Senin, 22 Februari 2010

Grow with Character! (19/100) Series by Hermawan Kartajaya

Mintalah, maka Kamu Akan Diberi!

PERJALANAN awal MarkPlus Professional Service tidak semulus yang saya kira. Padahal, personal brand awareness saya sudah cukup tinggi berkat menulis di Jawa Pos tiap Rabu (sejak masih di PT Panggung Electronic Industries dan dilanjutkan ketika di Sampoerna). Personal brand association saya juga sudah sangat "tajam", karena selalu dan hanya menulis dari "angle" marketing. Kalau dihitung secara kasar saja, tiga tahun berturut-turut waktu itu berarti sudah 150 tulisan marketing saya keluar di Jawa Pos.

Kehadiran saya di Rotary Club Surabaya Rungkut pun membantu terjadinya network. Di sanalah saya mulai menawarkan diri untuk bicara secara "gratis" di perusahaan-perusahaan teman saya. Itu pun susah!

Mereka suka membaca tulisan saya karena mudah dicerna, tapi tak mau spend waktu untuk anak buah. Mereka takut kalau saya hanya omong kosong. Untungnya, waktu itu, saya punya kegiatan lain. Yaitu, mengajar secara part-time di Fakultas Ekonomi Ubaya bersama mantan pembimbing skripsi saya di situ, Pak Henky Supit, yang sekarang profesor. Selain itu, saya mengaktifkan diri di Indonesia Marketing Club atau IMC Cabang Surabaya. Pokoknya, supaya kelihatan sibuk, saya harus pergi keluar rumah setiap hari!

Kalau cuma di rumah di Jalan Taman Prapen Indah C 8, Surabaya, saya malu sama tetangga! Karena itu, setiap hari saya harus keluar rumah, nyetir Corolla cicilan ke mana aja. Mengunjungi kantor teman untuk menjajakan diri, tapi tidak laku! Gratis sekalipun.

Semua orang yang dulu hormat, ketika saya masih jadi direktur PT HM Sampoerna, kayak ogah ditemui. Padahal, dulu mereka yang mencari-cari saya. Minta tambahan jatah rokok atau minta sumbangan, bahkan sponsorship. Terus terang, sesudah sebulan saya agak putus asa. Mau balik kerja sama orang malu, mau meneruskan rasanya berat sekali. Tapi, saya tidak boleh terlihat seperti itu di rumah maupun di depan teman-teman.

Setiap malam saya sedih melihat kedua anak saya yang masih kecil, Michael dan Stephanie. Saya tidak khawatir akan saya sendiri, tapi khawatir akan nasib mereka yang masih sekolah di Santa Maria. Di malam hari, beberapa kali saya mengeluarkan air mata secara tidak sengaja.

Tapi, bagaimanapun, saya harus bertahan! Caranya? Akhirnya, saya mengambil keputusan untuk menghadap kepada Pak Putera Sampoerna. Saya ajak Mike (panggilan Michael, anak Hermawan, Red) dan saya brief dia di mobil bahwa saya akan "minta job" kepada Pak Putera. Maksudnya, supaya dia bisa mengerti "perjuangan" saya untuk minta job. Tapi juga, untuk meng-create efek psikologis Pak Putera.

Kami berdua diterima Pak Putera Sampoerna di kamar kerjanya kira-kira pukul tujuh malam. Michael yang belum besar kelihatan "prihatin" akan suasana yang agak "tegang", terutama ketika saya mulai berbicara.

Saya langsung melaporkan bahwa saya sudah mengembalikan Toyota Crown Saloon dan terima kasih karena utang saya dihapus. Saya memang berutang ketika saya masih bekerja di Sampoerna untuk ambil MSc in Marketing dari Graduate School of Business dari University of Strathclyde (by distance learning). Artinya, saya tidak perlu ke Inggris, tapi cukup belajar dari bahan yang dikirim, ikut tutorial di Singapura, dan ujian di British Council.

Saya mengambil keputusan itu supaya punya ijazah S-2 tanpa meninggalkan pekerjaan. Strathclyde dipilih, karena saya lihat rankingnya paling tinggi di antara distance learning program lain waktu itu.

Kalau sekolah full time di sana, hanya empat kuartal atau setahun. Kalau distance learning harus empat semester atau dua tahun. Ketika saya keluar dari Sampoerna, saya sudah menyelesaikan tiga semester dengan baik.

Semester empat yang berupa tesis paling merepotkan saya. Komunikasi dengan pembimbing susah, apalagi bahasa Inggris saya kan memang kurang bagus untuk menulis sebuah tesis. Tapi lumayan, paling tidak sudah lunas utang saya untuk bayar uang sekolah yang harus dibayar sebelumnya.

Balik pada cerita saya, sesudah melaporkan kedua hal tadi, saya langsung saja minta tolong kepada Pak Putera untuk diberi "pelaris". Saya mengaku saja kalau belum laku!

Dalam waktu setengah jam, Putera Sampoerna setuju untuk memberikan job training kepada mantan anak buah saya sendiri di divisi distribusi di seluruh Indonesia selama satu tahun. Itulah job pertama saya! Sebuah kontrak besar! Langsung saja, saya terharu dan merangkul Mike dalam perjalanan pulang ke rumah. Lega rasanya, setelah sebulan tidak dapat job apa pun.

Saya masih ingat, waktu itu total kontrak setahun yang saya dapat sebanyak dua setengah kali dari gaji saya setahun sebagai direktur! Terus terang, inilah "aliran transfusi darah" pertama supaya MarkPlus Professional Service tidak jadi "mak" dan "plus"!

Nah, dengan adanya buffer itu, saya dapat hidup tenang paling tidak setahun. Selain itu, ada kesempatan untuk mulai mencari pembantu administrasi, kantor. dan mengembangkan network di luar kota.

Pelajaran apa yang saya dapat di sini? Saya menjual paket training besar kepada eks bos saya untuk melatih eks anak buah saya sendiri dalam situasi psikologis yang tepat! Selain itu? Sebenarnya saya tidak menjual, tapi meminta pada saat yang tepat (Pak Putera lagi rileks di sore hari) dalam situasi psikologis yang tepat pula (ada Mike di situ). Suatu peristiwa yang tidak akan pernah bisa saya lupakan sampai kapan pun! (*)

Grow with Character! (18/100) Series by Hermawan Kartajaya

Brand Must Reflect "Reason for Being"

MarkPlus adalah Marketing Plus! Hal itu terlihat di logo pertama yang saya buat. Ada sembilan kotak bujur sangkar kecil yang saya susun tiga kali tiga.

Pada tiga kotak pada baris paling atas, saya pasang huruf M-A-R. Pada tiga kotak pada baris kedua, saya taruh K-E-T. Susunan huruf pada baris terakhir adalah I-N-G. Jadi, kalau dibaca: MAR-KET-ING.

Untuk menggambarkan Plus, saya mainkan warna hitam dan putih. Di baris atas, huruf M warna hitam dengan latar belakang putih. A warna putih di atas kotak hitam dan R warna hitam di atas putih. K-E-T ketiganya putih di atas kotak-kotak hitam. Akhirnya, balik lagi seperti baris pertama, I hitam di atas putih, N putih di atas hitam, dan G hitam di atas putih.

Dengan demikian, latar belakang MAR-KET-ING akan terbaca sebagai black cross.

Semuanya jelas dan gamblang, bahwa saya memang ingin mengatakan bahwa business is marketing plus others. Artinya, semua fungsi lain seperti finance, operation, dan human resources mengikuti keputusan pemasaran.

Jadi, sejak awal pendirian MarkPlus Professional Service di Surabaya tanggal 1 Mei 1990, saya sudah ingin melakukan "redefinition" of marketing. Saya sangat percaya bahwa marketing merupakan "fungsi" yang punya level lebih tinggi daripada lainnya. Waktu itu, saya sangat kagum pada Unilever yang sangat "marketing".

Di Unilever, waktu itu marketing director punya posisi diatas "setengah tingkat" daripada direktur lainnya. Hal itu "diakui dan diterima" secara alamiah.

Saya jadi semakin kagum pada Unilever waktu itu, ketika sempat mengunjungi pabriknya. Biasa saja, tidak ada yang istimewa.Teman saya, Pak Ibnu yang waktu itu human resources manager, mengatakan bahwa rahasia terbesar Unilever adalah brand-nya. "Kalau saja besok pabrik Unilever ini terbakar, Pepsodent tetap adalah brand besar dan bisa diproduksi di pabrik mana saja." Belakangan saya semakin mengerti pentingnya brand ketika tahu bahwa Nike bahkan tidak punya pabrik satu pun! Tapi, mereka punya brand yang kuat!

Semua fungsi lain diarahkan untuk "men-support" keputusan marketing yang sangat penting itu. R & D diarahkan untuk membuat produk-produk yang sesuai dengan "arahan" brand yang ditentukan sebelumnya. Di kasus Pepsodent, waktu itu "gigi putih" adalah strategi yang dipakai untuk Pepsodent. Kalau yang terjadi sebaliknya, malah bahaya!

Membuat produk-produk lebih dulu yang dianggap "bagus dan kompetitif", tapi tidak sesuai dengan "gigi putih". Akhirnya, brand akan jadi lemah dan produk pun tidak laku!

Begitu juga produksi. Kualitas pasta gigi untuk membuat "gigi putih" itu mesti dijaga supaya sesuai dengan brand promise. Sumber daya manusia yang direkrut pun sejak awal sudah harus mengerti hal itu.

Finance pun diarahkan untuk "membiayai" supaya "gigi putih" itu akan semakin menjadi kenyataan dan semakin banyak pemakainya. Karena itu, spending dalam bentuk iklan, penelitian dan pengembangan, pelatihan SDM, dan sebagainya juga jadi terarah!

Bagaimana channel? Wah, para distributor Unilever jadi "nurut" saja pada permintaan Unilever untuk melakukan investment di infrastuktur seperti mobil kanvas, gudang, atau komputer! Kenapa?

Ya karena Unilever punya bargaining position kuat lantaran punya brand yang kuat! Bahkan, distributor pun "rela" diatur oleh Unilever dalam hal order barang dan harga jual ke retailer! Sekali lagi, semua itu terjadi karena ada brand yang kuat!

Terus terang, itulah yang saya lakukan pada hari pertama MarkPlus: menentukan "arah" atau bahkan reason for being bagi kelahiran MarkPlus Professional Service. Kalau tidak ada alasan yang kuat dan unik dalam mendirikan suatu perusahaan, aktivitas lain akan jadi "sporadik".

Buat saya, business is marketing plus others adalah reason for being, bukan sekadar suatu Logo. Saya sangat yakin bahwa hal itu sangat benar adanya. Juga, semua produk saya dan semua aktivitas harus menunjang hal itu!

Saya juga percaya bahwa logo harus jelas dan gampang dimengerti.

Apalagi kalau saya mendirikan suatu perusahaan baru yang belum dikenal!

Saya masih ingat, kata-kata Putera Sampoerna bahwa makna SAMPOERNA yang juga sembilan huruf itu jauh "lebih bagus" daripada Dji Sam Soe yang waktu itu lebih dikenal! Karena itulah, keputusan dia adalah memakai Sampoerna sebagai corporate brand, bukan Dji Sam Soe! Dengan demikian, semua aktivitas harus diarahkan untuk menjamin "ke-Sampoerna-an"!

Lantaran begitu terobsesinya saya pada kekeramatan angka sembilan, saya sampai percaya bahwa logo MARKETING yang berjumlah sembilan huruf itu akan membawa hokkie pada saya. Karena itu, saya tetap percaya bahwa MarkPlus tidak akan "mak" atau mulai dan "plus" atau mati dalam waktu tiga bulan, seperti ramalan teman saya.

Pelajarannya?

Mulailah dengan logo dengan "makna yang dalam" sebagai reason for being bagi suatu perusahaan baru! (*)

Grow with Character! (17/100) Series by Hermawan Kartajaya

Menjadi Ikan Besar di Kolam Kecil!

TERUS terang, hari-hari pertama setelah saya mendirikan MarkPlus Professional Service di Surabaya pada 1 Mei 1990, saya gelisah. Biasanya naik Toyota Crown Salon, lantas naik Toyota Corolla. Cicilian lagi! Baru kasih uang muka Rp 20 juta dan ngutang 24 bulan. Itu pun belum pasti bisa bayar lunas.

Kartu nama yang semula direktur PT HM Sampoerna menjadi MarkPlus Professional Service tanpa jabatan. Malu soalnya. Masa ditulis direktur atau managing director, gak punya karyawan sama sekali. Perusahaan satu orang atau one man show.... Alamatnya dari pabrik Sampoerna di SIER ganti ke alamat rumah Taman Prapen Indah C 8.

Terus terang, waktu itu saya minder setiap ditanya orang. Mengapa kok keluar dari Sampoerna?

Jarang sekali ada orang yang sudah menjadi direktur di perusahaan besar mau resign kalau gak ada masalah. Tidak sedikit yang bertanya, apakah saya di-kick out karena korupsi? Maklum, hal itu memang terjadi lebih dari sekali pada waktu yang lalu.

Apalagi, jabatan direktur distribusi Sampoerna memang cukup ''rawan''. Penuh godaan. Para pedagang besar sering menggoda untuk minta jatah Dji Sam Soe lebih besar untuk ''menguasai'' pasar. Sebab, Dji Sam Soe memang tidak punya pesaing. Jadi, penguasaan suplai bisa menentukan harga! Itulah ciri-ciri pasar monopoli.

Sedangkan di dalam situasi persaingan murni, penguasaan salah satu brand tidak ada artinya. Alasannya, itu bisa di-substitute dengan mudah oleh brand lain. Satu-satunya hal yang ''menghibur'' saya waktu itu cuma adanya kebebasan pakai baju kerja dan dasi tiap hari!

Terus terang, ini yang saya dambakan waktu di Sampoerna. Sebab, waktu itu semua orang, termasuk Pak Putera Sampoerna, harus pakai batik seragam tiap hari. Jadi gak ada kesempatan untuk pakai dasi!

Karena belum laku, kegiatan rutin satu-satunya adalah menghadiri pertemuan mingguan Rotary Club Surabaya Rungkut. Lumayan enak sih. Dulu, kalau hadir di meeting, saya selalu khawatir dipanggil ke kantor. Waktu sudah tidak di Sampoerna, gak ada yang nyari lagi. Ikut pertemuan bisa sampai habis, bahkan masih bisa ngobrol sesudah pertemuan.

Kali pertama saya hadir di pertemuan Rotary tanpa batik, teman-teman tahu bahwa saya sudah ''nekat'' keluar dari Sampoerna. Seorang Rotarian teman saya se-club yang konsultan pajak sempat bertanya apakah keputusan saya benar? Apa lagi buka konsultan di bidang marketing yang waktu itu gak dimengerti orang. Tolong diingat-ingat, waktu itu masih 1 Mei 1990, Pak Harto masih ''kuat-kuat''-nya.

KKN masih sangat menentukan kejayaan bisnis, bukan competitiveness. Monopoli dan lobi jauh lebih menentukan daripada marketing dan entrepreneurship! Teman saya tadi sampai bilang: ''Siapa yang ngerti marketing? Lebih baik ganti haluan menjadi konsultan accounting atau pajak. Pasti ada pasarnya, bahkan gede banget. Sebab, semua orang pasti membutuhkan pembukuan dan bayar pajak!''

Tapi, saya langsung menirukan apa yang pernah dikatakan Putera Sampoerna kepada saya. ''It is better to be a Big Fish in a Small Pond than to be a Big Fish in a Big Pond!'' Pasar konsultasi accounting dan tax memang besar sekali. Tapi, pemainnya sudah sangat banyak. Sudah banyak pemain besar dan saya akan menjadi ''pecundang''.

Dji Sam Soe sendirian di pasar yang tidak besar. Saya pun pengin MarkPlus menjadi sendirian di pasar konsultan marketing yang baru saya ''mulai'' sendiri! Bahkan, teman saya tadi sempat meramal umur MarkPlus hanya akan ''tiga bulan''.

Namanya aja MarkPlus, jadi pasti ''mak'' dan ''plus''! Artinya, muncul sekarang dan mati tiga bulan lagi! Itulah yang justru memberikan semangat saya untuk bangkit. (*)

Grow with Character!(16/100) Series by Hermawan Kartajaya

Dahlan Iskan, Putera Sampoerna, dan Ciputra: Beda tapi Sama.

SAYA sudah menulis tentang tiga "guru" saya itu sebelum mulai MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990 di Surabaya. Ketiganya sangat berbeda, tapi ketiganya sangat sama. Lihat saja.

Dahlan Iskan, bekas wartawan, asal Magetan, lulus IAIN jurusan hukum. Setelah jadi kepala Biro Tempo di Surabaya, dia ditunjuk untuk memimpin Jawa Pos yang waktu itu "hidup susah, mati segan". Setelah membesarkan Jawa Pos Group ke seluruh Indonesia, dia mencoba masuk ke berbagai bisnis lain.

Tidak semua bisa sukses sebesar Jawa Pos Group yang di media. Tapi, Pak Dahlan memang ingin menunjukkan kepada orang bahwa dia tidak hanya bisa di bisnis media. Dia selalu menyukai tantangan. Pada waktu ini, banyak orang yang berharap dia berhasil di PLN. Kayak sebuah mission impossible. Itulah Dahlan Iskan.

Lalu, Putera Sampoerna memang lahir sebagai anak orang kaya. Dia adalah generasi ketiga keluarga Sampoerna. Kakeknya, Lim Seng Tee, yang pertama merintis perusahaan rokok yang sekarang sudah menjadi nomor satu di Indonesia itu. Generasi kedua adalah bapaknya, Lim Swie Ling. Banyak orang bilang bahwa tiap generasi di Sampoerna punya produk unggulan.

Kalau generasi pertama bikin Dji Sam Soe dan generasi dua meluncurkan Sampoerna Hijau, Pak Putera bikin A Mild! Berbeda dengan anak orang kaya lain, Pak Putera adalah pekerja keras. Walaupun bahasa Indonesianya patah-patah, jiwanya sangat nasionalis! Dia menjungkirbalikkan semua kebiasaan yang ada di Sampoerna.

Generasi pertama melahirkan, kedua membesarkan, dan yang ketiga menghancurkan? Itulah "doktrin" bisnis keluarga yang tidak boleh terjadi Sampoerna. "I don't want to make it happen," katanya suatu hari. Karena landscape berbeda, dia selalu "inovatif" untuk mengalahkan perubahan di luar.

Keputusan-keputusan yang penting harus diambil penuh risiko. Dan, itulah Pak Putera yang berani mempertaruhkan kebijakannya walaupun agak ber-resi-ko! Dia berani "utang bank" yang dulu tidak pernah dilakukan dua generasi sebelumnya. Begitu juga iklan dan promosi.

Distribusi diganti, dari model distributor menjadi branch management. Apalagi go public yang berarti menyerahkan sebagian kedaulatan perusahaan ke pihak luar! Bahkan, yang paling kontroversial, menjual seluruh perusahaan selagi harga saham bagus!

Bagaimana dengan Ciputra? Kelahiran Manado, Pak Ci lulus dari ITB. Pergi ke Jakarta dan "menantang" gubernur DKI Jakarta untuk, antara lain, membangun Ancol! Tiap sepuluh tahun, ada perubahan model bisnis.

Sepuluh tahun pertama, jadi eksekutif Jaya Group sambil punya saham. Sepuluh tahun kedua berbisnis dengan teman-temannya untuk bikin "Sang Pelopor" group. Sepuluh tahun terakhir and beyond berbisnis bersama keluarga sendiri. Saya ikut "mendorong" Pak Ciputra untuk berani memakai kata Ciputra sebagai brand, menggantikan kata Citra. Waktu itu, orang bingung membedakan Citra Group dengan Bimantara Citra dan Citra Lamtoro Gung.

Sekarang? Ciputra sudah melanglang buana. Punya banyak proyek properti di luar Indonesia. Di Indonesia, Pak Ciputra sering diajak kongsi oleh orang-orang Indonesia yang punya "land bank", tapi nggak tahu cara menggarapnya. Ciputra bukan sebuah nama lagi, tapi sebuah premiere brand yang susah payah dibangun tiga puluh tahun lebih.

Nah, ketiganya tampak sangat berbeda kan? Tapi, Anda tahu kan apa yang membuat ketiganya sama benar! Apa itu?

Entrepreneurship!

Lihat saja bagaimana mereka berani mengambil risiko untuk membuat atau menjalankan bisnis secara lahir. Bagaimana mereka bisa membaca peluang sebelum mengambil keputusan. Selain itu, tentu saja cara mereka "meyakinkan" orang lain untuk men-support ide tersebut.

Sampai sekarang pun mereka tidak pernah berhenti berinovasi! Jadi, mereka sangat berbeda, tapi sekaligis juga sangat sama! Karena itulah, banyak benang merah yang bisa saya pelajari dari tiga orang tersebut! (*)

Grow with Character!(16/100) Series by Hermawan Kartajaya

Karyawan Bermental Pengusaha, Pengusaha Berjiwa Karyawan

SATU hal yang saya lihat konsisten pada diri Pak Ciputra sejak dulu sampai sekarang ialah entrepreneurship. Beliau percaya bahwa inilah yang akan membawa Indonesia maju. Tanpa entrepreneurship, sebuah negara tidak akan maju.



Menurut Pak Ciputra, paling tidak lima persen penduduk sebuah negara haruslah berjiwa pengusaha. Jadi pengusaha sungguhan atau tetap bekerja pada orang lain, tapi punya jiwa pengusaha. Buat saya, kalau Anda karyawan tapi menganggap perusahaan tempat Anda bekerja sebagai perusahaan sendiri, dampaknya akan lain. Bukan cuma pada perusahaannya, tapi terutama pada diri sendiri. Itu yang kurang disadari orang.

Banyak yang berpikir bahwa dia merasa "rugi" kalau menganggap perusahaan tempat dia bekerja kayak perusahaan sendiri. "Kok enak..rugi dong aku...nanti aja kalau aku sudah punya perusahaan sendiri, baru begitu..." Itu alasan orang yang gak mau jadi intrapreneur.

Pak Ci "mengajarkan" kepada saya bahwa orang seperti itu rugi sendiri. Tidak memanfaatkan kesempatan yang ada. Memang, harus diakui, tidak semua perusahaan memberikan kesempatan kepada Anda seperti itu. Harus diakui, susah juga kalau Anda bekerja di divisi produksi, operasi, atau administrasi yang rutin.

Tugasnya hanya melakukan sesuatu menurut SOP (standar operasi prosedur), bahkan tidak boleh berinovasi sedikit pun. Tapi, bila ada bos seperti Pak Ciputra yang selalu "menantang" karyawannya untuk mempunyai jiwa entrepreneurship di perusahaannya, rugi besar kalau tidak diambil.

John Kao adalah bekas profesor di Harvard Business School yang juga produsen film Sex, Lies, and Videotape. Dia melakukan survei entrepreneurship dan menemukan bedanya dengan profesional murni.

Katanya, ada tiga yang paling utama. Pertama, seorang entrepreneur pintar melihat peluang atau opportunity. Sedangkan, seorang profesional lebih suka melihat sisi threat atau ancaman dari suatu situasi.

Situasinya bisa sama, tapi yang satu dilihat sisi positifnya, sedangkan yang satu dari sisi negatifnya.

Tahu cerita orang yang dikirim bosnya untuk survei sepatu di suatu pulau? Ketika balik ke bos yang minta dia survei, si karyawan mengatakan bahwa di sana tidak ada peluang. Kenapa? Di pulau itu tidak ada orang pakai sepatu. Semuanya masih pakai sandal.

Buat si bos, kata "masih" itu jadi peluang untuk ngajarin mereka pakai sepatu. Jadi, peluangnya sangat besar! Sedangkan, si karyawan yang tidak punya jiwa entrepreneurship bilang begitu karena melihat ancaman. Ancaman untuk sebuah tugas jualan sepatu di situ. Maunya cuma jual sepatu di tempat yang orangnya sudah pakai sepatu, tapi banyak saingan!

Tempat seperti itu buat si bos justru ancaman. Jadi, beda kan cara melihat suatu situasi yang sama? Kedua, seorang profesional yang "berhasil" melihat peluang minta semuanya safe. Tidak mau ambil risiko.

Balik ke cerita tadi, walaupun dia mengerti bahwa pulau tersebut adalah peluang, si karyawan minta jaminan bahwa dia akan berhasil jualan sepatu di situ. Mana ada jaminan seperti itu. Si bos, sebaliknya, sudah melihat cara "ngajari" orang-orang di situ untuk pakai sepatu. Dia juga sudah membayangkan berapa besar effort dan cost yang harus dikeluarkan pada tahap awal. Selanjutnya, dia juga sudah membayangkan cost-benefit analysis yang harus dihitung.

Si bos mau ambil risiko dengan perhitungan. Dia juga siap menjadi risk taker dengan persiapan exit strategy kalau gagal supaya tidak rugi secara besar-besaran. Sedangkan, si Karyawan sama sekali gak mau ambil risiko, bahkan menghindarinya. Risk averter!

Dia juga tidak mencoba mencari cara-cara kreatif untuk membuat peluang tadi jadi kenyataan. Menunggu ada SOP-nya..."Kan saya anak buah, kan saya karyawan, kan saya orang gajian...." Dan seterusnya!

Para profesional sering hanya pintar bikin alasan dan defensif kalau ditanyain. Tidak berani menerima challenge. Sedangkan, seorang entrepreneur berani melakukan sesuatu tindakan nyata dengan perhitungan.

Ketiga, sesudah bisa melihat peluang dan menghitung risiko serta mengambil keputusan, masih ada satu lagi yang penting. Yakinkan orang lain, libatkan orang lain, ajak orang lain untuk dapat modal, dapat dukungan, maupun dapat talenta yang bagus.

Seorang profesional yang tidak punya jiwa entrepreneurship tidak berani mengajak orang lain. Takut salah, takut ditolak, dan takut dimarahin orang. Inilah "penyakit" orang yang begitu. Karena itu, banyak pengusaha kecil yang cuma bisa marah-marah pada pemerintah. Minta pelatihan, minta modal, minta bimbingan, bahkan minta bisnis! "Masak saya pengusaha lokal dan kecil tidak (dibantu) memenangkan tender!" Begitu keluhannya.

Seorang entrepeneur sejati -apakah dia sudah jadi pengusaha atau malah tetap jadi karyawan- jarang mengeluh! Tapi, mereka selalu berusaha "menjual idenya" kepada orang lain karena dia yakin bahwa idenya bagus !

Nah, sekarang Anda tahu kan? Ada karyawan yang bermental "pengusaha". Sebaliknya, ada yang sudah mendirikan perusahaan, tapi "berjiwa" karyawan. Anda milih jadi yang mana? Hahaha!

Setelah 20 tahun lebih, saya pikir-pikir apa yang saya "pelajari" dari Ciputra itu pas dengan hasil riset Prof John Kao. Memang Ciputra is the real entrepreneur! Dia adalah inspirator besar saya saat memulai MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990 di Surabaya. (*)

Grow with Character! (14/100) Series by Hermawan Kartajaya

Above the Politics, Pro-active and Self-initiative Target

MAKNA entrepreneurship memang tidak harus selalu diterjemahkan jadi "pengusaha". Bahkan ada suatu riset yang menemukan bahwa orang yang mulai usaha tanpa persiapan yang matang akan gagal. Sudah banyak contohnya. Seorang eksekutif yang hebat dari perusahaan besar.swasta atau multinational bahkan BUMN gagal setelah kerja sendiri. Ketika kerja di suatu perusahaan sebagai professional, seorang eksekutif hanya ngurusin bidangnya. Yang penting, KPI atau Key Performance Index harus diperhatikan. Sebab disitulah dia dinilai, di evaluasi, dipromosi, dan sebagainya.

Biasanya gak peduli pada fungsi lain. Balikan seringkali.saling menjatuhkan untuk "naik" ketangga lebih tinggi yang lebih "menyempit" jalannya.Yang penting bisa mcmanajemeni atas, bawah, dan samping ! Saya sengaja menyebut kata "atas" pertama kali.karena banyak yang eksekutif yang pintar "manage his or her boss" tapi lupa "bawah". Bila perlu diinjak sekalian !

Memanajemcni "tengah" atau "Managing peers" juga sering harus dilakukan untuk mendapat support dari teman-teman selevel. Baru setelah itu, memanajemeni anak buah. Padahal, mestinya yang ke bawah ini yang harus dilakukan dengan baik dulu. Baru ke tengah dan ke atas. Tapi, gerakan "menjilat ke atas" dan "menginjak ke bawah" lali yang sering kejadian.

Kalau bawahan salah.dia laporkan ke atas, sebelum dia disalahkan. Padahal, dia mestinya yang bertanggungjawab. Sedangkan, kalau bawahan bagus.dia yang "take credit" di mata atasan. Pada hal dia harus "melaporkannya" dengan "fair" ke atas.

Itulah sebagaian kecil dari "office politics" di dalam korporasi apa pun. Karena suatu organisasi perusahaan isinya manusia yang punya berbagai "hidden agenda",maka "office pollics" (idak terhindarkan. Yang ada cuma perbedaan kadarnya.

Ada yang kadarnya gede, ada yang kecil.Susahnya kalau seorang eksekutif lebih bertindak sebagai seorang "pemain" daripada seorang "profesional". Kalau sudah begini ya memang susah untuk menumbuhkan enlre-preneurship dalam perusahaan. Pak Ciputra dulu pernah mengatakan pada saya, bahwa setiap pimpinan dari anak perusahaannya ditantang jadi "entrepreneur". Caranya?

Diberi kebebasan untuk melakukan apa saja.asal niatnya baik dan mencapai target! "Anggap aja Anda yang punya perusahaan itu" Ini tentunya tidak mudah,ketika anda hanya biasa jadi "pemain" atau paling banter jadi "profesional". Now you are "above the politics". Anda di atas corporate politics itu. Tidak usah menjilat ke atas lagi.karena tidak ada gunanya. Karena itu,"terpaksa harus" fokus pada "managing your people". Hambatan lain dari seorang ex profesional jadi entrepreneur ialah tidak biasa "terbebas dari situasi". Dalam hal ini.saya suka merefer pada Habit pertamanya Stephen Covey dalam Seven Habit yaitu Pro-Activity !

Banyak orang mengira bahwa Proaktif artinya anda melakukan sesuatu sebelum, kejadian apa apa. Pro aktif bukan.lawan dari reaktif yang "pas". Proaktif lebih punya arti bahwa anda bisa membebaskan diri dari "tekanan" situasi atau lingkungan hidup atau kerja. Seorang Profesional apalagi Pemain tidak berlatih untuk itu. Sedang Entrepreneur bisa mengatasi situasi sejelek apa pun. Sebab dia tahu, bahwa kalan dia tidak "on lop of situation", dia akan habis !

Yang terakhir, yang saya catat adalah "target". Kenapa seorang entrepeneur harus merefer pada target? Karena dia bisa memasang targetnya scndiri.bukan dapat target dari "langit". Sedang seorang profesional sering tertekan dengan target yang dibuat atasan walaupun sudah disetujuinya karena tidak merasa meng inisitifnya!

Jadi.waktu itu. Pak Ci juga mengingatkan saya. Entrepreneurship bukan berarti harus buka usaha sendiri. Anda bisa jadi entrepreneur di sebuah korporasi asal anda bisa dan diberi kesempatan untuk tiga hal. Pertama, bisa menempatkan diri "above corporate politics" Kedua.bisa Pro Active bukan Reactive. Ketiga.bisa menetapkan target sendiri seolah memiliki perusahaan itu sendiri. Silakan mencoba. (*)

Grow with Character! (13/100) Series by Hermawan Kartajaya

Janji Adalah Utang! Karena Itu, Janji Harus Dibayar!

SELAMA saya bekerja di Sampoerna, saya tetap memelihara kontak dengan Pak Ciputra. Setiap ke Jakarta, saya berusaha menemui beliau.

Saya juga mengikuti terus apa yang dipelopori oleh ''sang pelopor'' di industri properti itu. Salah satu pelajaran yang saya tidak bisa lupa adalah pernyataan beliau kepada pelanggan.

Apa itu? ''Janji adalah utang! Karena itu, janji harus dibayar!'' Itu kan pas dengan konsep dasar Customer Satisfaction atau Kepuasan Pelanggan. CS 101!

Ketika orang berpikir bahwa service adalah ''keramahan'' atau ''senyum'', maka kenyataannya bukan begitu. Ada banyak orang yang berpikir bahwa service adalah ASS atau after sales service. Apalagi, di industri otomotif ada istilah ''3S'' (sales, service, and sparepart)!

Kalau sudah begini, arti service itu menjadi ''kecil''. Sebab, divisi sales bertanggung jawab jualan produk. Service untuk ASS, sedangkan sparepart yang menyiapkan suku cadang. Padahal, pengertian service bukan seperti itu.

Menurut riset intensif yang dilakukan Leonard Berry, Valarie Zeithaml, dan Parasuraman, mereka menemukan bahwa elemen terpenting dalam service adalah reliability. Deliver what you have promised! Berikan apa yang Anda sudah janjikan!

Statemen Pak Ciputra ketika itu bahkan lebih keras lagi yang mengatakan bahwa janji adalah utang! Berarti, kalau Anda sudah janji, sudah langsung utang! Padahal, waktu itu, CS masih istilah baru di dunia marketing. Astra yang merupakan the best managed company pun di Indonesia baru mulai belajar konsepnya. Secara umum, orang yang bekerja di industri service sadar duluan tentang CS ini. Simpel saja....

Ya karena sifat industrinya, yang memang tidak membuat produk. Tekanannya pada delivery yang di-consume pada saat yang sama. Karena itu, Astra pun mengirim orang-orangnya ke hotel bintang untuk '''belajar'' service.

Konon, orang bengkel ASS dikirim ke hotel untuk sekadar ngopi. Ketika kembali ke bengkel, mereka lantas ditanya gimana perasaannya. Mereka bilang bahwa mereka diperlakukan dengan ramah. Senyum dan sapa jadi standar baku di hotel.

Tapi, selain itu, yang penting adalah mereka selalu diberi apa yang mereka dijanjikan. Gak pernah, pesan kopi keluar teh. Atau, dijanjikan teh tawar yang keluar teh manis. Atau, teh panas yang keluar es teh. Nah, hal-hal sederhana seperti itulah yang dipakai sebagai contoh untuk dilaksanakan Bengkel Astra. Padahal, yang dijual adalah mobil atau sepeda motor.

Hebat kan?

Balik kepada cerita Pak Ci, sementara pengembang lain waktu itu hanya mikirin bikin produk yang bagus dengan harga yang pas. Maka, Ciputra berani mengatakan bahwa janji adalah utang. Cerita menarik pun beredar.

Misalnya, ketika ada pembeli rumah dari ''sang pelopor'' bocor gentingnya, dibongkarlah seluruh atap! Kalau masih bocor, ya sekalian diganti rumah baru. Edan kan?

Ciputra berani sekali dengan memasang poster-poster besar gambar dirinya dengan memuat tulisan seperti itu! Nah, kalau sudah begitu, konsekuensinya berat! CEO yang berjanji, semua karyawan harus mendukung! Itu penting! Kalau tidak, pernyataan seperti itu hanya menjadi iklan kosong yang bisa backfire!

Jangan janji kalau sudah tau bakal tidak bisa memenuhi. Tapi, kalau sudah kadung janji, ya harus dipenuhi! Kalau bakal tidak bisa bayar, jangan berutang. Tapi, sekali berutang ya bayarlah. Sebab, nama baik jauh lebih penting dan berharga daripada biaya kerugian yang harus diderita. Sekaligus hal itu mengingatkan bahwa utang itu ada bunganya lho.

Artinya? Berusahalah selalu reliable atau memenuhi janji. Sebab, biaya memuaskan orang yang marah karena merasa tidak dipenuhi apa yang dijanjikan menjadi lebih mahal. Itulah bunga dari utang yang harus dibayar! Pada saat ini saja, masih banyak orang hanya enteng janji, tapi tidak bisa melaksanakan. Tapi, Pak Ciputra sudah melaksanakan itu lebih dari 20 tahun lalu!

Itulah ciri-ciri beliau. Bukan sekadar menirukan teori CS dari buku, tapi berani ''memperkeras'' esensinya.

Manfaatnya? Ada tiga! Satu, konsumen merasa terjamin. Dua, karyawan lebih committed kepada janji. Tiga, perusahaan tidak perlu hanya berkompetisi pada produk dan harga. Got it? (*)

Grow with Character (12/100) Series by Hermawan Kartajaya

Memasarkan Diri secara Entrepreneurial

MENYAMBUNG cerita kemarin, seminar Teori Z bersama Pak Ciputra di Surabaya akhirnya sukses. Di dalam se­minar tersebut, Pak Ci menjelaskan bah­wa Teori Z pada dasarnya pas de­ngan situasi Indonesia yang "kekeluar­gaan". Karena itu, Jaya Group, PT Pem­bangunan Jaya khususnya, menerap­kannya dengan maksimal. Tentunya ada modifikasi di sana-sini sesuai de­ngan keadaan.

Memperhatikan gaya bicara Pak Ci, sa­ya belajar bahwa tugas seorang lea­der, antara lain, bisa "menjual" ide-ide­nya. Kalau tidak bisa melakukan itu, dia akan bekerja sendirian. Tidak ada yang mau ngikut. Nah, kalau sudah be­gitu, ya namanya bukan leader. Seorang leader mutlak harus punya follower.

Untuk membuat orang lain "ngikut", ya dia mesti bisa meyakinkan follower-nya bahwa cara yang ditempuhnya benar untuk mencapai tujuan. Apalagi, seorang leader punya kesempatan untuk melihat situasi "dari atas". Karena itu, diharapkan bisa memberikan arahan yang benar.

Pak Ci, dengan gayanya yang khas wak­tu itu, bahkan mengatakan bahwa Teori Z akan membuat sebuah perusaha­an "profesional" bisa bekerja seperti per­usahaan "family". Sebab, diharapkan karyawan lebih punya sense of ownership pada perusahaan. Bukan hanya loyal pada profesi atau fungsinya.

Di situlah saya juga mendengar bagaimana Pak Ci bicara tentang intrapreneurship. Kalau Anda bekerja seba­gai seorang profesional tapi punya ra­sa memiliki yang tinggi, Anda adalah intrapreneur. Selanjutnya, kita sama-sama tahu kan bahwa Pak Ci adalah orang yang terus mendorong semangat entrepreneurship di Indonesia. Be­liau selalu mendorong orang lain punya se­mangat seperti itu.

Terus terang, itulah seminar publik yang membuat saya punya kesempatan bi­cara sepanggung dengan "orang besar" seperti Pak Ci. Tapi, tidak terlalu "de­mam panggung" karena dilakukan di "kandang sendiri", yaitu Surabaya.

Waktu itu, buat saya, Jakarta masih "me­ngerikan". Maklum, orang kampung dari kota keenam di Indonesia sesudah Jakarta Pusat, Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Seminar itu sendiri kemudian menjadi platform saya untuk "memasarkan diri" kepada Pak Ciputra. Selesai seminar, dia bilang terkesan dengan presentasi saya. Dan, Pak Ci selanjutnya minta saya menghubungi beliau di Jakarta.

Nah, semuanya mulai lancar kan? Setelah saya ingat-ingat lagi, ternyata, seminar pertama bersama Pak Ci itu memang bukan waktu saya di Sampoerna, tapi ketika saya masih jadi general manager (GM) marketing PT Panggung Electronic Industries. Dengan demikian, kejadiannya jelas bukan 21 tahun lalu, tapi malah 24 tahun lalu!

Pertemuan kedua saya dengan Pak Ci terjadi sebulan sesudah seminar di kantornya di Jakarta. Akhirnya, saya bertemu muka dengan sekretaris Pak Ciputra yang dulu "membantu" saya via telepon.

Pak Ci mengatakan kepada saya bahwa saya mempunyai bakat entrepreneurship. Sambil makan siang di top floor Jaya Building Jakarta di Jalan Sudirman, saya lantas diceritain macam-macam tentang bisnisnya. Di antaranya, tentang perusahaan-perusahaan hasil kongsi dengan Pak Anthony Salim. Pak Ci bahkan sempat mengatur pertemuan saya de­ngan Pak Anthon (Anthony Salim, Red).

Beberapa kali pertemuan berlangsung dengan Pak Ci untuk mendiskusikan kemungkinan saya menjadi direktur sebuah perusahaan hasil joint venture-nya dengan Pak Anthon. Pada saat yang sama, saya juga menjajaki untuk masuk Sampoerna. Akhirnya, ketika saya lapor kepada beliau bahwa saya pindah ke Sampoerna, Pak Ci sempat ''menyayangkan''. Takut entrepreneurship saya kurang berkembang.

Tapi, akhirnya, ketika saya memutuskan untuk membuka MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990, Pak Ci mengatakan: ''Nah, inilah baru Hermawan Kartajaya yang sebenarnya...Anda pasti sukses!''

Kenapa cerita ini saya review? Sebab, saya belajar dari Ciputra tentang bagaimana ''memasarkan diri" secara entrepreneurial. (el)

Grow with Character! (11/100) Series by Hermawan Kartajaya

Sepuluh Langkah Undang Ciputra

KEMARIN saya sudah berce­rita bahwa saya tertarik untuk me­ngontak Pak Ci karena Teori Z. Tapi, waktu itu saya berpikir bah­wa sangat susah mengontak orang "besar" seperti dia. Karena itu, saya cari akal.

Pertama, saya cari tahu dulu no­mor telepon kantor PT Pembangunan Jaya di Jakarta. Kedua, saya telepon kantor Pak Ci dan mengatakan kepada operator bahwa saya mau bicara pada sekretaris Pak Ci. Dengan mengatakan begitu, saya ingin menghindari "filter" operator. Kalau saya bilang mau bicara pada Pak Ci pun, toh saya akan dihubungkan ke sekretaris Pak Ci. Daripada begitu, ya lebih baik bicara sama sekretarisnya saja sekalian.

Ketiga, begitu tersambung dengan si sekretaris, saya langsung ditanya detail maksud saya untuk bicara dengan Pak Ci.

Waktu itu saya bilang bahwa saya belum mau bicara dengan Pak Ci karena beliau belum kenal saya. Tapi, saya katakan bahwa yang akan saya katakan akan sangat menarik buat Pak Ci. Saya pikir, waktu itu, tidak ada sekretaris yang tidak akan menyampaikan good news kepada bosnya. Benar juga dugaan saya! Si mbak menanyakan apa yang akan saya sampaikan.

Keempat, saya ceritakan bahwa saya mengagumi Pak Ci karena pe­mikirannya. Terutama tentang Teori Z. Saya bilang bahwa saya ingin mengundang beliau untuk ber­bicara tentang hal tersebut di Surabaya!

Saya juga menjelaskan bahwa kebetulan saya adalah seorang Rotarian. Dan, saya yakin bahwa saya bisa meyakinkan teman2 saya di Rotary Club untuk jadi organisernya. Dengan demikian, saya ingin meyakinkan bahwa seminar itu bukan untuk "komersial", tapi untuk "sosial".

Kelima, ini yang juga penting. Saya mengatakan bahwa kayaknya Pak Ci perlu tampil di Surabaya. Sebab, saya dengar beliau sedang mulai proyek properti di Surabaya. Bahkan, saya mengatakan bahwa kalau hal ini diceritakan dengan "baik dan benar", Pak Ci pasti akan senang.

Keenam, saya minta tolong si Mbak untuk menyampaikan good news tersebut kepada bosnya pada saat yang tepat. Pikir saya, kan sekretaris yang paling tahu saat paling tepat untuk menyampaikan suatu hal. Dengan minta tolong begitu, saya juga ingin membuat sang sekretaris jadi merasa penting. Biasanya, seorang sekretaris merasa cuma dijadikan assistant, tapi kali ini mendadak jadi messenger. Kayaknya strategi saya berhasil. Si Mbak berjanji membantu saya, bahkan meminta saya untuk call dua jam kemudian.

Ketujuh, ketika dua jam kemudian saya telepon kembali, si Mbak mengatakan bahwa Pak Ci kayaknya suka pada ide saya. Dan, Pak Ci sudah siap bicara dengan saya tentang hal itu. Wow..

Kedelapan, benar juga! Ketika saya kemudian bicara dengan Pak Ci secara langsung, semuanya jadi lancar... Saya tinggal memperkuat beberapa hal untuk penajaman usul. Waktu itu saya memperkenalkan diri bahwa saya adalah direktur PT HM Sampoerna yang pingin "belajar" dari Ciputra yang sudah sangat senior.

Saya juga bercerita bahwa saya pernah bertemu langsung dengan Profesor William Ouchi, penulis Teori Z. Karena itulah, saya lantas berani menawarkan diri untuk bicara dulu tentang Teori Z-nya. Setelah itu, baru Pak Ci bisa bicara tentang pelaksanaan praktiknya di Jaya Group. Dengan demikian, peserta seminar yang profitnya akan diberikan untuk kas Rotary Club itu akan belajar Teori Z secara lengkap.

Kesembilan, ketika Pak Ci me­ngatakan tertarik, saya langsung me­nyodorkan beberapa tanggal pen­yelenggaraan.

Don't lose the momentum! Langsung saja, saya masih ingat, Pak Ci menanyakan pada sekretarisnya tentang availability dia untuk ke Surabaya. Tentu saja, tanggal-tanggal itu memang "kosong" karena sudah saya rundingkan dengan si Mbak. Terjadilah kesepakatan dalam satu kali pembicaraan telepon! Padahal, Pak Ci belum pernah bertemu muka dengan saya sama sekali..

Kesepuluh, ketika akhirnya beliau datang ke Surabaya, saya menemui Pak Ci di Lapangan Udara Juanda. "Anda Hermawan Kartajaya dari Rotary Club?" "Ya, benar Pak Ci.. kok tahu" tanya saya kembali pada dia. "Saya masih ingat benar dengan suara Anda di telepon.."Your voice is a magic voicem. Saya tidak habis mengerti, bagaimana saya bisa mau datang ke Surabaya diundang oleh orang yang nggak pernah saya temui," ujarnya.

Saya hanya menjawab singkat, "Terima kasih banyak, Pak Ci. Saya benar-benar mau belajar dari Bapak... Selamat datang di Surabaya!"

Itulah sepuluh langkah yang saya lakukan untuk bisa bertemu dan mulai belajar dari Ir Ciputra. Sederhana, tapi menarik untuk diceritakan kembali setelah dua puluh satu tahun kemudian...

Siapa tahu ada pelajaran yang bisa diambil.. (*)

Grow with Character! (10/100) Series by Hermawan Kartajaya

Kenalan dengan Ciputra lewat Teori Z

GURU saya ketiga sebelum mendirikan MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990 di Surabaya adalah Ir Ciputra. Anda pasti tahu Pak Ci kan? Pak Dahlan Iskan pernah mengatakan kepada saya bahwa beliau juga kagum kepada Pak Ci.

Dulu, saya mengenal Pak Ciputra dari media. Saya tertarik pada pemikiran Pak Ci yang berbeda dengan berbagai eksekutif lain. Ketika itu Pak Ci masih menjadi presiden direktur Jaya Group, sebuah perusahaan kepunyaan Pemda DKI Jakarta. Tapi, BUMD yang satu ini memang sudah berbeda dari BUMD lain di Indonesia.

Konon ceritanya, Pak Ci-lah yang sesudah lulus dari ITB lantas "menantang" Pemda DKI untuk "menyulap" Ancol. Rawa-rawa yang dulu disebut tempat membuang jin diimpikan untuk menjadi tempat hiburan terbesar di Asia Tenggara seperti yang sekarang ada.

Rawa-rawa yang dulu boleh dikatakan no price diimpikan jadi high price seperti sekarang. Karena tantangan Pak Ci dianggap menarik, didirikanlah sebuah BUMD khusus untuk melakukan itu.

Akhirnya, proyek Ancol sukses dan berlanjut dengan berbagai proyek properti lain. Karena itu, ketika saya bertemu Pak Ci untuk kali pertama, beliau memang sudah jadi eksekutif besar dari sebuah BUMD besar. Tapi, Ciputra bukan eksekutif biasa, tapi seorang eksekutif yang entrepreneurial.

Inilah yang disebut intrapreneur. Karena itulah, Pak Ci selalu mengajak karyawan Jaya Group punya culture yang tinggi sense of ownership-nya. Nah, suatu ketika saya membaca di media bahwa Pak Ci baru saja bicara tentang Teori Z di suatu seminar di Jakarta. Padahal, saya baru aja bertemu dengan William Ouchi, penulis buku Teori Z, di kampus UCLA.

Dr Ouchi adalah orang Jepang yang menjadi profesor di UCLA dan salah satu mahasiswa S-2nya adalah Nugroho Setyadharma yang sekarang CEO Ranch Market. Sedangkan Nugroho dulu adalah siswa SMAK St Louis Surabaya, tempat saya mengajarkan matematika dan fisika selama 15 tahun. Maka, ketika berkunjung ke California, saya sempat diperkenalkan ke profesornya, ya si William Ouchi ini.

Nah, saya yang bekas bekerja di PT Panggung Electronic Industries dan berhubungan dengan banyak perusahaan Jepang menjadi suka pada Teori Z. Kenapa? Ya, karena teori ini mengonsepkan apa yang disebut manajemen Jepang yang waktu itu sangat terkenal. Teori Z bukan Teori X, juga bukan Teori Y.

Kalau Teori X, dasarnya manusia itu harus diawasi dengan ketat supaya kinerjanya bagus. Kalau tidak diawasi seperti itu, ada anggapan manusia cenderung akan "menyeleweng" dari kewajiban. Sedangkan Teori Y punya asumsi bahwa manusia itu dasarnya baik adanya. Harus dipercaya, supaya performance-nya bagus. Tidak perlu diawasi terlalu ketat dan harus diberi kebebasan supaya bisa berkembang.

Teori Z? Oleh William Ouchi disebut begitu, karena berdasarkan risetnya, perusahaan Jepang bisa berhasil karena tidak menganut keduanya. Manusia tidak perlu dikontrol habis-habisan seperti pada Teori X, tapi juga jangan dibiarkan habis-habisan seperti pada Teori Y.

Di perusahaan Jepang, waktu itu, karyawan yang sudah diterima di suatu perusahaan dianggap anggota keluarga. CEO adalah kepala keluarga yang dihormati semua orang dan biasanya sangat senior. Sedangkan yang junior akan belajar dari para senior supaya bisa menerapkan ilmu yang didapat dari sekolah.

Waktu itu, perusahaan Jepang menerapkan life time employment, di mana karyawan tidak pernah berpikir "keluar" dari perusahaan. Mereka akan bekerja sampai pensiun. Bahkan, beberapa perusahaan menyediakan kuburan bagi karyawannya.

Karyawan dirotasikan terus fungsinya supaya mengenal semua aspek perusahaan, jadi tidak fanatik pada satu fungsi. Seorang karyawan bagian penjualan sering harus masuk di bagian pembelian dulu.

Maksudnya? Supaya tahu "rasa"-nya jadi pembeli yang sering di-"service" penjual. Orang marketing juga harus pernah menjadi orang finance, supaya bisa punya perhitungan sebelum membuang uang. Orang produksi biasanya cinta pada produknya, karena dia yang membuat.

Karena itu, banyak orang di perusahaan Jepang digembleng di pabrik dulu baru ke tempat lain. Orang R & D harus turun pasar supaya tahu apa yang diinginkan pelanggan. Sebelum menjadi pimpinan puncak, biasanya seseorang harus pernah menjadi kepala HRD, supaya bisa memimpin orang.

Teori Z tidak persis seperti itu, tapi lebih luas dari itu. Antara lain menceritakan hubungan "kekeluargaan" antara sebuah perusahaan dengan suppliers dan distributornya.

Nah, karena saya pernah berhubungan dengan perusahaan Jepang secara intensif, saya jadi tertarik pada Teori Z.

Karena itulah, begitu saya baca di suatu media bahwa Ciputra suka pada teori ini, saya pun

Jadi Teori Z lah yang membuat pertama kali saya tertarik menghubungi pak Ciputra. Besok saya akan bercerita bagaimana saya menghubungi beliau. (*)

Grow with Character! (9/100) Series by Hermawan Kartajaya

Helicopter View dan Down to Earth

ANDA pernah coba helikopter? Kelihatan enak di film, tapi kenyataannya bisa sangat beda.Ruangnya kecil biasanya kurang nyaman, tidak seperti di pesawat komersial yang nyaman.

Suaranya bising, tidak tenang seperti pesawat komersial.Untuk bicara harus pakai alat pendengar di telinga.Pasti gak ada cabin crew karena itu gak ada yang melayani.

Selain itu, waktu penerbangan lebih lama karena memang gak bisa terbang cepat.Dan, yang lebih gak enak adalah ''menakutkan'' karena bisa melihat bumi dari atas.Maklum, terbangnya gak terlalu tinggi seperti pesawat komersial. Masih ada lagi!

Getarannya keras karena kecil dan karena itu pula gampang tertiup angin ke kiri dan ke kanan.

Kata orang yang ''ngerti aviasi'', helikopter itu ''lebih bahaya'' daripada pesawat biasa.Paling tidak, itulah semua yang saya rasakan ketika saya naik helikopter. Ketika Putera Sampoerna beli helikopter, kita diajak mencoba satu per satu, waktu itu. Dia khusus bilang kepada saya, ''If you see your market from the sky, it will look differently!'' Karena itu pula, saya jadi lantas sering ''melihat'' pasar dari atas.

Kata Pak Putera seperti melihat Peta. Tapi, yang ini lebih realistis. Ini penting. Apalagi, ketika itu, saya harus menata kembali jalur distribusi. Pembagian wilayah Indonesia harus didasarkan pada regionalisasi. Kepadatan penduduk harus dipertimbangkan untuk memperhitungkan efisiensi logistik. Selain itu, tingkat purchasing power penduduk rata-rata di suatu wilayah juga harus menjadi pertimbangan untuk keperluan efektivitas.

Jumlah pengecer yang ada juga menjadi kunci karena inilah titik-titik availability daripada produk yang tidak boleh terlewatkan. Setelah itu, perlu diperhatikan jalur perdagangan yang ada dengan melihat ketersediaan jalan, kereta api, sungai, dan bahkan kapal terbang.

Nah, kalau Anda berada di helikopter yang sedang melayang di udara, Anda memang tidak bisa melihat semua itu dengan teliti.

Tapi, Anda akan punya kesempatan untuk ''membayangkan'' data yang Anda punyai.

Putera Sampoerna bahkan mengatakan bahwa imagination itu adalah segalanya! Artinya? Itulah dari tujuan yang ingin Anda capai. Dengan melihat suatu are dari atas, akan timbul semangat untuk ''menguasai'' area tersebut. Saya sering menggunakan bendera-bendera kecil GG, Djarum, Bentoel, dan Sampoerna yang ditancapkan di atas peta untuk menggambarkan penguasaan pasar oleh masing-masing brand. Persis seorang jenderal yang mau bikin strategi perang. Dan, peta itu menjadi lebih konkret lagi ketika dibawa naik helikopter yang sedang menyusuri area yang relevan.

Di Sampoerna semua direksi memang harus bisa berpikir seperti itu. Harus punya ''helicopter view'' yang bersifat wide, imaginative dan abstract Wide karena dari atas Anda akan bisa punya bigger picture dari bisnis Anda ketimbang kalau Anda di bawah. Imaginative karena di situlah Anda mendapatkan kesempatan untuk mimpi tentang bisnis Anda.

Abstrak karena suatu strategi yang dibayangkan untuk mencapai suatu tujuan belum menjadi konkret sebelum dilaksanakan. Tapi, apakah itu cukup?

Pasti tidak! Pak Putera paling tidak suka kalau orang Sampoerna tidak ''membumi''. Karena itu, saya jadi suka sidak ke lapangan. Direksi yang hanya bisa bikin strategi, tapi gak tau lapangan gak ada gunanya. Karena itu juga harus bisa down to earth yang sifatnya detail, realistic dan concrete.

Detail artinya tidak boleh cuma global. Semua data global mesti diurai sampai detail. Realistis artinya bukan sekadar imajinasi yang gak ada juntrungannya.

Dan, konkrie maksudnya harus ada rencana yang nyata. Ingat bahwa semua kelihatan indah dari atas dan gampang dicapai, tapi menjadi tidak mudah ketika menghadapi kenyataan. The devil is always on the detail! Karena itu, sampai ada buku Execution yang cukup laris karena penulisnya menemukan bahwa banyak kegagalan bukan disebabkan oleh salah strategi. Tapi, gagal dalam pelaksanaan.

Kesimpulan akhir?

Harus seimbang! Harus ada balance di antara keduanya. Inilah serangkaian pelajaran dari ''magang'' saya di Universitas Sampoerna. Besok saya akan bercerita tentang guru saya yang ketiga sesudah Dahlan Iskan dan Putera Sampoerna, sebelum mendirikan MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990 di Suarabaya.(*)

Grow with Character! (8/100) Series by Hermawan Kartajaya

Dari Qustion Mark Jadi Cash Cow

SAMBIL menata distribusi dan membangun corporate brand, ketika itu Putera Sampoerna menyiapkan produk baru. Benar-benar baru! Karena dia percaya, tanpa produk baru yang bisa mendampingi Dji Sam Soe, Sampoerna tidak akan bisa naik peringkat. Bukankah di BCG Matrix, juga digambarkan bahwa ada empat macam produk dalam portofolio suatu perusahaan. Dji Sam Soe jelas cash cow, bahkan solid cash cow.

Dengan margin yang begitu tinggi berkat loyalitas pelanggan, bahkan sampai sekarang, sudah seharusnya profit dipakai untuk mengembangkan produk baru. Takutnya, sejalan dengan model product life cycle, pada suatu ketika Dji Sam Soe pun akan jadi "dog". Masih menghasilkan margin tapi sudah semakin menurun.

Pada saat ini, Anda melihat usaha mati-matian untuk mempertahankan Dji Sam Soe sebagai the real kretek dengan membungkus batangnya satu-satu supaya kualitas produk "tetap fresh". Dji Sam Soe Premium adalah suatu upaya mengembalikan produk ini jadi "star" kembali di segmen loyal customernya. Seperti Mercy yang membuat model S Class. Sedangkan Dji Sam Soe filter kayaknya dipakai menahan supaya brand legendaris ini tidak cepat jadi "dog".

Berharap ada segmen baru yang tercipta. Yaitu, loyalis Dji Sam Soe "asli" yang mulai "khawatir" akan tar dan nikotin yang ketinggian. Atau perokok brand lain yang mau "naik kelas", tapi belum berani langsung ke Dji Sam Soe.

Lihat saja, Mercy juga meluncurkan berbagai variasi produk sporty untuk memperluas segmen, sehingga bisa menampung segmen baru. Yaitu, orang yang sudah punya banyak Mercy Klasik, tapi mau punya produk lain untuk special occasion. Atau bisa beli untuk anaknya yang masih lebih muda usia yang mau kelihatan tua. Atau bahkan untuk orang yang mau "naik kelas" pula.

Tapi masalah tidak akan selesai, kalau Anda hanya "berkutat" di Cash Cow, Dog dan Star! Situasi persaingan yang berubah karena adanya teknologi baru dan perubahan perilaku konsumen akan "membunuh" sebuah perusahaan kalau tidak ada produk question mark! Namanya saja sudah begitu, artinya tidak ada jaminan produk baru itu akan jadi "star" untuk selanjutnya jadi cash cow.

Definisi produk baru itu sendiri memang ranging dari product repackaging di tingkat yang paling gampang sampai new to the world yang paling berisiko. Semuanya tentu saja question mark karena tidak ada jaminan akan sukses. Dalam hal ini, Putera Sampoerna memutuskan untuk mengambil risiko yang paling besar. New to the World!

Itulah dasar pemikiran dari pengembangan produk baru A-Mild! Teknologi yang ketika itu sangat baru bagi Indonesia dipakai. Harus tetap kretek, tapi dengan low tar low nicotine. Harus kretek karena tidak boleh mengubah karakter Sampoerna yang asli Indonesia. Tapi, harus breakthrough dengan teknologi tinggi. Bukan cuma sekadar harus jadi rokok yang "paling tidak berbahaya untuk kesehatan", tapi juga harus jadi "life style" baru.

Ketika itu, pada akhir dekade delapan puluhan, para perokok seolah terpolarisasi menjadi dua. Di ujung kiri yang "ekstrem perokok" adalah para penggemar Dji Sam Soe yang bahkan sangat "percaya" pada tulisan yang ada di bungkusnya. Apa itu? Kalau Anda batuk dan isep ini rokok, maka batuk Anda akan sembuh... Begitu kira-kira bunyinya... Bahkan, ada yang bilang Dji Sam Soe itu "rokok herbal" jadi memang menyembuhkan... Hebat ya...

Namun, di ujung kanan yang juga "ekstrem" yaitu smokers who don't know how to smoke. Hanya untuk "bergaya" atau ikut "arus". Waktu itu disebut sebagai "lifestyle segment". Di dalamnya termasuk wanita urban dan modern yang kepingin looks chic.

Mereka suka rokok yang ringan, tidak bikin batuk, lebih kecil tapi lebih panjang, aromanya enak dan bungkusnya tidak "kampungan". Di segmen ini, semuanya pakai filter dan rajanya ketika itu Marlboro.Walaupun tidak pernah bisa besar di Indonesia, brand dunia ini banyak memberi "inspirasi" pada anak muda, eksekutif dan wanita ketika itu.

Di tengah-tengah kedua ekstrem itu adalah pasar yang paling besar, yaitu rokok kretek filter. Jagonya tentu saja, waktu itu GG Surya dan International serta Djarum Super. Sampoerna memutuskan tidak "masuk" pasar tengah yang besar tapi kompetitif, tapi justru masuk pasar "niche" di kanan! Kan Dji Sam Soe sudah di kiri.

Nekat memang, tapi itulah visi seorang entreperenur sejati Pak Putera. Rokoknya inovatif, nasionalis karena tetap kretek. Targetnya waktu itu bisa menggeser Marlboro yang rokok putih berfilter. Sedangkan "A" adalah salah satu family brand yang sudah dipunyai Sampoerna waktu itu. Ada produk yang disebut Sampoerna A yang tidak sesukses Dji Sam Soe.

Putera Sampoerna ketika itu minta supaya ada upaya keras supaya para eksekutif dan anak muda tidak malu menunjukkan A Mild. Harus bangga!

Waktu diluncurkan pertama kali, A Mild dianggap "rokok banci". Kretek yang tidak terasa kreteknya. Kampanye pertama juga gak terlalu berhasil, karena pesan yang ingin disampaikan tidak jelas. Rokok masa depan yang merupakan konsep pertama memang kurang dimengerti orang. Tapi, begitu iklan "Low Tar Low Nicotine" mulai keluar, orang jadi mulai mengerti.

Anak muda dan eksekutif modern yang lebih "sadar kesehatan" langsung menerima produk baru itu. Dan ketika Djarum mulai masuk pasar, setelah beberapa tahun, Sampoerna menantang dengan kampanye "How Low Can You Go?"

Produk selanjutnya dikembangkan dengan A Mild Menthol yang ada nuansa hijau, khusus untuk wanita. Karena segmen ini mengalami growth yang besar, terutama sebagai lifestyle smoker. Itu semua juga masih tetap konsisten dengan Corporate Branding Sampoerna: Rokok Tembakau,bukan Rokok Saus!

Ketika saya mulai mendirikan MarkPlus Professional Service di Surabaya 1 Mei 1990, A Mild masih sedang berjuang menemukan jati dirinya. Tapi, saya memang percaya penuh bahwa Question Mark Product ini akan jadi star dan akhirnya cash cow kedua mendampingi Dji Sam Soe. (*)

Grow with Character! (7/100) Series by Hermawan Kartajaya

Masih Ingat Marching Band Sampoerna?

KHUSUS tentang yang satu ini, saya punya catatan tersendiri. Ketika itu, lebih dari dua puluh tahun lalu, semua orang di Sampoerna dibikin bingung dengan ide tersebut. Hah...? Perusahaan rokok kretek nomor empat bikin Marching Band? Ini ide kelewat "edan" kan? Tidak terpikirkan dan terbayangkan oleh semua orang ketika Pak Putera mem-brief tentang hal itu. Jumlah pemain harus 234 orang! Dji Sam Soe kan?

Semuanya harus karyawan pelinting rokok! Padahal waktu itu yang paling terkenal adalah Drum Band AAL di Surabaya. Akademi Angkatan Laut, yang pemainnya para kadet. Gagah, muda dan cekatan. Kalau di Jakarta, yang terkenal, waktu itu Drum Band Tarakanita. Yang main cewek ayu-ayu dan masih muda juga.

Jadi, ketika itu kami semua bingung dan nggak bisa membayangkan bagaimana para pelinting rokok yang tradisional itu bisa di-"transformasi" menjadi pemain Marching Band. Tapi kenyataannya bisa!

Para pelatih dari Amerika didampingi asisten mereka yang orang Indonesia ternyata bisa mendisiplinkan mereka. Latihannya harus sesudah jam kerja, tentunya dengan uang lembur.

Karyawan sebuah pabrik rokok yang biasanya dibayar berdasarkan kuantitas batang rokok yang dilinting, malah dibayar lembur untuk sekadar latihan baris-berbaris dan main musik! Sudah keluar dari "pakem", kata orang! Selain itu, juga diundanglah para penata tari kelas satu dari Indonesia untuk mempersiapkan "float" Indonesia

Di Pasadena, sebuah kota kecil di California, setiap tahun memang ada Rose Bowl pada 1 Januari. Pada hari tahun baru itu, ada "grand final" football Amerika di antara dua tim yang selalu ditunggu-tunggu orang. Karena itu, wali kotanya juga sekalian membuat yang namanya Rose Parade. Sebuah parade tahunan yang diikuti banyak tim Marching Band beserta Float-nya!

Float itu, mobil berjalan yang berada di belakang Marching Band, biasanya menampilkan berbagai atraksi. Sebagian besar peserta Rose Parade adalah tim lokal. Waktu itu, Sampoerna keluar dengan Float dan Marching Band Indonesia bersama beberapa peserta internasional lain. Karena itulah, beberapa orang penata tari direkrut untuk mengajari beberapa pelinting untuk jadi penari!

Untuk mendapatkan "tiket" Rose Parade, tentu Sampoerna mesti kerja keras. Melobi penyelenggara, melobi Deplu juga. Supaya bisa "mewakili" Indonesia. Sebuah pekerjaan yang amat rumit, melelahkan, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan promosi rokok!

Sementara GG, Djarum, dan Bentoel sibuk bersaing dalam periklanan konvensional, Sampoerna justru keluar Satu Juta Dolar Amerika untuk membentuk Marching Band pelinting rokok! Kemudian, masih diperlukan satu juta USD lagi untuk "memberangkatkan" rombongan tersebut ke Amerika.

Selain main di Rose Bowl, Marching Band ini juga masuk Disneyland di Annaheim dan beberapa tempat lain di California. Karena itu, ada tim tersendiri untuk mengatasi "cultural shock" para pelinting rokok itu.

Di Rose Parade, tim Sampoerna Indonesia mendapatkan salah satu Award. Bisa memang bagus, bisa juga karena diplomatis. Tapi yang jelas, saya terkagum-kagum melihat para pelinting rokok Sampoerna pakai rok mini, stocking, pakai topi, dan main drum band.

Wali Kota Los Angeles Tom Bradley sangat berterima kasih atas keikutsertaan Indonesia untuk kali pertama, karena itu sempat men-declare tanggal 30 Desember 1989 sebagai Indonesia Day.

Saya ikut acara itu di City Hall, termasuk pengibaran bendera merah putih. Setelah pulang dari Amerika, Marching Band dimainkan di beberapa kota Indonesia. Bukan cuma Surabaya, tapi juga Jakarta, Bandung, dan lain-lain.Uniknya, Marching Band ini juga main di kota kompetitor seperti Kediri, Kudus, dan Malang!

Lantas apa maksud semua ini? Bagaimana perhitungan Return of Investment-nya? Pemberitaan besar-besaran oleh media di Indonesia luar biasa! Saya pun ikut menulis "pandangan mata" tiap hari dari California ke Jawa Pos saban hari selama dua minggu.

Rakyat Indonesia pun ikut bangga dan merasa bersyukur pada Sampoerna. Sebuah Corporate Brand yang tadinya jauh kalah populer dari Product Brand Dji Sam Soe menjadi langsung mencuat awareness-nya.

Bukan cuma itu. Corporate Brand "association" pun langsung terbentuk secara positif sebagai sebuah perusahaan yang nasionalis. Apalagi, kebetulan kretek kan memang "lambang" Indonesia. Itu karena cengkih adanya paling banyak ya di Indonesia. Kan orang Marketing mesti pintar main "ilmu gathuk"?

Belakangan, kami semua yang di Sampoerna baru "ngeh" bahwa inilah cara efektif untuk membangun sebuah Corporate Brand. Tapi, kenapa itu perlu? Ya, karena Sampoerna punya rencana go public!

Waktu Gudang Garam sebagai market leader go public sebelum Sampoerna, sahamnya laku keras. Itu disebabkan, investor percaya akan keperkasaan Gudang Garam sebagai pemimpin pasar dalam menciptakan profit jangka panjang.

Apalagi, kebetulan nama corporate dan produc- nya sama. Waktu itu Pak Putera mengatakan pada saya, "Sampoerna is a good name. It means 'perfect'. It is the best compared to our competitors. Unfortunately, nobody knew it!" Sedangkan Dji Sam Soe yang sudah sangat terkenal nggak bisa di "jual" sebagai Corporate Brand. Karena itu, tidak ada jalan lain, kecuali membuat Sampoerna yang kebetulan juga terdiri atas sembilan ( 2+3+4=9 ) huruf dibikin terkenal!

Namun, orang tidak otomatis akan membeli saham Sampoerna, seperti Gudang Garam, karena jumlah produk yang dijual baru peringkat keempat. Karena situasinya beda dan sangat "disadvantage" untuk Sampoerna, harus ada cara yang superkreatif!

Waktu itu penjualan produk-produk Sampoerna juga naik, walaupun tidak signifikan, ketika berita Marching Band ke mana-mana. Jadi, Marching Band ini bisa kena kepada tiga stakeholder utama Sampoerna, yaitu: people (pelinting), customer (pelanggan), dan investor (pembeli saham IPO ).

Super Kreatif, Super Smart dan Super Efektif.

Kenapa?

Sebab, belum tentu dengan keluar biaya yang sama, dua juta USD, Sampoerna bisa mencapai hasil seperti itu dengan cara komunikasi yang konvensional. Ini semua saya ingat-ingat ketika saya akan mulai MarkPlus Professional Service di Surabaya pada 1 Mei 1990. (*)

Grow with Character ( 6/100) Series by Hermawan Kartajaya

ACT AS A LEADER, EVEN YOU ARE NOT A MARKET LEADER !

MASIH banyak pelajaran tercecer walaupun saya hanya bekerja di Sampoerna kurang lebih dua setengah tahun. Kali ini saya akan bercerita tentang pelajaran yang makin memantapkan saya untuk mulai MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990.

Dari tulisan kemarin,makna terbesar yang saya dapat adalah "leadership". Act as a Leader evenyou are not a Market Leader...

Apa sih yang membedakan Leader dengan Manager?

Ada banyak definisi tentang Leadership,tapi favorit saya adalah yang dari Kouzes dan Posner. Model Kepemimpinan yang pernah dipakai IBM waktu krisis itu adalah Change,Dream,Empower,Model,Love. Artinya,seorang pemimpin harus berani melakukan perubahan ( dream ) terhadap situasi yang ada.

Sampoerna walaupun bukan yang nomer satu,waktu itu berani melakukan sesuatu yang beda dalam banyak hal dari yang biasa terjadi di industri. Jalur distribusi dari keagenan jadi branch management.

Iklan pakai animasi, padahal waktu itu industri pakai "talents" muda, ganteng, dan berani di iklan. Begitu juga dengan me "reframe" cara melihat orang terhadap apa yang terjadi.

Keberanian merubah seperti ini hanya ada pada seorang Leader bukan Manager yang biasanya hanya "meneruskan" apa yang sudah berjalan. Setiap Change pasti menimbulkan "resistant" di dalam maupun di luar organisasi.

Saya masih ingat waktu,Putera Sampoerna keluar dengan ide ide gilanya,semuaorang dalam jadi "bingung". Tapi semua nurut,karena "he is our big boss !"

Selain Change,seorang Pemimpin juga bisa punya mimpi ( dream )Putera Sampoerna ,waktu itu,tinggal di dalam pabrik karena itu bisa "eat,sleep, and dream" with the business. Kalau anda gak "ngeloni" bisnis anda, mana bisa punya mimpi. Itu kata kata sakral pak Putera yang tidak bisa saya lupakan sampai sekarang.

You must have a passion,so you will have a dream.

Seolah anda menggambar sebuah sketsa di langit tentang apa yang Anda ingin capai !

Seorang manajer hanya bisa melihat persoalan hari ini,tapi susah membayangkan sesuatu yang akan dicapai di kemudian hari.

Saya sangat terkesan akan "passion" dan "imagination" yang ada di Putera,karena itu lagu "imagine" dari John Lennon adalah lagu terbesar untuk saya. Saya bahkan "mbelani" naik kereta tiga jam dari London ke Liverpool hanya untuk melihat Beatles Museum. Dan rasa capai saya terobati,ketika melihat piano putih asli disana,yang dipakai John Lennon untuk menyanyikan lagu itu.

Sampoerna bukan market leader waktu itu, tapi berani mimpi besar ! Selanjutnya seorang pemimpin berani memberdayakan ( baca : empower ) orang lain,karena dia sadar gak bisa melakukan segala sesuatu sendirian. Seorang pemimpin percaya diri. Tidak takut memberdayakan orang lain,termasuk anak buah. Tidak takut akan "kalah" dari orang lain.

Seorang pemimpin bukan cuma melakukan "delegation of authority" seperti yang dilakukan seorang manajer. Tapi malah mendorong orang lain termasuk bawahan untuk berkreasi. " I pay you for your creativity,not only for routine work". Saya sangat ingat kata kata bekas bos saya itu.

Karena itu,pak Putera tidak suka orang yang cuma jadi "yes man". Dia siap dibantah dan siap dicounter, kalau sedang membahas ide gila. Tapi dia tidak suka kalau bantahan itu cuma didasari sifat "resistant" atau gak mau berubah. Semuanya harus didasari pada "penguasaan" masalah termasuk data,info,pengetahuan, termasuk rumor !

Itulah arti "empowerment" sebenarnya.

Seorang manajer akan ketakutan kalau anak buahnya punya data dan informasi bahkan "lebih pintar" dari dia. Sampoerna, walaupun masih nomer empat waktu itu, berani meng "empower" industri rokok.

Dengan membuat para "pengelinting rokok" jadi pemain marching band dan dikirim ke Disney Land, Sampoerna ingin menunjukkan bahwa "orang kecil" pun bisa melakukannya ketika diberi kesempatan.

Bayangkan, ibu-ibu yang sudah berjasa buat Sampoerna berpuluh tahun dilatih nabuh drumband oleh pelatih pelatih dari Amerika. Bahkan,naik kapal terbang dan keluar negeri pun belum pernah.

Sehingga,waktu pakai sabuk pengaman ketika pesawat charter mau terbang dari Juanda,hampir semuanya menangis terharu. Saya gantian menangis terharu ketika melihat mereka berbaris gagah membawa float Indonesia di Pasadena,tanggal 1 Januari 1989 !

Betapa dahsyatnya "empowerment" !

Yang keempat adalah Model. Artinya, pemimpin berani jadi contoh untuk yang lain. Bukan cuma bisa ngomong thok ! Sedang seorang manajer sering kali cuma pintar pidato atau bikin slogan, tapi bukan contoh yang baik. Akibatnya,anak buah tidak percaya. Cuma takut karena kalah "authority"

Putera Sampoerna minta semua orang jadi kreatif,tapi dia sendiri "super kreatif". Ide nya seolah gak pernah habis. Seringkali,dia gak tidur semalaman,mengembangkan suatu ide yang "baru ketemu". Takut lupa dan hilang, katanya.

Saya juga sempat ditelepon pukul dua pagi untuk diajak diskusi. Bos masih mikir, direktur pules ! Walaupun Sampoerna bukan yang terbesar, ketika itu, tapi terus jadi model untuk yang lain ! Di benchmark kiri kanan !

Seorang Leader,berbeda dengan Manajer. Tidak takut ditiru bahkan pingin ditiru ! Begitu ditiru atau diikuti orang,berarti dia sudah menunujukkan jalan yang benar !

Terakhir adalah Cinta atau Love. Love to what you do and do what you love ! Syarat ini mutlak bagi seorang Leader. Kemauan untuk melakukan empat hal sebelumnya yaitu Change, Dream, Empower, dan Model memang harus didasari kecintaan pada apa yang sedang dikerjakan. Bukan hanya karena memang sekedar melakukan hal itu seperti seorang manajer. Hati juga harus banyak digunakan ketika berhadapan dengan orang lain,termasuk anak buah.

Kenapa? Karena,hanya seorang manajer yang punya "sub-ordinate" dalam hubungan atas bawah yang vertikal. Sedangkan seorang Leader hanya punya Follower yang secara "suka rela" mengikuti. Mencintai orang lain berarti berusaha melakukan keempat hal sebelumnya supaya orang itu tertransform jadi orang yang lebih baik. Itulah yang dinamai "transformational lesdership".

Nah pelajaran tentang Leadership inilah yang makin memberanikan diri untuk mulai mendirikan Lembaga Konsultan Pemasaran pertama di Indonesia pada 1 Mei 1990.(*)

Grow with Character (5/100) Series by Hermawan Kartajaya

Kami Memang Beda!

ADA yang masih ingat slogan ini? Kalau Anda sekarang sudah berusia kepala empat, barangkali masih ingat "kami memang beda" ini. Ini benar-benar ide asli Putera Sampoerna yang cemerlang! Itulah strategi Sampoerna yang waktu itu baru berada di peringkat empat di bawah Gudang Garam, Djarum, dan Bentoel.

Dengan menggunakan statement seperti itu, Sampoerna ingin mengata­kan bahwa produk-produk yang dibuat (Sampoerna) adalah "rokok tem­bakau". Sementara itu, yang lain "ro­kok saus"!

Pada suatu hari Pak Putera memanggil saya untuk brainstorm tentang hal ini. Keputusan diskusi adalah membuat ribuan kartu pos yang menggambarkan sebuah pohon penuh cabang. Berbagai cabang itu lantas diberi nama masing-masing. Ada yang dinamai rokok putih, cerutu, kelinting, dan rokok kretek. Yang rokok putih bercabang dua lagi, yaitu filter dan nonfilter. Sedangkan yang rokok kretek bercabang menjadi rokok "tembakau" dan rokok "saus".

Dengan gambaran seperti itu, Putera Sampoerna ingin me-reframe cara melihat para perokok. Yakni, supaya para perokok jadi "sadar" bahwa Dji Sam Soe dan produk lain dari Sampoerna itu "padat tembakau". Sausnya tipis....

Konsekuensinya? Sampoerna harus punya suplai tembakau kualitas yang sta­bil. Sedangkan rokok lain yang me­ngandalkan saus, masih punya toleransi akan variasi kualitas tembakaunya. Soal kualitas bisa "diratakan" oleh saus. Dan itu sesuai dengan tulis­an yang ada di pembungkus Dji Sam Soe. "Rokok ini terbuat dari tembakau dengan kualitas tinggi", begitu kira-kira bunyinya.

Kartu pos dengan gambar pohon yang berjumlah ribuan itu saya sebarkan lewat semua "orang lapangan" yang biasa melakukan canvassing ke toko-toko penyalur. Pak Putera bilang kepada saya bahwa dia puas walaupun hanya sepuluh persen dari orang yang membaca kartu pos itu yang percaya.

Logis! Lha wong iklan biasa pun sering tidak dipercaya orang. Hitung-hitung, inilah komunikasi "kreatif" di zaman itu. Apalagi, di kartu pos itu lantas dikasih tulisan besar: Kami Memang Beda!

Perbedaan dalam bentuk kreativitas ini berlanjut. Lihat saja bagaimana Sampoerna merupakan perusahaan pertama yang menggunakan animasi kartun. Kenapa? Kata Pak Putera, dengan kartun kita bisa menyampaikan message apa pun dengan menarik. Misalnya, pada waktu iklan A-Mild "How Low Can You Go?" Animasi kartun dipakai untuk menggambarkan lomba "limbo" dan A-Mild keluar sebagai "pemenang".

Pelajarannya? Sudah nomor empat, ya jangan cuma meniru cara-cara yang dilakukan market leader. Kampanye "Kami Memang Beda" ini akhirnya terkenal ke mana-mana, sehingga orang menjadi "mengakui".

Sampoerna memang bukan terbesar, tapi "beda".

Jadi, kalau mengacu pada Michael Porter yang mengatakan ada dua strategi besar untuk memenangkan persaingan, yaitu: cost leadership dan differentiation, Sampoerna memilih yang kedua!

Ucapan Putera Sampoerna yang akhirnya "masuk" ke saya adalah: "It is better to be a little bit different, than to be a little bit better!"

Benar kan?

Kalau Anda hanya berbeda sedikit dari kompetitor, apalagi kalau kompetitor jauh lebih besar, Anda tidak akan dipercaya orang.

Tapi, kalau Anda memang BEDA dan bisa membuat orang menjadi "sadar" dan menyukai perbedaan itu, Anda akan menang. Punya peluang dapat harga lebih bagus. Kalau tidak ada yang beda, ya harus melakukan price war.

Inilah pelajaran terbesar yang saya dapat dari Putera Sampoerna yang akhirnya memberikan inspirasi pada model utama marketing saya.

Hebat kan? (*)

Grow with Character! (4/100) Series by Hermawan Kartajaya

Marketing Mix Is Nothing without Peddling

Pada suatu hari di Sampoerna, saya dipanggil Pak Putera ke kamar kerjanya. Hari itu saya diberi tugas menjelaskan konsep marketing menurut ''buku teks''. Jadi, seharian itu saya tidak perlu bekerja, tapi harus mengajar bos.

Itulah ''kelas marketing'' paling mahal yang juga paling saya ingat. Can you imagine?

Dengan berhati-hati, saya mencoba menjelaskan konsep yang saya tahu dari bukunya Philip Kotler. Sebab, itulah satu-satunya referensi saya waktu itu. Waktu itu, saya juga belum punya model sendiri yang simple dan gampang dimengerti.

Tapi, saya sangat tahu bahwa big boss saya adalah orang yang genius dan tidak sabaran. Jadi, saya harus tahu memilih bagian-bagian yang menarik dari buku teks Kotler untuk kemudian saya gambar dan jelasin di white board.

Saya masih ingat, ketika itu saya mulai dengan membedakan antara konsep production-oriented, product-oriented, dan marketing-oriented.

Yang pertama mengutamakan fungsi produksi atau operasi. Dengan demikian, efisiensi dan kualitas jadi yang utama. Tentu saja dengan harapan bahwa suatu barang atau jasa yang ''dibuat'' secara efisien dengan kualitas yang baik akan terjual dengan sen­dirinya.

Yang kedua mengutamakan pada produknya. Bukan cuma kualitas, tapi juga inovasi pada pengembangan produk baru yang jadi fokus. Asumsinya, produk dan jasa terbaik akan mudah dijual.

Sedangkan di perusahaan yang marketing-oriented, titik berat pada need and want customer harus diketahui lebih dulu. Baru setelah itu disediakanlah produk yang memenuhi kebutuhan dan kemauan pelanggan supaya gampang dijual.

Setelah itu, saya masuk ke segmentation dan targeting. Artinya, sebuah perusahaan yang marketing-oriented haruslah pintar memilih segmen yang mau dimasukin. Karena itu, disinilah mulai masuk pertimbangan besarnya pasar, profitabilitas dan daya saing kita terhadap pesaing. Baru setelah itu, saya melanjutkan lagi ke pengertian positioning yang waktu itu ''baru'' populer.

Al Ries dan Jack Trout yang belakangan menjadi teman saya adalah dua orang yang memopulerkan terminologi itu untuk kali pertama. Terus terang, saya belajar marketing kali pertama memang dari buku teksnya Philip Kotler yang lengkap. Saya suka karena komprehensif.

Tapi, saya jadi antusias pada marketing setelah baca buku-bukunya Al Ries dan Jack Trout yang buku legendaris mereka adalah Positioning: The Battle of Your Mind!

Sampai di sini, Pak Putera terlihat senang dan banyak mencatat. Perasaan saya dari deg-degan jadi agak seneng juga.

Terakhir, bahan yang saya jelaskan barulah Marketing Mix atau Empat P. Ternyata, Pak Putera paling suka pada bagian ini. Yaitu, ketika saya menjelaskan bahwa produk yang benar paling penting, karena itu jadi P yang pertama. Baru setelah itu, produk tersebut harus dihargai dengan benar pula.

Karena itu, price jadi elemen kedua di Marketing Mix. Setelah itu, barulah produk yang sudah ditetapkan price-nya tersebut disalurkan melalui place yang pas juga. Dan akhirnya barulah dilakukan promosi.

Saya tahu, Pak Putera adalah orang yang konseptual. Karena itu, dia suka pada konsep yang logic seperti itu. Tentu saja, waktu menjelaskan hal-hal itu, saya selalu me-refer pada kasus-kasus di industri rokok.

Waktu itu, Sampoerna baru pemain nomor empat. Setelah Gudang Garam, Djarum, dan Bentoel. Sampoerna bisa bertahan di nomor empat karena punya Dji Sam Soe yang memiliki segmen perokok sangat loyal. Positioning-nya juga sangat kuat sebagai the ultimate smoking pleasure.

Bahkan, Pak Putera pernah menyatakan bahwa dirinya berharap inilah rokok terakhir di Indonesia, ketika pada suatu ketika rokok sudah benar-benar dilarang! Selain itu, Marketing Mix Dji Sam Soe yang mahal tersebut solid.

Sore itu, saya senang karena terkesan Pak Putera suka pada yang saya jelasin. Saya pulang ke rumah dengan senyum-senyum. Sebab, itulah pengalaman luar biasa yang mungkin tidak akan terulang.

Tapi, malamnya, kira-kira pukul sebelas malam, saya ditelepon. Terus terang, setiap kali ditelepon Pak Putera, saya waswas karena pertanyaannya selalu tajam.

Namun, malam itu Pak Putera tidak bertanya apa-apa, kecuali memberi komentar terhadap konsep marketing yang saya jelaskan paginya.

''I agree with everything you said, except one thing.''

Ketika saya tanya yang mana?

Marketing Mix!

Ada satu P yang terlupakan, yang seharusnya jadi P kelima, yaitu PEDDLING!

''Marketing Mix is nothing without selling!''

Karena bahasa Inggris saya kurang bagus, Pak Putera menjelaskan arti kata itu. Yaitu, ''menjajakan'' barang ke mana-mana.

Dia bilang, tanpa ada yang menjajakan sebuah produk yang empat P-nya sudah benar, akan sia-sia. Dan itu memang sejalan dengan perubahan sistem distribusi ke agenan jadi branch management.

Agen yang sudah kaya belum tentu mau aktif ''menjajakan'', sedangkan sebuah kantor cabang memang wajib melakukan itu!

Dari komentar Pak Putera itu, saya belajar tiga hal. Satu, ikuti dulu konsep yang sudah ada supaya mengerti basic-nya. Kedua, selalu berpikir ''kritis'' terhadap sesuatu yang sudah mapan. Ketiga, kreatif tapi tidak mengada-ada.

Karena itu pula, setelah beberapa tahun kemudian ketika mulai menulis konsep sembilan elemen, saya mencoba ingat itu semua.

Kalau STP (segmentation, targeting, positioning) adalah tiga elemen strategi, saya letakkan selling (pengganti peddling) menjadi satu kelompok dengan Marketing Mix di Taktik. Digabung dengan differentiation, Marketing Mix dan selling itu saya kelompokkan jadi DMS atau Taktik!

Pelajaran terbesar dari Putera Sampoerna tentang differentiation saya ungkapkan besok. (*)

Grow with Character! (3/100) Series by Hermawan Kartajaya

Magang di Universitas Sampoerna

GURU kedua saya sebelum membuka MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990 adalah Putera Sampoerna. Itulah perusahaan terakhir saya sebelum MarkPlus.

Bagi saya, Sampoerna juga sebuah Universitas tempat saya magang. Misi utama saya selama kurang lebih dua setengah tahun di sana adalah membangun sistem distribusi sendiri.

Pak Putera sangat percaya, walaupun Sampoerna punya produk bagus, kalau distribusinya ''macet'', tidak akan ada gunanya. Padahal, waktu itu produk ''kuat'' Sampoerna hanya satu, yaitu Dji Sam Soe. Produk lain ketika itu hanya bersifat ''regional'', tidak bisa nasional.

Dji Sam Soe memang sangat kuat. Bahkan sampai sekarang pun masih ''sakti''. Nyaris tidak ada brand lain yang bisa masuk ke segmen itu. Dji Sam Soe adalah rokok keretek termahal di Indonesia, bahkan di dunia. Sebab, di luar Indonesia, tidak ada rokok keretek... :)

Tapi, ketika itu Pak Putera berencana me-launch produk baru yang inovatif. Belakangan, kita semua baru tahu bahwa produk tersebut adalah A Mild yang merupakan terobosan pertama dari ''kebuntuan'' inovasi keretek waktu itu. Persis seperti di kasus Jawa Pos kemarin, walaupun produk cukup inovatif, kalau saluran distribusi mampet, ya gak ada gunanya.

Di antara empat P-nya marketing mix, yaitu product, price, place, and promotion, place ini memang paling susah. Biasanya, orang marketing paling suka main price aja karena hasilnya bisa terlihat langsung. Turun harga hari ini, besok volume penjualan naik.

Obat keras! Tapi, bisa berbahaya karena belum tentu memecahkan masalah sebenarnya. Bahkan, kalau terlalu sering dipakai, tidak pada tempatnya, brand image bisa hancur. Kecuali kalau sebuah brand memang diposisikan sebagai low cost atau low price.

Air Asia dan Ikea misalnya, berusaha menurunkan harga barang dengan kualitas yang sama dari waktu ke waktu. Tapi, hal itu menuntut inovasi di bidang proses dan cost. Bukan sekadar banting harga!

Sesudah price, yang sering dipermainkan orang adalah promotion, antara lain, karena ''glamor''. Jadi, ngerjainnya seneng. Juga, seringkali karena terpacu pesaing!

Price war ini adalah dua ''perang pemasaran'' yang sering terjadi karena relatif mudah. Inovasi produk jauh lebih sulit karena menurut statistik 80 persen produk baru gagal karena berbagai alasan.

Karena itu, orang jadi segan melakukannya. Lebih baik nunggu! Tapi, bisa telat lho...

Selain itu, kalau kita tidak pernah mengembangkan produk baru, produk sekuat Dji Sam Soe pun akan ''mati'' pada suatu ketika!

Karena itulah, Putera Sampoerna meminta saya untuk membenahi distribusi. ''Tidak ada gunanya punya produk inovatif kalau macet di distribusi,'' katanya.

Nah, inilah yang paling ''ogah'' dilakukan orang karena banyak pihak yang akan jadi korban, sehingga ''resistansi'' akan tinggi.

Waktu itu, tugas saya mirip di PT Panggung. Mengubah model keagenan jadi model branch management. Dan itu tidak gampang!

Bayangin saja, bagaimana agen-agen Sampoerna yang sudah tiga generasi tiba-tiba diambil alih fungsinya oleh seorang kepala cabang. Mereka memang sudah sangat kaya. Tapi, masalahnya, mereka tidak mau ''kehilangan muka'' di daerah masing-masing. Karena itu, negosiasi harus dijalankan dengan sabar dan pelan-pelan.

Waktu itu, saya membagi wilayah Indonesia jadi 54 area dengan mempertimbangkan, antara lain, market size, jalur logistik, serta banyaknya pedagang rokok besar dan kecil. Semua data dari BPS dicampur files sendiri dianalisis dengan cermat. Selain itu, masih disisakan area yang sulit dijangkau untuk tetap dipegang penyalur khusus.

Nah, di antara 54 area itu, akhirnya ditentukan sembilan region. Angka sembilan memang angka keramat di Sampoerna. Sebab, angka itu memang lambang kesempurnaan. Saya masih ingat, waktu itu semua nomor telepon dan nomor mobil di Sampoerna selalu berjumlah sembilan!

Karena itulah juga, logo MarkPlus Professional Service yang dimulai 1 Mei 1990 tersebut pakai bujur sangkar tiga kali tiga dengan huruf M-A-R-K-E-T-I-N-G. Pas sembilan huruf kan! Angka hokkie!

Penguasaan wilayah oleh orang yang benar-benar mengerti market sangat penting bagi Putera Sampoerna. Tanpa itu, produk seinovatif apa pun yang didorong iklan sehebat apa pun tidak akan sukses. Karena masalah distribusi ini tidak glamor, orang marketing kurang suka membicarakannya. Tapi, justru di situlah kuncinya!

Jadi, banyak orang salah ngerti bahwa Philip Morris mau membeli Sampoerna dengan harga demikian tinggi cuma karena A Mild dan iklan-iklannya yang kreatif. Mereka lupa bahwa sampai sekarang pun Sampoerna kayaknya paling solid dalam distribusi dan penguasaan pasar.

Besok saya masih akan bercerita lagi pelajaran lain yang saya dapatkan selama saya magang di Sampoerna...(*)

Grow with Character! (2/100) Series by Hermawan Kertajaya

Belajar dari Dahlan Iskan

SETELAH hampir dua puluh tahun saya jadi entrepreneur, kayaknya sudah waktunya melakukan confession. Paling tidak, ada tiga orang yang menginspirasi saya, sampai "berani" keluar dari Sampoerna dan membuka MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990.

Pak Dahlan Iskan adalah salah satunya. Tentu saja bukan dari seorang Dahlan Iskan yang sudah terbukti bisa membesarkan Jawa Pos seperti sekarang dan bahkan diangkat pemerintah untuk memimpin PLN seperti sekarang.

Saya justru "belajar" dari Pak Dahlan yang masih sedang struggling mati-matian... Namun, saya sudah "sensing" waktu itu bahwa pada suatu ketika orang ini akan jadi somebody yang hebat. Untuk itu, saya perlu flashback ke belakang sedikit.

Ketika Pak Dahlan mulai dipercaya untuk menjalankan Jawa Pos di Surabaya, saya masih bekerja sebagai general manager marketing PT Panggung Electronic Industries.Tugas saya adalah memasarkan produk produk JVC, TEAC, MAXELL, JBL dan bekangan CASIOTONE. Di situlah saya untuk kali pertama belajar secara "praktik" bagaimana produk-produk elektronik didistribusikan. Di situ pula saya sadar bahwa sebagus apa pun produk dan sekuat apa pun brand yang dijual, akan susah dipasarkan kalau jalur distribusi tidak bagus.

Di PT Panggung yang kompleksnya ada di Waru, saya juga belajar bagaimana orang Jepang mengembangkan manajemen khasnya. Karena itu, saya jadi sering punya kesempatan untuk ke Jepang bolak-balik bersama Pak Kindarto Kohar dan Pak Ali Soebroto, "kulakan" dari berbagai pabrik elektronik tadi.

Nah, ketika itulah, Pak Dahlan sedang gencar-gencarnya membangun kembali Jawa Pos yang waktu itu oplagnya tinggal 6.000 eksemplar. Orang yang tidak punya pendidikan bisnis apa pun, tapi langsung praktik bisnis. Amazing... apalagi posisi sebelumnya, kepala biro majalah Tempo di Surabaya. Jadi murni redaksional!

Dalam membangun Jawa Pos, Pak Dahlan tidak mau ikut "aturan main" koran, yang di Surabaya "diset" oleh Surabaya Post yang koran sore. Pikirannya sederhana saja. Masa Jawa Pos sebagai koran pagi kalah dari koran sore... Tapi, masalahnya, para agen koran di Surabaya sudah tidak ada yang mau bangun subuh karena Jawa Pos tidak laku.

Satu hal fenomenal yang dilakukan Pak Dahlan, sambil membuat koran Jawa Pos menjadi different, tapi juga membuat semua karyawan jadi agen koran. Distribusi! Persis seperti yang saya lakukan di PT Panggung, yaitu menata distribusi kembali. Dari sistem distributorship menjadi branch management.

Dalam membuat Jawa Pos jadi unik, saya masih ingat Pak Dahlan yang masih ngantor di Kembang Jepun itu pernah mengatakan, "Kita jangan niru koran-koran lain yang halaman pertamanya cuma masang gambar Pak Harto tiap hari..." Jadi, waktu Indonesia masih "sangat vertikal", justru Jawa Pos sudah "horizontal". Di antaranya mendatangkan orang gede dari Kalimantan.

Berita tentang orang gede ini pasti "eksklusif" karena Jawa Pos yang "punya" orang itu. Pikiran dan perilaku Pak Dahlan yang dianggap aneh itulah justru yang akhirnya "membesarkan" Jawa Pos.

Pak Dahlan juga tidak segan-segan "minta tolong" kepada saya untuk dapat akses ke PT Panggung supaya bisa melihat World Cup secara langsung dari antena parabola, yang saat itu belum ada yang punya. Dengan demikian, Jawa Pos jadi koran satu-satunya yang bisa menceritakan gol-gol indah World Cup lengkap dengan ilustrasi pada keesokan harinya.

Saya juga masih ingat bagaimana PT Panggung "dirayu" Pak Dahlan untuk memasang multiscreen di Balai Pemuda untuk pameran yang di-organise Jawa Pos. Saking kagumnya saya, walaupun Jawa Pos masih kecil, saya sempat mengundang beliau masuk kelas "Marketing Management" yang saya pegang di Ubaya. Saya bahkan bikin kompetisi antarmahasiswa untuk bikin paper tentang kasus Jawa Pos.

Saya bahkan membawa case ini dalam talk saya ke mana-mana dengan konsekuensi "dimarahin" orang karena belum tentu terbukti nantinya. Tapi, itulah yang saya lakukan..

Kenapa?

Karena sambil mendiskusikan kasus itu, saya akan memperkuat "konsep marketing" yang saya baca di buku-buku dengan kenyataan praktiknya. Itulah saya "belajar" dari seorang Dahlan Iskan!

Selain itu, tentu saja, tulisan Reboan saya yang berjalan sejak saya masih bekerja di PT Panggung dan berlanjut ketika di Sampoerna. Dengan "terpaksa" menulis tiap Rabu, saya jadi harus banyak mencari kasus current affair untuk dibahas dalam kerangka konsep marketing. Saya selalu mengusahakan tulisan saya tidak keluar dari koridor marketing, walaupun kasus yang dibahas bisa segala macam.

Misalnya, saya masih ingat artikel pertama saya di Jawa Pos adalah tentang Konser Pepsi Cola di Jakarta yang menampilkan Tina Turner. Saya menulis bahwa Tina Turner dengan voice power-nya yang saya lihat sendiri, pas untuk memperkuat positioning Pepsi sebagai brand yang mau different dari Coke yang klasik.

Tapi saya juga menulis tentang kekaguman saya terhadap Lady Di yang berhasil memosisikan diri sebagai people's princess mumpung tidak disukai oleh keluarga kerajaan! Dua kasus berbeda tapi konsep analisisnya sama. Dengan melakukan itu, saya berusaha supaya tulisan Reboan saya harus "hot", tapi tetap "marketing"

Jadi, selain saya "mengaku" bahwa selain belajar "marketing" dari Pak Dahlan, saya memang sudah berusaha "memosisikan" diri sebagai "professional marketing analyst" sebelum 1 Mei 1990, waktu dilahirkannya MarkPlus Professional Service di Surabaya.

Besok saya akan membuka "rahasia" yang lain. (*)

Grow with Character! (1/100) Series by Hermawan Kartajaya

SATU Mei 1990 adalah tanggal bersejarah buat saya. Itulah hari pertama saya tidak menjabat direktur distribusi PT HM Sampoerna. Dan itulah hari pertama saya juga memulai MarkPlus. Tanggal itu juga merupakan hari pertama saya menjadi seorang entrepreneur.

Sehari sebelumnya, saya masih memegang kartu nama keren PT HM Sampoerna. Direktur Distribusi PT HM Sampoerna. Sehari sebelumnya saya masih berkantor di pabrik Sampoerna di Kompleks Surabaya Industrial Estate Rungkut atau sering disebut SIER. Sehari sebelumnya saya masih punya “anak buah” sekitar 1.600 orang di seluruh Indonesia yang terbagi di 54 area. Satu area bisa meliputi dua atau tiga kabupaten. Maklum, jualan rokok kan mesti merata, apalagi Dji Sam Soe yang sudah merakyat.

Pada hari itu, pas satu Mei 1990, saya resmi menggunakan kartu nama MarkPlus Professional Service. Begitu saya menyebutnya, karena waktu itu saya berpikir pokoknya siap melakukan “professional service” apa pun! Karena kantor belum ada, ya berkantor di rumah aja, Taman Prapen Indah C-8 Surabaya.

Saya hanya berpikir, waktu itu, bahwa alamat itu memang “kurang profesional” karena tidak di perkantoran, tapi tidak terlalu “kebanting”. Waktu itu juga belum ada kompleks perumahan yang keren seperti sekarang: Galaxy, Ciputra, Pakuwon, dan sebagainya. Jadi, Kompleks Prapen yang “indah” sudah cukup lumayan, karena tempatnya bersih dan dihuni banyak eksekutif.

Jadi, paling tidak, biar ada persepsi memang MarkPlus ini perusahaan one man show, tapi didirikan oleh seorang ex top executive dari sebuah perusahaan besar di Surabaya. Karyawannya belum ada. Kenapa?

Pertama, saya memang belum berani menggaji orang. Kalau nggak laku bagaimana? Kedua, ya memang nggak ada yang mau bekerja untuk saya.

Sebenarnya, terus terang, sebulan sebelum “resign” dari Sampoerna, saya memang minta tolong kepada anak buah saya yang pintar desain untuk mendesain logo MarkPlus. Maksudnya, supaya begitu keluar dari Sampoerna, saya sudah memegang kartu nama sendiri dengan logo yang lumayan.

Kartu nama adalah yang saya pikir lebih dulu, karena takut nggak punya identitas begitu tidak di Sampoerna lagi. Nah, anak buah saya inilah yang saya ajak berdiskusi tentang logo tersebut di luar jam kerja

Saya, bahkan, bercerita hanya pada dia secara “confidential” tentang rencana saya tentang MarkPlus yang mulai 1 Mei. Ketika itu, dia kelihatan sangat antusias membantu saya untuk mempersiapkan logo, termasuk aplikasinya di kop surat dan amplop. Tapi, akhirnya, saya kecewa berat ketika dia tidak mau jadi karyawan pertama MarkPlus Professional Service!

“Maaf Pak, saya nggak berani ambil risiko…” katanya sambil menundukkan muka.

Dengan terus terang dia mengaku tidak “sure” sampai kapan MarkPlus bisa bertahan. Padahal, di Sampoerna dia sudah lumayan “mapan” walaupun termasuk karyawan “kelas bawah”. Begitulah situasi hari pertama MarkPlus waktu itu.

Ketika saya bangun pagi, terasa agak aneh. Biasanya saya mandi pagi-pagi, takut telat ke kantor karena harus memberi contoh kepada anak buah. Pakai baju seragam Batik Sampoerna sesuai dengan warna yang diwajibkan untuk hari itu.

Di Sampoerna, waktu itu, kami semua diberi tiga macam batik seragam dengan tiga warna. Senin-Kamis, Selasa-Jumat dan Rabu-Sabtu masing-masing satu warna.

Pada 1 Mei itu saya bangun memang agak siangan, tapi agak bingung apa yang akan dilakukan hari itu. Sebab, mendadak sudah tidak perlu pakai batik lagi setelah bertahun-tahun. Kayak ada yang “hilang”.

Sehari sebelumnya saya juga sudah mengembalikan mobil dinas Toyota Crown Royal Saloon. Hari itu saya mulai menyetir mobil saya sendiri.Toyota Corolla baru, tapi cicilan…! Semuanya mendadak terasa hilang! Ya, kantor bagus, mobil bagus, anak buah, seragam, bahkan kartu nama keren.

Saya masih ingat, saya hanya punya tabungan lima puluh juta rupiah waktu itu. Dua puluh juta rupiah saya pakai untuk downpayment Toyota Corolla, sisanya yang tiga puluh juta untuk cadangan.

Karena belum ada klien yang mau pakai jasa profesional saya pada hari pertama, mau tahu apa yang saya lakukan? Percaya atau tidak, saya menulis artikel Reboan untuk Jawa Pos sebanyak mungkin! Waktu itu saya memang sudah diajak Pak Dahlan Iskan yang baru membangun Jawa Pos beberapa tahun untuk menulis rutin di Jawa Pos bersama lima orang Surabaya lain. Kebetulan saya memilih Rabu. Penulis lain ada yang memilih hari lain.

Itulah cara Pak Dahlan “mengangkat” citra orang Surabaya yang tidak mungkin dapat kolom di media ibu kota. Saya suka Rabu, karena ada di pertengahan pekan.

Jadi, sejarah MarkPlus yang segera merayakan HUT Ke-20 pada 1 Mei 2010 ini memang sangat tidak dipisahkan dari Jawa Pos! Ada semacam hubungan “spiritual”. Besok, saya akan bercerita lebih detail tentang hal ini. (*)