengerti orang Barat! Quang-shi di orang Tionghoa, misalnya, maknanya adalah deep relationship. Di masyarakat Tionghoa, kalau Anda sudah berbisnis secara jujur dan "jatuh" harus ditolong. Tapi, kalau "curang", ya nggak perlu ditolong! Orang Barat melakukan "gebyah uyah" dengan mengatakan bahwa Quang-shi itu negatif.

Model buddy-buddy dan brotherhood di Barat itu kan cuma teman minum-minum dan naik Harley beramai-ramai. Tidak sampai mau membela "teman" yang menderita walaupun dia "benar"! Karena itu, saya sebutkan bahwa Quang-shi itu justru kekuatan yang akan membangkitkan Asia kembali. Yang niatnya baik akan "bangkit" kembali, yang niatnya nggak baik, ya nggak ada yang menolong!

Ketiga, saya menghubungi Prof Linda Lim di Asean Center di Michigan. Waktu saya baru mulai membangun MarkPlus pada 1990, saya pernah mengikuti executive education program Michigan di Jakarta, dan dia adalah salah satu pengajarnya.

Walaupun orang makro, Linda sangat mau menghargai orang marketing. Persahabatan saya jadi lebih dekat ketika Stephanie, anak kedua saya, sekolah di Economics Undergraduate di Michigan, Ann Arbor.

Waktu itu, Linda merupakan satu-satunya peneliti Asia, karena dia orang Singapura yang tinggal di Amerika, dan melakukan riset tentang krisis. Dengan memasukkan pendapatnya ke buku saya, hal itu akan memperkuat "Asian content" untuk diferensiasi.

Keempat, saya mendapatkan banyak bahan studi dari Andersen Consulting, tempat Michael bekerja. Waktu itu, kita memang mendapatkan akses ke file-file Andersen Consulting secara resmi. Karena itulah, Mike akhirnya berhasil "menggambar" Matrix 2 kali 2 yang merupakan "inti" buku ini. Sumbu X adalah financial soundness dan sumbu Y adalah competitiveness. Perusahaan yang low dalam kedua hal itu kita sebut bubble company.

Banyak utang dalam USD nggak bisa bayar karena rupiah "jatuh" dan memang tidak punya daya saing. Sudah KKN, ngutang dari luar, dan menjalani bisnisnya secara "ngawur". Tidak ada efisiensi dan tidak berusaha memberikan kualitas yang baik bagi konsumen. Berbagai perusahaan P3 atau putra-putri presiden masuk kategori ini. Bimantara termasuk yang relatif profesional dibanding yang lain.

Yang highly competitive tapi low financial soundness disebut aggresive companies. Artinya, perusahaan ini memang banyak utang dalam USD dan susah membayar, juga mungkin saja dapat bisnis karena KKN, tapi cukup profesional! Perusahaan-perusahaan Salim Group waktu itu masuk kategori ini karena semuanya dijalankan secara profesional, walaupun mereka memang dapat beberapa fasilitas dari Pak Harto.

Ada lagi yang low competitiveness dan high financial soundness disebut conservative companie. Berbagai perusahaan BUMN perkebunan, waktu itu masuk kategori ini. Tidak ada masalah keuangan, malah dapat blessing in disguise karena hasil ekspornya naik dalam rupiah! Walaupun belum tentu kompetitif! Berbagai perusahaan swasta agraria di luar Jawa juga semakin "pesta" waktu itu karena USD naik! Karena itu, ada yang bilang bahwa "luar Jawa" tidak terkena krisis!

Sedang yang high competitiveness dan financial soundness disebut sustainable companies! Ini adalah perusahaan yang benar-benar profesional. Hati-hati dalam berutang dan punya daya saing tinggi. Perusahaan-perusahaan seperti ini juga slow down waktu itu, tapi tetap "solid"! Astra masuk kategori ini, waktu itu.

Kelima, Taufik yang pernah bekerja membantu almarhum Dr Syahrir di UI, saya mintai bantuan untuk memperkuat macro content-nya supaya juga bisa membahas krisis Asia secara proporsional! Nah, dengan melakukan lima hal itulah, saya benar-benar meyakinkan Kotler bahwa saya memberikan buku krisis Asia yang marketing!

Buku itu sendiri baru ada di toko buku di seluruh dunia pada 2000, ketika krisis mulai mereda. Tapi, malah "pas waktu" karena sudah ada beberapa kasus reposisi perusahaan dari bubble ke sustainable.

Yang paling hebat adalah Samsung dari Korea. Dulu, konglomerat dengan KKN dari pemerintah melakukan apa pun. Banyak utang, belum tentu punya daya saing di semua bisnis. Sesudah kena krisis, sadar dan konsentrasi saja di beberapa industri, antara lain elektronik. Sekarang? Malah sudah mengalahkan Sony ke mana-mana! Samsung sempat masuk buku saya!

Buku pertama saya membawa sukses berikutnya. Saya hampir tidak percaya, melihat buku itu dipajang di kota-kota besar dunia! Tapi, ingat lho, tidak ada sukses tanpa perjuangan. Jer basuki mowo beyo! (*)

Grow with Character! (63/100) Series by Hermawan Kartajaya - Meyakinkan Philip Kotler, Membela Asia, Merapatkan Barisan!

Meyakinkan Philip Kotler, Membela Asia, Merapatkan Barisan!

PERJUANGAN saya "menyelamatkan" Asia Pacific Marketing Federation pada 1998-2000 memang menguras energi dan pikiran. Tapi, cukup berbuah!

Pertama, sampai sekarang pun, periode sulit ketika saya dibantu dua Sekjen dari Indonesia masih dikenang teman-teman di Asia. Sekjen pertama selama 1998 sampai 1999 adalah Enny Hardjanto, yang waktu itu sudah tidak di Citibank lagi. Sekjen kedua yang bekerja keras mendampingi saya pada 1999 sampai 2000 adalah Y.W. Junardy, bekas CEO IBM Indonesia.

Sekarang Pak Junardy jadi presiden Asia Marketing Federation (AMF) -nama baru APMF- untuk periode 2008 sampai 2010. Indonesia sampai sekarang merupakan satu-satunya negara yang pernah menjabat ketua di institusi regional ini sampai dua kali! Pada akhir Mei ini, Japan Marketing Association (JMA) menjadi ketua lagi, untuk yang kedua, periode 2010-2012.

Kedua, network di Asia itulah yang memungkinkan saya "go international". Menjadi ketua sebuah organisasi regional di masa sulit memberikan kesempatan kepada saya untuk justru menunjukkan "leadership" kepada teman-teman di luar. Para profesional dan profesor marketing paling top di semua negara Asia jadi kenal. Begitu juga semua sekolah bisnis terkemuka di region saya jadi punya akses.

Hal itu juga memberikan kesempatan kepada saya untuk memakai "panggung" di luar negeri untuk mengetes semua konsep yang dibikin dari Indonesia. Di situ pula saya jadi punya kesempatan untuk bicara di sekolah-sekolah bisnis terkemuka seperti Asian Institute of Management ( AIM ) di Manila. Juga NUS dan NTU di Singapura, juga NIDA di Bangkok.

Chulalongkorn MBA Alumni Association pun pernah mengundang saya untuk berseminar sehari di Bangkok. Melalui organisasi itulah, saya lantas jadi punya wawasan internasional. Dengan demikian, arek Suroboyo yang semula cuma bandha nekad sudah bukan "jago kandang" lagi!

Padahal, banyak yang punya gelar profesor dan doktor di marketing, tapi "grogi" di luar negeri.

Ketiga, inilah "return on investment" yang paling besar: jadi presiden APMF pada masa krisis! Dapat undangan jadi pembicara di World Marketing Conference di Moskow. Ceriteranya, presiden Russia Marketing Federation hadir di pelantikan saya di Tokyo pada Juni 1998. Di situ saya juga menyebarkan konsep Marketing Plus 2000 yang sudah masuk di buku teks Prof Warren Keegan dalam bentuk buku tipis.

Mereka sangat tertarik pada "konsep praktis" itu, plus karena saya ketua APMF dari Indonesia. Mereka juga ingin dengar cerita krisis Asia dari orang Indonesia yang paling "hebat" krisisnya. Nah, Crisis is Wei-Ji kan?Dangerous and Opportunity!

Kalau saja saya bukan presiden APMF!,

kalau saja saya belum punya model sendiri yang praktis!,

kalau saja saya gak berani menawarkannya kepada Prof Warren Keegan untuk "masuk" ke buku teksnya,

kalau saja saya bukan orang Indonesia!,

kalau, kalau, kalau, kalau itu semua secara "kumulatif" akan jadi "pintu penghalang" ke Pentas Dunia! Semua itu saya rintis, upayakan dengan susah payah tanpa mengharapkan "dampak langsung". Tapi, seperti Anda lihat, kalau Anda fokus, akan ada impact yang strategis akhirnya. Rusia sendiri waktu itu sempat melakukan devaluasi rubel pas 17 Agustus 1998, tiga bulan setelah Jakarta Riot! Nah, karena mereka kawatir kena "domino effect" dari krisis Asia, makanya mengundang saya! Pas kan...

Saya sangat bersemangat ke Moskow waktu itu; bukan hanya karena tiket pesawat dan hotel dibayari, tapi juga karena Philip Kotler jadi pembicara utama. Event-nya bernama World Marketing Conference!

Prof Kotler adalah pembicara pertama, saya dipasang yang kedua!Bahkan, sebelum makan siang, hanya kami berdua, dari sepuluh pembicara, yang diminta bertemu dengan pers!

Saya masih ingat, waktu itu pertanyaan wartawan lebih fokus pada krisis Asia! Saya dengan tegas mengatakan bahwa Asia akan bangkit lagi! Konglomerat Asia yang besar karena KKN akan "sadar" dan "bangkit".

Saya bilang bahwa itu adalah feeling saya sebagai orang marketing dan presiden APMF!

Saya sadar bahwa waktu itu saya tidak hanya mewakili Indonesia, tapi Asia secara total! Besoknya, panitia menunjukkan liputan koran tentang komentar saya itu. Mereka berterima kasih kepada saya karena memberikan komentar positif sehingga orang Rusia tidak terlalu khawatir terus terimbas krisis yang berasal dari Asia itu.

Tapi, rupanya, Philip Kotler yang duduk di sebelah saya sewaktu konferensi pers jadi sangat tertarik akan "statement" saya yang optimistis itu. Pada waktu makan siang, kami ditinggal berdua saja di ruang khusus. Semua sibuk ngurusin konferensi dan waktu itu tidak banyak orang Rusia yang bisa berbahasa Inggris sehingga malu bertemu dengan Kotler!

Jadi, itu benar-benar merupakan "golden moment of truth" buat saya!Saya harus mengambilnya dengan "cantik" atau "tidak akan pernah datang" lagi. The Window of Opportunity is very small! Apalagi dia lantas menanyakan dasar keyakinan saya atas "statement" saya yang optimis itu.

Dengan hati-hati, saya menjelaskan terjadinya krisis Asia dari pandangan saya sendiri.

Banyak Konglomerat Asia yang tidak pakai "marketing", hanya ber-KKN-ria, akhirnya hancur ketika nilai tukar mata uang Asia hancur.

Ketika ada krisis kepercayaan terhadap Asia. Tapi, saya jelaskan bahwa orang Asia pekerja keras, tidak gampang menyerah, penabung yang baik, juga fleksibel dalam berubah! Karena itu, saya yakin, justru itulah turn around bagi Asia untuk sadar dan pakai marketing! Itu bahkan merupakan "wake up call bagi Asia.

Apalagi beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea sudah punya infrastruktur yang kuat. Belum lagi Singapura, Hongkong, dan Taiwan yang sering disebut sebagai the New Asian Tiger! Wah, mendengar penjelasan "simple", tapi masuk akal itu, Philip Kotler jadi makin percaya kepada saya!

Apalagi dia lantas ingat akan model saya di buku Warren Keegan yang dipakainya untuk mengajar international marketing di Kellogg! Dia tidak bisa lupa akan model itu karena pernah ditanya oleh Victor Hartono -sekarang COO Djarum- yang ketika itu "ambil" kelas Philip Kotler.

Seperti yang sudah saya ceritakan pada tulisan-tulisan terdahulu, selama hampir dua jam, saya merasa "diuji" oleh sang Maha Guru tentang model saya. Kemudian, dinyatakan "lulus", karena itu langsung diajak nulis buku pertama saya bersama dia, Repositioning Asia: From Bubble to Sustainable Economy. I love Moscow!

Sebab, itulah awal saya masuk ke panggung dunia! Itulah return on investment atau ROI terbesar saya sebagai presiden APMF. Buku pertama saya yang akhirnya diterbitkan oleh John Wiley (Asia) dan di support Andersen Consulting, tempat Michael bekerja itu, terbit pada 2000. Tapi, tahun 1998 itulah awalnya!

Untuk menulis buku itu, Mike mendapat izin dari bosnya di Asia Pasifik untuk membantu melakukan riset dan menulisnya walaupun tetap sebagai business analyst Andersen Consulting selama satu tahun. Taufik pun, yang waktu itu masih jadi junior consultant di MarkPlus, saya perbantukan "full" juga. Mumpung klien pun tambah sepi aja, waktu itu.

Dengan melakukan seperti itu, staf MarkPlus pun jadi bangga!

Walaupun Indonesia lagi krisis, klien sepi, ternyata kami dapat satu proyek yang sangat "prestigius". Ini penting Anda lakukan untuk mem-solid-kan internal customer pada waktu krisis! Jangan cuma "kalap" banting harga di waktu sulit, toh belum tentu bisa terjual. Ada banyak cara yang bisa dilakukan asal Anda tidak pernah menyerah!

Jangan cuma kirim staf Anda ke seminar motivasional karena tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi, ajari mereka untuk bisa memotivasi diri sendiri dan carilah cara yang bisa membangkitkan semangat ke dalam di masa sulit. Semua itu juga akan saya ceriterakan pada MarkPlus Festival pada 1 Mei nanti! (*)

Grow with Character! (62/100) Series by Hermawan Kertajaya - Crisis? Take It as A Challenge!

Crisis? Take It as A Challenge!


Tahun 1998, khususnya sesudah Pak Harto "jatuh" dan menyerahkan
kepresidenan kepada Habibie, memang benar-benar waktu yang berat! Proses
transisi sambil menunggu Pemilu 1999 diwarnai dengan ketidakpastian.

Sementara
itu, Presiden Habibie yang "belum siap" waktu itu harus bekerja keras.
Meyakinkan TNI bahwa dia memang "layak" jadi presiden, orang Timor Timur
mengambil kesempatan untuk merdeka, juga ada anggapan bahwa dia
"antibisnis". Macam-macam pokoknya.

Yang menarik, justru pada
masa-masa tidak menentu itu, tiap orang atau entrepreneur yang
bisa melihat peluang malah akan mendapatkan sesuatu. Yang putus asa dan desperate,
apalagi yang ikut jadi "korban" 13-14 Mei, memang jadi pecundang.
Beberapa perusahaan saya ingat "bertahan" dengan cukup kreatif.

Sari
Ayu merupakan penerima Crisis Award of the Month pertama dari MarkPlus
Forum karena tidak mem-PHK karyawan. Ibu Martha Tilaar justru "me-launch"
lipstik Sari Ayu dwiwarna! Harganya dalam rupiah memang naik jika
dibandingkan dengan yang single color, tapi jauh lebih murah
daripada Avon atau Revlon yang harus diimpor dalam US dolar!

Mendadak
saja, para profesional muda di kota besar tidak segan untuk membawa
lipstik merek Sari Ayu di tasnya. Dulu ogah karena gengsi! Telkomsel
adalah penerima Crisis Award kedua karena mengeluarkan prepaid
tepat pada waktunya. Pada zaman itu, semua kartu ya postpaid,
tidak seperti sekarang yang tinggal sepuluh persen.

Orang merasa
"aman" pakai prepaid karena bisa mengontrol pengeluaran. Selain
itu, lebih convenient karena tidak perlu lewat pengecekan untuk
aplikasi jadi pelanggan postpaid! Padahal, price-nya untuk
per unit waktu bicara lebih mahal.

Juga ada perusahaan properti
yang jual ruko tiga tingkat "setengah jadi". Artinya terserah kepada
pembeli untuk menyelesaikan menurut kemampuan masing-masing. Harganya
"miring tapi tidak murah"! Selain itu, ruko memang lebih mudah dijual
karena pada zaman krisis, orang mau pakai satu tempat untuk tempat
tinggal dan kantor. Saya bersyukur bahwa waktu itu, saya memang sudah
tinggal dan berkantor di ruko di Surabaya. Di Jakarta tinggal di ruko,
kantor di Wisma Dharmala Sakti, tapi dengan sistem barter dengan advice.
Maka, saya bisa bertahan.

Banyak perusahaan media yang
memberikan gratis space dan time slot iklannya untuk
''bertahan''. Justru waktu itulah, beberapa perusahaan smart
memanfaatkan untuk beriklan secara murah, bahkan gratis! Selagi
pesaingnya tidak mau beriklan, mereka malah jadi semakin populer!

Saya
sendiri, pada masa krisis, makin gencar nulis di berbagai media di
Jakarta mumpung yang lain gak tahu mau nulis apa. Saya justru
nulis tentang ''kiat bertahan di masa krisis'' dengan menampilkan contoh
perusahaan-perusahaan yang dapat award dari MarkPlus.

Win-win-win!
Perusahaan yang ditulis senang, pembaca senang, MarkPlus pun senang!
Bahkan, Gramedia Pustaka Utama menerbitkan model Sembilan Elemen
MarkPlus
di era krisis! Laris manis! Soalnya, orang lagi cari
''pegangan'' waktu itu. Jadi, ada kesempatan untuk membuat ''pegangan''
tersebut.

Pak Dahlan Iskan menggunakan "kesempatan'' tersebut
untuk mengecilkan ukuran Jawa Pos supaya ada cost reduction.
Pada waktu Pak Dahlan telepon saya, waktu itu saya katakan, "Ini
saatnya untuk melakukan itu". Sebab, pembaca akan memaklumi, apalagi
ukuran baby tersebut memang lebih praktis kayak USA Today!
"Nanti kalau situasi sudah normal, tidak repot lagi!"

Saya
terkesan pada Astra International yang waktu itu dipimpin Pak Teddy
Rachmat. Walaupun krisis, mereka tidak mengurangi karyawan. Tapi, mereka
meminta pengertian agar karyawan mau "turun gaji". Direksi mengambil
inisiatif untuk memotong gaji secara drastis. Makin "ke bawah" makin
kecil potongannya. Dengan melakukan hal itu, karyawan tambah "loyal'' di
kemudian hari.

MarkPlus sendiri waktu itu hanya punya staf
kurang dari 20 orang. Jadi, masih cukup compact dan tidak
"kegemukan". Jadi, waktu itu saya bilang pada 1999, tidak ada kenaikan
gaji, tapi ada gaji ke-14 atau bonus bulan kedua! Juga tidak ada
pengurangan karyawan. Beberapa di antara mereka hingga sekarang sudah
jadi "perwira tinggi" di MarkPlus, antara lain, Jacky Mussry, Taufik,
Agus Giri, dan Vivi Jericho.

Kepada Ibu Eva Riyanti Hutapea yang
waktu itu CEO Indofood, saya katakan, "Inilah saatnya untuk memberikan
laporan terburuk," bagi para pemegang saham. Kerugian yang wajar bisa
diterima! Nanti kalau sudah normal, situasi lain lagi. Jadi, pada
situasi sangat tidak menentu menjelang Pemilu 1999 itu, sebenarnya masih
banyak perusahaan yang bisa melakukan creative things untuk
mendapatkan loyalitas tiga stakeholder utama. Yakni, customer,
people, and shareholder!


Sebagai president Asia
Pacific Marketing Federation (APMF) yang baru dilantik di Tokyo pada
Juni 1998, saya doing creative things. Membership fee dari
semua asosiasi pemasaran nasional saya turunkan. Kemudian, saya
berjanji untuk tidak menggunakan sama sekali uang kas! Pada kepemimpinan
sebelum saya, ketua yang dari Australia menghabiskan semua kas. Bahkan,
ada pembukuannya.

Saya mau buktikan kepada dunia bahwa ketua
dari Indonesia yang sedang kena krisis paling hebat bisa menyelamatkan
APMF. Ide gila kan! Tapi, justru itulah yang menantang saya!
Caranya? Saya minta sponsor dari hotel-hotel di Bali yang lagi sepi.

"Daripada
sepi, tolong kasih gratis kepada teman-teman saya dari berbagai negara
untuk meeting gratis. Mereka pasti tidak akan lupa hotel Anda!" Wah,
ternyata hampir setiap tiga bulan selama dua tahun masa kepemimpinan
saya, selalu ada meeting dengan sponsor gonta-ganti.

Saya
juga pernah mengadakan satu meeting APMF yang disponsori Pak Joe
Kamdani, founder Data Script, di pulau pribadinya di Kepulauan
Seribu. Waktu itu, karena pasar lagi lesu, Pak Joe yang sudah bekerja
keras berpuluh tahun kayaknya mau sedikit "rilaks" dan "charity".
Begitu juga PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang mau mensponsori kereta
api gratis dari Jakarta ke Bandung sambil meeting di atas sepur!

Sampai
di Bandung, saya juga dapat sponsor lagi untuk hotel. Jadi, selama dua
tahun masa paling sulit bagi Asia, yaitu 1998-2000, saya justru membuat
acara yang out of the box. Bali, Pulau Seribu, kereta api.
Dasarnya balik lagi pada win-win-win bagi semua pihak. Sponsor
sudah kadung punya kapasitas terpasang, butuh cara brand building
yang murah.

Para pengurus National Association yang merupakan
teman-teman saya di Asia Pacific butuh acara kreatif yang ''murah''
karena mereka juga sumpek oleh krisis di negara masing-masing. Saya pun
perlu membuktikan jadi presiden di masa krisis yang sukses sekaligus
jadi ambassador Indonesia for tourism!

Akhirnya,
pada 2000 ketika saya menyerahkan jabatan kepada Khun Suphat dari
Marketing Association of Thailand (MAT), benar yang saya janjikan!
Pembukuan hanya punya "pemasukan", tanpa "pengeluaran"!

Terima
dari Australia di permulaan krisis dengan nol tanpa pembukuan,
menyerahkan kepada Thailand dengan saldo USD 20.000 tanpa pengeluaran
sesen pun!

Itulah yang akhirnya membuat teman-teman di APMF
mendukung saya jadi presiden World Marketing Association (WMA). So...
selalu ada marketing yang differentiated pada masa krisis. Yang
penting, ketika topan datang, jangan langsung gulung layar. Take it
as a challenge
! Siapa tahu hal itu justru punya berkah untuk Anda.

Semua
itu akan saya ceritakan dengan gamblang di MarkPlus Festival pada 1 Mei
2010. It will be The Marketing Day for every marketers! (*)

Grow With Character! (61/100) Series by Hermawan Kartajaya - Bertahan secara Kreatif di Masa Krisis!

Bertahan secara Kreatif di Masa Krisis!

TAHUN 1998 benar-benar jadi "titk balik" bagi Indonesia. Saya merasa "beruntung" pernah mengalami hal itu karena bisa merasakan sendiri bagaimana domino effect itu terjadi.

Dulu di buku, saya belajar tentang depresi 1929 dan malaise 1930. Tapi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana krisis ekonomi bisa terjadi di seluruh dunia. Baru pada 1998 itulah saya bisa merasakan bagaimana begitu Thailand "jatuh", beberapa negara lain ikut jatuh. Termasuk Indonesia yang paling parah. Bahkan, Korea Selatan yang waktu itu sudah masuk negara maju mengalami devaluasi besar juga. Malaysia juga kena, begitu juga negara-negara Asia lain.

Semuanya berawal dari KKN atau korupsi, kolusi, dan nepotisme, suatu istilah yang dipopulerkan Amien Rais! Bukan monopoli Indonesia, tapi di hampir semua negara Asia hal itu terjadi karena ada suatu pemerintahan yang "kuat". Power tends to corrupt, absolute power always create corruption! Karena itulah, di Asia banyak konglomerat yang sebenarnya belum tentu kompeten, tapi dapat "tugas" dari yang berkuasa untuk berbisnis di satu bidang. Tentu saja bisnisnya jadi tidak bisa meng-create value yang maksimal untuk pelanggan.

Cost jadi mahal, bukan hanya karena tidak ada efisiensi, tapi juga karena ada "setoran" kepada yang berkuasa. Karena itulah, daya saing yang dipunyai perusahaan seperti itu sangat fragile. Begitu daya beli pelanggan turun, bingung mau ngapain! Begitu nilai tukar rupiah merosot dan inflasi meroket, cost lebih naik lagi, tambah bingung! Begitu ada rasa ketidakpercayaan pada Indonesia, termasuk kepada penguasanya, bingung karena kehilangan "pegangan".

Perusahaan seperti ini biasanya tidak punya brand yang kuat. Produknya dibeli orang karena tidak ada banyak pilihan, juga tidak perlu memberikan servis kepada pelanggan. Karena itu, begitu ada krisis, mereka cepat hancur!

MarkPlus Professional Service sendiri ketika itu sudah delapan tahun. Juara Surabaya dan kukuh di Jakarta. Tiga divisi, yaitu consulting, research, dan training sudah sangat aktif. Ditambah MarkPlus Forum sudah tidak pakai kata "strategic" lagi (supaya lebih luas) merupakan satu-satunya klub marketing di Jakarta maupun di Surabaya. Pertemuan bulanan di Surabaya diadakan di Hyatt Regency dan di Jakarta berpindah-pindah di berbagai hotel bintang lima.

MarkPlus Forum sudah "keluar" dari eksklusivitas Heritage Club di Surabaya dan Mercantile Athletic Club Jakarta. Waktu itu anggota nomor satu Surabaya adalah Tanadi Santoso dan anggota nomor 1 Jakarta adalah Dyonisius Beti masih aktif hadir tiap bulan. Sekarang Pak Tanadi sudah jadi entrepreneur sekaligus pembicara hebat di mana-mana. Terutama setelah lulus MBA dari Chicago Business School. Sedangkan Pak Dyon malah merupakan orang pertama Indonesia yang menjadi Presdir PT Yamaha Motor Kencana Indonesia! Keduanya sekarang sudah jadi life time member, artinya bisa datang kapan saja ke pertemuan-pertemuan The Club seumur hidup gratis!

Nah, apa dampak dari efek domino itu pada MarkPlus? Pelan tapi pasti, pasar jadi sepi! Satu per satu klien "pamitan" karena tidak pasti tentang masa depan Indonesia. Begitu hebatnya pengaruh krisis Asia itu di Indonesia sampai jadi Crisis of Confidence. Pak Harto saja yang sebelum "lengser" begitu confidence harus "menyerah" kepada IMF! Banyak orang, termasuk saya, yang geram melihat foto Direktur IMF Michael Camdessus yang "bule" itu melipat tangan sambil melihat Pak Harto teken dokumen! Walaupun banyak orang Indonesia sudah "marah" terhadap kelakuan putra-putri presiden yang seenaknya, tapi sangat marah melihat foto itu. Mendadak rasa nasionalisme kita bangkit! Kita tidak terima presiden kita "dipermalukan" begitu.

Tapi rasa crisis of confidence ini tidak hanya ada di pejabat negara dan pemerintahan. Juga pada para pengusaha dan profesional. Saya belajar dari krisis hebat ini akhirnya mengerti bahwa the biggest factor for economic growth is simply as confidence. Pada waktu itu, rasa percaya diri para pelaku ekonomi -termasuk marketer- sudah berada di titik nadir. Itulah yang memperburuk keadaan! Orang yang mestinya inves tak jadi inves. Orang yang mestinya beriklan, tak jadi spend untuk brand image. Orang yang mestinya mengembangkan produk baru tak jadi. Bahkan, beberapa salesman jagoan pun jadi loyo! Apalagi bunga bank pernah jadi 80 persen setahun, karena tight money policy, orang lebih senang deposito!

Itulah salah satu "dosa" IMF yang selalu memaksa negara krisis untuk mengetatkan peredaran uang. Alasannya supaya orang tidak "ngawur" utang dari bank untuk kemudian tidak menggunakan uang itu secara "proper". Tapi akibatnya? Semua pengusaha yang "baik" dan "sungguh-sungguh" jadi korban!

Gara-gara kelakuan segelintir konglomerat hitam yang menyalahgunakan pinjaman di masa prakrisis, akibatnya terjadi gebyah uyah! Itulah yang membuat ekonomi "mandek" dan makin menimbulkan "kehilangan rasa percaya diri". Dan, kejatuhan satu perusahaan langsung atau tidak langsung akan "menyeret" perusahaan lain yang memasoknya.

Bukan cuma itu, perusahaan lain yang butuh produk atau servis dari sebuah perusahaan bangkrut akan kehilangan suplai juga. Para ahli ekonomi memakai istilah stagflation! Stagnasi dan inflasi! MarkPlus yang sudah mulai kukuh itu pun terkena dampaknya! Untungnya, saya mendirikan MarkPlus dan memperkukuhnya selama delapan tahun bukan karena KKN. Tapi, benar-benar karena daya saing PDB (positioning differentiation branding) yang kuat!

Pada 1990, ketika baru mulai, saya sangat percaya bahwa PDB itu akan pas dengan STP (segmentation, targeting, positioning). Sebab, ketika itu saya sangat percaya "segmen" yang membutuhkan MarkPlus akan membesar. Nah, sekarang mendadak menyusut bahkan nyaris hilang!

Ketika itu, klien menghentikan consulting, menyetop research, dan menghilangkan training. Ketiga hal itu tidak bisa langsung memperlihatkan short term result. Semuanya long term impact, padahal semua orang lagi ingin survive saja. Boro boro mau konsultasi, riset, dan pelatihan.

Satu-satunya cara saya bertahan waktu itu ya di MarkPlus Club. Sebab, perusahaan pun tidak mau kehilangan life line dengan dunia marketing. Lagi pula, keanggotaan di klub masih akan memberikan "morale" kepada karyawannya dengan relatif murah. Uang keanggotaan terpaksa tidak dinaikkan, walaupun inflasi berat. Tapi, ada keanggotaan tiga bulan dan enam bulan.

Saya mempertahankan mati-matian acara rutin bulanan, baik di Jakarta maupun Surabaya. Tidak pernah ada bulan yang kosong, termasuk acara pada Mei 1998! Saya masih ingat, masih ada 100 orang yang datang di Jakarta dan 150 orang di Surabaya di bulan "berdarah" itu. Waktu itu, saya sendiri malah bicara dampak kerusuhan Mei 1998! Makanya, masih banyak orang datang walaupun agak khawatir akan keselamatan.

Jakarta memang sudah berangsur aman, tapi Solo bahkan relatif lebih hebat kebakarannya! Rumah Ketua MPR Harmoko pun dibakar! Waktu itu, saya masih ingat, mengajak para anggota klub datang untuk "bertahan" after Jakarta-Riot! Marketer harus bisa melihat jangka panjang. Bertahanlah!

Kalau Anda berpikir PDB Anda kuat, inilah saatnya membuktikan. Sebaliknya, kalau dulu besar karena KKN, justru sekarang ini waktunya memakai marketing, kata saya saat itu.

Saya juga selalu mengatakan bahwa Riot 1998 tidak ada apa-apanya dibanding 1965! Waktu G 30 S 1965 dulu, hampir tiap hari saya melihat tubuh orang yang dituduh PKI "kintir" (hanyut) di Kali Surabaya. Hampir satu juta orang mati, bunuh diri, atau dibunuh waktu itu! Karena itu, saya selalu mengatakan bahwa "1998 is nothing to be compared with 1965!" Itu sebenarnya strategi PDB juga!

Memosisikan 1998 sebagai turn around point bagi Indonesia karena diferensiasinya "menghilangkan KKN" yang akan membentuk brand "New Indonesia"! Jadi, be happy karena kita semua sedang mengalami "transformasi" diri!

Lantas? Setiap bulan, pada acara MarkPlus Forum, saya malah memberikan Crisis Award of the Month pada Perusahaan yang "kreatif" menghadapi krisis. Dengan melakukan ini, saya ingin "menghargai" perusahaan yang tetap confidence. Dan, pada saat yang sama, saya ingin menginspirasi anggota! Wah, ternyata strategi ini cukup berhasil! Dari bulan ke bulan yang hadir di MarkPlus Forum pun naik lagi dan kembali ramai. Krisis masih jauh dari selesai, tapi MarkPlus Forum "survive" dan "tambah ramai"!

Puncaknya pada Desember 1998, saya justru menggelar "The First Indonesia Marketing Conference" di Gedung Manggala milik Departemen Kehutanan di Jakarta dengan dihadiri 1.000 orang! Walaupun ada demo besar di jalan-jalan, semua pada datang! Sudah capai "sembunyi" di rumah dan di kantor!

Pak Dahlan Iskan luar biasa! Dia memenuhi undangan saya menjadi salah seorang pembicara di konferensi. Datang dengan naik ojek! Edan kan! Pak Dahlan Iskan selalu committed pada janjinya untuk datang dan menceritakan apa yang dilakukan Jawa Pos menghadapi krisis!

Akhirnya pada 1998 MarkPlus justru berhasil membangun citra sebagai suatu Institusi Marketing yang selalu "in" dengan situasi. Tegar dengan krisis dan satu-satunya institusi yang bisa melakukan creative survival. (el)

Grow with Character! (60/100) Series by Hermawan Kartajaya - Habis Gelap Timbullah Terang!

Habis Gelap Timbullah Terang!

PADA 15 Mei 1998, sehari setelah riot di Jakarta, saya terbang ke Surabaya. Surabaya ternyata sangat tenang. Sama sekali berbeda dengan Jakarta yang kacau balau. Cuma, ada rumor di sana sini bahwa bisa jadi peristiwa di Jakarta terjadi pula di Surabaya.

Ketika itu rumah saya bercampur kantor di RMI atau Rukun Makmur Indah di Bratang Binangun Blok B-21 sejak 1995. Itu pertokoan dekat Kebun Bibit, Surabaya. Setelah lima tahun buka MarkPlus, saya memindahkan rumah di Taman Prapen Indah C8 ke sana. Sekalian digabungkan dengan kantor yang juga pindah dari Adityawarman 70 setelah menyewa selama lima tahun.

Itu dimaksudkan supaya efisien dan efektif. Meniru model di Jakarta, kantor dan tempat tinggal menjadi satu di Kompleks Pertokoan Duta Merlin Blok E-18. Saya suka model begitu, baik di Surabaya maupun Jakarta, terinspirasi oleh Putera Sampoerna. Eat, sleep, and dream with your business! Diartikan sebagai rumah dan kantor menjadi satu. Kan bisnis harus ''ditiduri'', begitulah filosofinya.

Pak Putera sendiri gak pernah punya ''rumah'' yang terpisah dari kantor. Di Surabaya, ketika itu, Pak Putera tinggal di dalam pabrik di Rungkut. Di Jakarta, ketika itu, Pak Putera tinggal di Grand Hyatt di sebuah kamar suite yang khusus didekorasi menurut kesukaannya. Sekarang tempat tinggalnya berada di gedung Sampoerna Strategic Square!

Ketika di rumah, saya ''ungsikan'' ibunya anak-anak ke Novotel Hotel, Kayun. Hanya untuk memberikan rasa ketenangan kepada dia. Setelah itu, saya balik lagi terbang ke Jakarta dan terus ke Bandung. Beberapa hari saya stay di Bandung karena harus bekerja untuk proyek Pos Indonesia.

Ketika itu Pak Cahyana, Dirut PT Pos yang sekarang menjadi pejabat eselon I di Kemenkominfo, me-review strategi pos pada masa mendatang. Dia khawatir PT Pos akan ditinggalkan orang karena internet sudah mulai populer. Orang tidak perlu menulis surat lagi. Begitu juga wesel. Orang kirim uang sudah menggunakan jasa perbankan.

Bagaimana paket? Sudah banyak courier service asing yang masuk! Karena itu, PT Pos harus survive dengan strategi baru. Saya melihat ''kekuatan'' PT Pos yang tidak dipunyai orang lain. Lebih dari 25.000 titik di seluruh Indonesia ada pos. Mulai kantor pos yang besar hingga pelayanan pos yang dijaga satu orang. Amazing kan?

Selain itu, PT Pos dipersepsi sebagai ''netral'' di seluruh dunia. Walaupun ada perang antardua negara, Mr Postman harus tetap mengantar surat untuk ''musuh''! Selain itu, bisnis filateli merupakan bisnis hobi yang sangat global dan besar. Berdasar itu semua, saya ingin menggunakan semua itu sebagai advantage, bukan beban. Karena itu, saya lantas mengusulkan supaya Pos Indonesia menjadi network company.

Artimya? Berubah total! Bukan menjadi kantor pos yang hanya kirim surat, wesel, dan paket, tapi sebuah perusahaan yang network-nya by default, gak ada yang bisa ngalahin. Dengan demikian, Pos Indonesia siap menjadi partneral dari courier service mana pun. Mana bisa, Fedex atau UPS menjangkau desa? Buat mereka pasti kemahalan.Jadi, mereka cukup menyerahkan kepada PT Pos Indonesia untuk masuk ke pelosok.

Apalagi, pada waktu itu PT Pos Indonesia sudah memasang internet untu menghubungkan titik-titik pelayanan itu. Surat yang mau dikirim lewat internet waktu itu bisa dicetak di tempat dan dikirim ke alamat oleh Pak Pos.

Maklum, waktu itu wartel belum masuk desa. Yang hebat, setelah saya membuat buku berjudul Bridging to The Network Company, Pak Mochtar Riyadi menelepon saya. Minta bertemu dengan Pak Cahyana Ahmadjayadi, CEO waktu itu. ''Ini gagasan luar biasa. Bank menjadi bisa bekerja sama dengan PT Pos untuk melayani kiriman uang ke seluruh pelosok.'' Itu ujar Pak Mochtar yang ketika itu sudah dianggap bank thinker di Indonesia!

Kepuasan terbesar seorang konsultan seperti saya adalah ketika rekomendasinya dipakai oleh klien. Dan yang penting, kliennya puas sekali!

Hingga sekarang, hubungan saya dengan Pak Cahyana masih sangat akrab. Personal relationship is much more important than professional one. Di mana pun beliau bertugas, saya diajak untuk membantu karena sudah ada trust mendalam.

Selama seminggu di Bandung menyelesaikan new blueprint Pos Indonesia itulah, saya melihat Pak Harto menyerahkan jabatan presiden kepada Habibie. Pas tanggal 21 Mei 1998 lewat TV! Saya juga melihat bagaimana Amin Rais dengan gagah perkasa ''menggerakkan'' massa mengepung gedung DPR dan MPR dan ''memaksa'' Pak Harto yang perkasa untuk turun.

Indonesia baru dimulai, MarkPlus baru juga mulai! Kalau tidak ada peristiwa 13-14 Mei di Jakarta, tidak akan ada Indonesia Baru. Otomatis, MarkPlus pun ya begitu-begitu aja!

Semua itu akan saya ceritakan pada sesi akhir di MarkPlus Festival 1 Mei 2010. Bagaimana saya ''membidik'' peluang kepada Post-Crisis Time! Anda siap? (*)

Jumat, 19 Maret 2010

Grow with Character! (59/100) Series by Hermawan Kartajaya - Krisis Adalah Bahaya Plus Peluang!

KRISIS dalam bahasa Tionghoa adalah Wei-ji. Karakternya terdiri atas dua "gambar". Saya nggak bisa nulis, nggak bisa baca "gambar" itu, tapi saya tahu bahwa artinya "kontradiktif".

"Wei" dari kata "wei-sien" yang berarti "bahaya". Sedangkan "Ji" dari "Ji-wei" yang maknanya adalah "peluang". Jadi, "wei-ji" berarti ada "bahaya", tapi juga ada "peluang". Saya merasa beruntung bisa punya kesempatan mengalami "krisis Asia" yang dimulai pada 1997 dan memuncak pada 1998 itu.

Krisis yang dimulai dari Thailand dan sering disebut sebagai "Tom Yam Kung" itu ternyata membuat Indonesia terpuruk sampai titik nadir. Bayangkan, Pak Harto yang biasanya bisa menjaga pertumbuhan ekonomi di atas lima persen terus-menerus akhirnya menyerah kepada IMF. Inflasi yang biasanya selalu dijaga satu digit bisa melambung tidak keruan. Begitu juga nilai tukar rupiah yang biasanya dijaga supaya tidak terdepresiasi lebih dari sepuluh persen per tahun menjadi melemah nggak karuan.

Saya sendiri waktu itu benar-benar menderita. Waktu itu, kedua anak saya, Michael dan Stephanie, lagi di Amerika. Mike masih di University Texas at Austin (UT Austin) dan Stephanie masih di St Stevens High School juga di Austin. Karena nilai tukar rupiah melemah hampir enam kali lipat -dari Rp 2.500 menjadi Rp 15.000- "rasanya" kayak punya anak selusin yang sekolah di Amrik! Benar-benar ngeri, karena tidak tahu ujung pangkalnya krisis ini mau ke mana. Uang kiriman jadi mahal, sedangkan klien makin sepi saja.

Tapi, saya bertahan mati-matian. Di Indonesia saya hidup irit, tapi saya membesarkan hati anak-anak saya untuk tetap rajin belajar!

Mereka tidak boleh tahu situasi saya sebenarnya di sini. Untungnya, Mike bisa menyelesaikan studi S-1-nya di UT Austin dengan enam semester, jadi bisa irit dua semester atau satu tahun! GPA-nya 3,97 pula... Selain itu, dia langsung dapat pekerjaan di Andersen Consulting, karena sudah direkrut di Austin. Bahkan, sudah mendapat uang "panjar" yang bisa dipakai buat beli BMW baru ketika balik. Dengan demikian, beban saya tinggal untuk Stephanie, lumayan....

Ketika krisis Asia mulai terjadi, klien utama saya adalah Indofood Sukses Makmur yang CEO-nya Ibu Eva Rianti Hutapea. The Best CEO of Indonesia. Banyak yang MarkPlus lakukan untuk grup terbesar di bidang makanan ini. Mulai riset, konsultasi, sampai pelatihan.

Saya juga sering dibantu Ibu Eva untuk mengikuti berbagai executive education program di berbagai sekolah bisnis terkemuka di Amerika. Termasuk Kellogg, Wharton, Columbia, NYU, Chicago, Insead, dan Harvard tentunya. Karena itulah, saya sempat mengikuti lebih dari sepuluh program eksekutif yang mahal.

Barternya adalah dengan cara mentransfer ilmu yang saya dapat ke internal Indofood lebih dulu. Baru setelah itu, saya boleh mengajarkannya ke publik. Win-win, karena saya untung, Ibu Eva juga untung. Saya mendapat materi kelas dunia yang updated. Bagi Ibu Eva, lebih murah mengirim saya untuk "ditransfer" ke eksekutif puncak daripada mengirim banyak orang ke Amerika.

Selain itu, saya sudah bisa menempati kantor di Wisma Dharmala di Jakarta seluas 300 meter persegi, juga dengan cara barter. Saya dikasih tempat gratis, tapi saya memberikan konsultasi gratis juga kepada Dharmala Intiland. Saya masih ingat, ketika peristiwa Mei terjadi di Jakarta, saya baru saja selesai rapat konsultasi dengan tim Dharmala. Sehari sebelumnya, 13 Mei, saya terbang dari Surabaya ke Jakarta, tiba malam.

Sardjono, driver yang membawa saya dari bandara sudah "diperingatkan" orang di jalan-jalan bahwa ada kebakaran di berbagai daerah. Tapi, akhirnya saya bisa mencapai Duta Merlin, ruko tempat saya menginap dengan selamat. Besoknya, 14 Mei 1998, saya masuk kantor seperti biasa. Mike lagi ada di kantor kita, walaupun sudah bekerja di Andersen Consulting. Nah, setelah rapat dengan Dharmala itulah, ada siaran radio bahwa Jakarta rusuh. Semua karyawan di gedung Dharmala dipulangkan, termasuk yang di MarkPlus.

Saya masih ingat, bahwa Taufik yang sekarang Chief Business Officer, pulang membonceng ojek dan sempat ditodong orang di jalan. Sedangkan saya, Mike, dan Jacky Musrry yang sekarang chief knowledge officer, dan Hendra Warsita yang sekarang corporate secretary menyaksikan peristiwa dahsyat itu dengan kasatmata. Dari lantai lima gedung Dharmala langsung ke Jalan Sudirman.

Jakarta benar-benar kebakaran! Asap dan api di berbagai tempat terlihat di mana-mana. Di jalan banyak orang menggotong barang-barang curian dari toko-toko. Demo besar dari orang yang lagi marah besar terlihat jelas.

Patroli motor tank juga melewati Jalan Sudirman. Terus terang, ketika itu saya sangat khawatir Michael jadi shock. Setelah enam tahun di Amerika, tiga tahun di Upland High School di California dan tiga tahun di UT Austin, pulang langsung melihat kejadian dahsyat seperti itu!

Saya menghibur Mike dengan mengatakan, "Jangan takut. Jakarta sekarang sudah habis. Pasti setelah ini akan ada Indonesia baru yang lebih baik!" Saya tidak tahu, dia percaya atau tidak, tapi itulah yang saya katakan waktu itu. Itulah memang yang saya percayai bahwa "habis gelap timbullah terang". Mana ada gelap terus!

Sore itu saya dan Mike tidak berani pulang karena situasi di luar gedung benar-benar gawat. Kami berdua menunggu sampai pukul tujuh malam, ketika "riot" sudah reda. Akhirnya kami berdua jalan kaki bersama Jacky Mussry. Malam itu kami menginap di apartemen Jacky setelah berjalan sekitar 45 menit dalam kegelapan.

Di sepanjang jalan, kami masih melihat sisa-sisa kerusuhan di sana-sini. Tapi, pihak militer sudah mengumumkan sudah bisa "menguasai" keadaan ibukota. Malam itu, saya dan Mike tidur di kamar Jacky. Dia sendiri mengalah tidur di sofa. Besoknya, 15 Mei 1998 pagi-pagi, saya dijemput Sardjono dari Duta Merlin untuk balik ke ruko karena situasi sudah aman.

Begitu balik, saya mandi untuk menyegarkan diri, memejamkan diri lagi untuk mengenang peristiwa dahsyat kemarinnya. Ketika saya membuka mata, saya langsung segar kembali! Entah kenapa, dalam hati saya malah optimistis bahwa Indonesia baru akan datang. Dan, MarkPlus yang waktu itu sudah berumur delapan tahun akan "naik tingkat"! Saya percaya bahwa krisis adalah bahaya dan peluang! Dan, hal itu ternyata benar adanya... (*)


Rabu, 17 Maret 2010

Grow with Character! (58/100) Series by Hermawan Kartajaya - Perlu Kapal Induk di Samudera Besar!

Perlu Kapal Induk di Samudera Besar!

GODAAN untuk tidak fokus dalam bisnis selalu datang. Terutama ketika Anda mulai sukses dalam mengembangkan bisnis pertama. Apalagi, ada beberapa contoh perusahaan besar yang disebut konglomerat. Semua punya mimpi bisa menjadi seperti itu.

Kwik Kian Gie bahkan pernah membuat buku Mimpi Jadi Konglomerat! Di buku itu, Kwik yang sangat nasionalis itu mengkritik habis-habisan konglomerat Indonesia yang masuk di segala bidang. Bukan karena kompetensi, tapi lebih karena KKN! Karena "dekat" dengan pengusaha, makanya dapat privilege macam-macam.

Ini terjadi di zaman Pak Harto dulu. Tapi, Pak Harto juga punya alasan tersendiri. Untuk membangun negara di saat "Orde Baru" yang masih compang-camping, lebih baik, peran untuk membuat komoditas vital diberikan kepada pengusaha yang pasti bisa. Maksudnya bisa itu, punya akses ke luar negeri. Untuk dapat teknologi, modal, dan manajemen.

Karena itulah, Salim Group lantas diberi "tugas" untuk bikin tepung terigu lewat Bogasari, bikin semen lewat Indocement, dan sebagainya. Karena mengandung risiko, logikanya investasi harus "dilindungi" dengan monopoli. Tapi, kemudian yang model begini kan merambat ke mana-mana. Karena itu, waktu Orde Baru, Kwik menyebutnya sebagai bisnis untuk family and friends!

Putra-putri dari Cendana terus ikut "join" bersama teman mereka minta diberi "tugas" dengan "perlindungan". Nah, model yang tadinya "baik" jadi "kebablasan" ketika orang berpikir bahwa KKN is the only way to grow! Tapi, itu kan tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Asia, yang kayak begitu terjadi di mana-mana dengan alasan berbeda.

Karena itulah, ketika krisis Asia terjadi pada 1998, orang lantas menuding para konglomerat yang ber-KKN secara "kebablasan" itulah penyebabnya. Nah, menarik kan melihat bagaimana performance para konglomerat itu setelah krisis Asia?

Salim Group setelah melakukan banyak hal, termasuk menyelesaikan utangnya, sekarang saya lihat sudah sehat kembali. Indofood sebagai perusahaan publik bisa bersaing dengan baik dengan brand lain, walaupun ada mi sedap dari Wings Group Surabaya. BCA memang "hilang" dan masuk Djarum Group, tapi Bogasari menjadi sehat juga ketika bersaing secara fair dengan produsen lain, termasuk importer.

Selain itu, Salim sudah menjadi kelompok bisnis regional yang kuat dengan bisnisnya di Australia, Filipina, Tiongkok, dan lain-lain. Tapi, tidak demikian yang terjadi pada bisnis "putra-putri". Walaupun masih relatif besar, mereka kurang bersinar.

Di luar Indonesia, contoh bagus adalah Samsung. Sebelum krisis Asia, Samsung adalah konglomerat yang masuk ke semua bidang dengan KKN di Korea. Sekarang jadi hebat dan "bersinar" ketika hanya fokus di beberapa bidang, terutama di bidang elektronik dari hulu sampai hilir. Brand Samsung bahkan sudah mengalahkan Sony yang dulu sangat perkasa itu!

Siam Cement dari Thailand juga survive setelah krisis Asia. Mereka lebih fokus pada beberapa bidang bisnis, walaupun tetap direstui Raja yang masih sangat powerfull. Beberapa konglomerat yang berafiliasi dengan pemerintah di Malaysia tetap survive asal lebih "fokus". Sedangkan di Singapura, hampir semua Government Link Companies (GLC) seperti Singapore Airlines memang hebat terus.

Jadi, sebenarnya bukan masalah KKN atau tidak. Ada yang dulu dapat KKN, setelah hilang keistimewaannya, bisa berjaya atau habis. Tapi, ada juga yang jelas-jelas dilindungi pemerintah sampai sekarang pun tambah hebat! Kalau mau drastis, banyak orang swasta yang nggak dapat KKN juga ingin merambah ke mana-mana. Banyak yang berhasil, tapi lebih banyak yang gagal!

GE atau General Electric adalah contoh konglomerat yang "sadar" ketika Jack Welch menjadi CEO. Dia dinobatkan menjadi CEO of the Century untuk abad lalu oleh Time, karena berani lebih fokus. Dari lebih dari seratus perusahaan jadi "hanya" dua belas. If we are not number one or number two, it is better to fix, close or sell! Jadi, kalau nggak jadi nomor satu atau dua di bidangnya, lebih baik perusahaannya "didandani", ditutup atau dijual!

Mengapa punya anak perusahaan banyak, tapi jelek dan jadi beban! Apa gagahnya punya kartu nama "Group" kalau perusahaannya kecil-kecil dan pada nggak sehat! Selain itu, Jack Welch mengingatkan, ketika itu, bahwa GE lebih baik fokus karena harus bersaing di Global.

GE harus menjadi perusahaan global, bukan perusahaan Amerika. Waktu itu belum ada Tiongkok yang perkasa kayak sekarang, baru ada Jepang, Taiwan, dan Korea. Tapi, Jack sudah "menutup" bisnis White Good-nya yang berjualan kulkas dan alat rumah tangga lain. Jack berpendapat bahwa pasti GE akan kalah dari pemain Asia dalam bidang itu. Daripada "kalah" nanti, lebih baik "dijual" sekarang!

Tapi, Jack lantas masuk di bisnis yang kira-kira Amerika bisa kompetitif. Karena itu, GE membeli bisnis "keuangan" dan TV. GE Money sekarang hebat begitu juga dengan NBC dengan CNBC-nya! Jadi?

Fokus memang tidak harus satu saja, bisa beberapa. Tapi, ada orang-orang yang fokus dan menghayati bidang masing-masing! Kalau nggak ada orang yang mau fokus di bidang masing-masing dan terus-menerus memantau persaingan dan melakukan perubahan, ya anak perusahaan itu akan jadi beban!

Di GE, setiap anak perusahaan dipimpin orang-orang yang fokus di bidangnya. Di Indonesia pun, sekarang keluarga Hartono dari Djarum Group menjadi keluarga terkaya versi Forbes selama bertahun-tahun. Bukan karena hanya punya satu bisnis. Tapi, mereka punya berbagai bisnis yang nomor satu atau nomor dua! Djarum, BCA, dan Polytron adalah tiga perusahaan dari banyak yang lain dari grup ini yang hebat karena ada orang-orang yang fokus! Tapi, kalau Anda nggak punya banyak orang yang kompeten dan bisa fokus, ya lebih baik satu aja. Tahu dirilah!

Sejak didirikan pada 1 Mei 1990 sampai menjelang ber-HUT ke-20 nanti, MarkPlus ya cuma di marketing! Sekarang kita memang dibantu 200 orang di Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Bali, Makassar, Singapura, Kuala Lumpur, dan Surabaya tentunya. Tapi, divisinya, ya hanya tiga. MarkPlus Consulting tetap nomor satu di Indonesia. MarkPlus Insight di riset ad hoc, terbesar di Indonesia. Sedangkan MarkPlus Institute of Marketing atau MIM untuk pelatihan eksekutif sudah pasti market leader. Plus satu lagi, yaitu Marketeers, yang punya klub di lima kota, majalah, dan internet sangat unik dan praktis tidak punya pesaing yang serupa.

Saya tahu limitasi saya. Saya juga tahu calling saya sendiri! Saya tidak perlu jadi orang lain, asal saya menikmati apa yang saya kerjakan. Beberapa orang mencibir dan mengatakan kepada saya bahwa saya nggak berani masuk bisnis "riil". Beraninya cuma di bisnis consulting! Mereka lupa bahwa bisnis "abstrak" seperti ini jauh lebih sulit. Nggak kelihatan barangnya!

Diserang atas bawah! Pesaing dari luar masuk semua membawa brand name, teknologi, dan sistem. Banyak yang masuk MarkPlus hanya mau belajar. Sesudah jadi alumnus, malah jadi pesaing! Saya juga tahu bahwa ketika persaingan jadi global, Anda harus makin fokus!

Bagaikan di samudera besar, kapal harus jadi kapal induk. Kalau di danau yang tenang, perahu kecil pun oke. Dan, kapal induk perlu lebih fokus! (*)

Grow with Character! (57/100) Series by Hermawan Kartajaya - Jadilah Laser, Bukan Matahari

Jadilah Laser, Bukan Matahari

DELAPAN belas prinsip dari The Marketing Company yang saya jelaskan dalam sepekan terakhir ini merupakan rangkuman. Semacam executive summary dari semua pemikiran saya sejak pertama mendirikan MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990.

Berpuncak pada pemuatannya di buku teks Prof Warren Keegan yang juga pionir Global Marketing. Buku teksnya diterjemahkan ke banyak bahasa dan dipakai banyak profesor untuk mengajar di berbagai negara. Saya mendramatisasinya dengan kata-kata: Rewrite your credo or your company will die! Artinya?

Ganti kredo-kredo manajemen Anda ketika menjalankan perusahaan atau Anda akan bangkrut! Terus terang, saya belajar semua itu dari Al Ries yang banyak memberi inspirasi. Dalam bukunya Fokus, dia menyatakan, kalau kita mau konsentrasi ke satu hal, energinya akan sangat kuat.

Yang dia ambil sebagai contoh adalah laser! Sinarnya kecil, tapi karena sangat fokus, laser bisa menembus apa pun. Bahkan bisa dipakai untuk memotong logam!

Sedangkan matahari? Energinya luar biasa, bahkan merupakan pusat pergerakan banyak planet di galaksi. Tapi, badan kita tidak rusak ketika berjemur. Bahkan, banyak orang kepingin menikmati panasnya matahari dengan berjemur secara telanjang. Sekalian supaya tubuhnya jadi gelap! Sebab, energi matahari itu menyebar, tidak fokus!

Delapan prinsip itu seperti sebuah laser, bukan matahari! Sebab, ”tajam” dan ”menikam”! Kalau tidak mengikutinya, Anda tidak akan bisa sustainable. Sedangkan sebuah buku teks yang panjang dan tebal seperti matahari! Menyebar dan energinya tidak terasa. Padahal sebenarnya dahsyat! Isinya lengkap dan komprehensif, tapi kurang ”menyengat”!

Delapan belas prinsip yang saya gambarkan untuk membentuk The M House ini benar-benar legendaris buat saya. Sebab, inilah yang mengantar saya ke pentas dunia. Di muat dalam buku teks Warren Keegan dan kebaca Philip Kotler. Saya lantas diajak menulis buku-buku bersama Philip Kotler, sampai akhirnya terpantau oleh Chartered Institute of Marketing, United Kingdom, sehingga akhirnya dinobatkan sebagai satu di antara 50 Gurus who Have Shaped the Future of Marketing pada 2003.

Hanya ada dua orang Asia di situ, saya dan Kehnichi Ohmae yang menginspirasi saya menulis model 4C!

Masih ingat kan cerita saya di series ini bahwa saya menambahkan C keempat (change) dari tiga C-nya Ohmae (company, customer, dan competitor). Amazing kan!

Saya jadi ingat kalimat Sonni yang membantu saya ”mengedit” buku saya yang pertama di Indonesia, yaitu Marketing Plus. ”Satu langkah kecil yang mengawali seribu langkah besar!” Tapi, kunci sebenarnya ya ada pada fokus itu!

Saya sering melihat orang yang sudah sukses di satu bisnis kemudian memakai profitnya untuk masuk ke bisnis lain. Bisa jadi konsentrasinya pecah! Padahal, bisnis pertamanya selalu mengalami tekanan persaingan yang berubah terus! Perlu konsentrasi terus! Ingat lho, ”lebih gampang mendirikan daripada mempertahankan!”

Anda boleh masuk ke bisnis lain kalau yakin hakulyakin bahwa ada orang yang bisa ”fokus” pada bisnis yang pertama itu. Setiap bisnis memerlukan konsentrasi, baik waktu fase awal, fase pembesaran, maupun fase ”bertahan” dari persaingan.

Xerox adalah contoh konkret. Ketika perusahaan penemu mesin fotokopi tersebut dilindungi hak cipta, mereka lengah. Profit dipakai untuk masuk ke bisnis komputer. Mereka berpikir, kalau Xerox bisa hebat di fotokopi, kenapa gak bisa di komputer? Mereka ngiler pada profit yang dinikmati IBM ketika itu.Tapi? Mereka hancur lebur ketika masuk ke ”area” IBM.

Mereka gak benar-benar ngerti industri baru tersebut. Dari ”luar” terlihat gampang. Setelah masuk ke ”dalam”, ampun deh. Orang gak percaya Xerox bisa bikin komputer. Penyalur takut membantu Xerox. Sementara itu, IBM yang menjadi raksasa waktu itu punya ”amunisi” banyak untuk menghancurkan Xerox dalam waktu cepat.

Mestinya Xerox memakai profit dari natural monopoly-nya untuk fokus dalam pegembangan teknologi fotokopi. Atau, setidaknya dipakai memperbaiki proses, sehingga ada cost reduction yang tidak memengaruhi quality. Tapi itulah, selalu blunder yang dilakukan sebuah perusahaan yang sukses!

Arogan, over confident, anggap enteng, dan taken for granted. Dikira bisnis yang sukses bisa jalan sendiri, jadi bisa ditinggal ke bisnis baru lagi. Mimpi jadi konglomerat! Padahal, sudah gak ada era KKN atau monopoli lagi. Alkisah, Xerox hancur lebur di bisnis komputer dan kaget setengah mati ketika waktu proteksi hak ciptanya habis.

Canon ternyata bisa meluncurkan produk yang berkualitas sama dengan Xerox dengan harga jual retail sama dengan cost Xerox. Mampus lu! Waktu itu, Xerox yang perusahaan Amerika tersebut kelimpungan. Terpaksa belajar dari Canon yang dari Jepang. Akhirnya, Xerox baru bisa bangkit lagi setelah kolaborasi dengan Fuji, makanya ada Fuji Xerox! Bahkan, namanya bukan Xerox Fuji.

Pelajaran mahal bagi yang tidak mau jadi laser, tapi pengin jadi matahari! Semua ini akan saya ceriterakan di MarkPlus Festival pada 1 Mei 2010. Anda siap untuk fokus? (*)